THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Kamis, 03 Desember 2009

SINAR INDONESIA BARU 26 NOV 2009
MAHKAMAH AGUNG LARANG UJIAN NASIONAL

Jakarta (SIB)
Mahkamah Agung (MA) melarang ujian nasional (UN) yang digelar Depdiknas. Kasasi gugatan UN yang diajukan pemerintah ditolak MA.
Seperti tertuang dalam situs MA.go.id, MA memutuskan menolak kasasi perkara itu dengan nomor register 2596 K/PDT/2008 itu diputus pada 14 September 2009. Perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) ini diajukan Kristiono dkk.

“Majelis hakim terdiri dari Ketua Majelis Hakim Mansyur Kartayasa, Imam Harjadi, dan Abas Said,” terang Kepala Sub Bagian (Kasubag) Humas MA, Andri Tristianto melalui telepon, Rabu (25/11).
Dalam isi putusan ini, para tegugat yakni presiden, wapres, mendiknas, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan. Pemerintah juga lalai meningkatkan kualitas guru.
Depdiknas Hargai & Akan Pelajari Putusan MA
Depdiknas masih mempelajari putusan Mahkamah Agung (MA) terkait penolakan kasasi pelaksanaan ujian nasional (UN). Depdiknas masih menunggu salinan putusan.
“Kita menghargai putusan MA. Nanti kalau sudah dapat, kita akan pelajari apa putusannya,” kata Kepala Balitbang Depdiknas Prof Mansyur Ramli melalui telepon, Rabu (25/11).
Dia mengaku, meski sudah diputus pada 14 September, Depdiknas belum mendapat amar putusannya. Dan sebenarnya, putusan ini sama dengan putusan di pengadilan negeri pada 2007 dan pengadilan tinggi pada 2008.
“Kita hanya tahu amar putusannya, tolak. Ini seperti putusan di pengadilan negeri pada 2007 lalu, saat itu memerintahkan kepada pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru, dan penyelenggaraan UN,” terang Mansyur.
Pemerintah telah mengambil langkah-langkah konkrit, misalnya untuk gangguan psikologi pada anak, dengan melakukan perbaikan UN.
“Jadi bukan UN ditolak, tapi ada perbaikan. Sejak 2005, kita melakukan perbaikan UN, mengurangi stres peserta didik dengan melakukan ujian ulang, yang tidak lulus bisa mengikuti ujian nasional,” jelasnya.
BSNP: UN Penting untuk Tingkatkan Mutu Pendidikan
Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) masih mempelajari isi putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi pemerintah terkait ujian nasional (UN). Namun ditegaskan pelaksanaan UN penting untuk pendidikan nasional.
“Ujian Nasional sangat penting. Tanpa Ujian Nasional kualitas tidak bisa diukur secara nasional, hanya lokal saja,” ujar anggota BSNP Mungin Edi Wibowo dalam perbincangan dengan detikcom, Rabu (25/11).
Hasil putusan MA pada 14 September itu memang, seperti putusan di pengadilan tinggi dan pengadilan negeri yang meminta agar UN dilakukan dengan peningkatan kualitas guru serta sarana prasarana belajar.
“UN dilakukan untuk meningkatkan pemetaan mutu program satuan pendidikan dan juga sebagai proses seleksi, juga UN bisa sebagai bahan pertimbangan dan pemberian bantuan kepada yang sudah lebih ataupun masih kurang,” urainya.
Menurut Mungin, pihaknya belum menerima amar putusan itu, namuan setiap tahun pihaknya berupaya memperbaiki UN. “Yang namanya ujian ada yang lulus, ada yang tidak. Yang tidak lulus artinya kompetensi belum mencapai yang ditetapkan,” terangnya.
Pelaksanaan UN pun hanya melaksanakan Amanat Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005, di mana pada pasal 63 tentang standar nasional pendidikan, penilaian belajar dilakukan oleh guru, kemudian oleh satuan pendidkan sekolah, dan yang ketiga oleh pemerintah melalui UN.
“Dan dilakukan untuk menilai kompetisi peserta didik antara lain pada mata ilmu pengetahuan dan teknologi. Lulus ujian juga bagaimanapun bergantung pada anak belajar sungguh atau nggak, guru-guru memenuhi syarat atau tidak dan apakah belajar di kelas sudah sesuai materi dalam kurikulum,” tutupnya.
MA Larang UN, JK Sarankan Mendiknas Ajukan PK
Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), M Nuh, disarankan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan agar Ujian Nasional (UN) dilarang. Sebab pelaksanaan UN berhasil meningkatkan mutu pendidikan nasional.
“Sebaiknya Mendiknas mengajukan PK,” kata Mantan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) saat ditemui detikcom di Mall Ratu Indah, Jalan Dr Ratulangi, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), Rabu (25/11).
JK menjelaskan, pelaksanaan UN selama tiga tahun terakhir ini telah mencapai hasil yang luar biasa. Tanpa standardisasi nilai, lanjut Kalla, para pelajar tidak akan mau belajar keras.
JK juga membantah bahwa pemerintah lalai meningkatkan kualitas para guru. Menurutnya, pemerintah sangat serius melakukan hal tersebut.
“Selama tiga tahun terakhir ini pemerintah sudah serius meningkatkan kualitas guru. Saya juga tidak setuju jika UN dikatakan tidak manusiawi,” ujar JK.
Sebelumnya diberitakan, MA menolak kasasi yang diajukan pemerintah atas gugatan mengenai penyelenggaraan UN yang diajukan Kristiono dkk. UN harus diperbaiki.
Dalam putusan ini, para tergugat yakni presiden, wapres, mendiknas, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan. Pemerintah juga dianggap lalai meningkatkan kualitas guru.
Penggugat Desak Pemerintah Patuhi Putusan MA
Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan agar Ujian Nasional (UN) ditiadakan. Atas dikabulkan gugatan itu, penggugat yang menamakan diri Tim Advokasi Korban UN (Tekun) dan Eduvation Forum mendesak pemerintah untuk mematuhi putusan MA.
“Mendesak pemerintah untuk menghargai upaya hukum yang dilakukan masyarakat dan menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Meminta pemerintah tidak melakukan upaya hukum apapun,” ujar Koordinator Tekun Gatot Goei di sela-sela acara syukuran di kantor LBH Jakarta, Jl Diponegoro, Jakarta Pusat, Rabu (25/11).
Tekun dan Education Forum menggelar tumpengan sebagai tanda bersyukur. Ada dua tumpeng di atas tampah masing-masing berdiameter 50 meter. Dua tumpeng itu dihiasi lauk pauk dan lalapannya.
Gatot mengatakan Presiden RI harus merevisi kebijakan UN dengan menghapusnya sebagai syarat utama kelulusan. Gatot menegaskan yang dipermasalahkan pihaknya sebagai masyarakat adalah menggunakan UN sebagai syarat satu satunya kelulusan.
“UN tidak berpengaruh sama sekali, anggaran tiap tahun dikeluarkan tapi tidak meninggalkan apapun kecuali masalah baru. Kita tidak mempermasalahkan kecuali ke perguruan tinggi. Yang kita permasalahkan adalah UN sebagai syarat satu-satunya kelulusan,” imbuhnya.
Menurut Gatot, untuk mengubah sistem itu, Mendiknas diminta membangun sistem pendidikan yang lebih baik jika UN ditiadakan dengan putusan kasasi MA ini. Gatot juga mendesak MA memberikan salinan putusan ke tim advokasi, karena hingga hari ini tim belum menerima pemberitahuan dan salinan putusan yang sudah diputus MA pada 14 September 2009.
Komisi X DPR Gelar Raker dengan Depdiknas Kamis
Terbitnya putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan para penggugat Ujian Nasional (UN) langsung ditanggapi oleh Komisi X DPR RI. Mereka akan menggelar rapat kerja dengan jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pada Kamis (26/11) besok.
“Kita akan bahas ini dengan jajaran Diknas,” kata Ketua Komisi X dari Fraksi Partai Demokrat Mahyudin, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (25/11).
Mahyudin sendiri mengaku belum melihat salinan putusan yang keluar pada 14 September dua bulan lalu itu.
Sementara Wakil Ketua Komisi X Rully Chairul Azwar mengatakan, putusan MA harus dipatuhi. Setidaknya pemerintah harus meninjau ulang Peranturan Pemerintah (PP) tentang UN.
“Bagaimana standar nasional bisa terpenuhi, tapi angka ketidaklulusan absolut juga kecil. Tentunya ini sambil meningkatkan kualitas sekolah,” cetus politisi Partai Golkar ini. (detikcom/i)





















JPNN.com
Kamis, 26 November 2009 , 20:07:00
TAHUN DEPAN UN TETAP DIGELAR
SISWA TAK LULUS BISA UJIAN ULANG

JAKARTA--Meski ada putusan dari Mahkamah Agung (MA), Mendiknas Mohammad Nuh menyatakan bahwa tahun depan tetap ada Ujian Nasional (UN). Pasalnya, UN sudah digelar Maret 2010 sedang Depdiknas masih akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan MA tersebut. Bahkan, hingga hari ini pun Nuh belum menerima salinan putusan dimaksud.

Meski tetap digelar tahun depan, Nuh menyatakan pelaksanaan UN akan diubah. Perubahan ini menurutnya, bukan karena adanya keputusan MA, tapi bagian dari upaya perbaikan yang selama ini dikeluhkan masyarakat terhadap pelaksanaan UN.

"Tidak ada kaitannya dengan putusan MA. Ini semata-mata untuk perbaikan sistem pelaksanaan UN saja," ujar Nuh dalam keterangan persnya di gedung A Depdiknas, Jakarta, Kamis (26/11).

Selain perubahan pelaksanaan UN 2010, Nuh menyatakan, UN bukan satu-satunya penentu kelulusan. "Tetap yang menentukan kelulusan adalah sekolah atau guru. Artinya jika ada peserta didik yang memperoleh nilai 10, tapi menurut gurunya peserta didik itu tidak lulus, maka dia tidak lulus," tukasnya.

Dijelaskan Nuh, anggapan UN dijadikan satu-satunya untuk menentukan kelulusan adalah keliru. Hasil UN digunakan antara lain untuk pemetaan mutu satuan atau program pendidikan, seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program atau satuan pendidikan, dan pemberian bantuan pada satuan pendidikan dalam peningkatan mutu.

"Perubahan yang paling signifikan dari pelaksanaan UN tahun sebelumnya dengan tahun depan adalah adanya kesempatan bagi peserta didik untuk mengulang selain UN susulan bagi mereka yang saat pelaksanaan tidak bisa ikut karena sebab lain seperti sakit dan lain-lain," paparnya. (esy/JPNN)

Kelana Kota
26 November 2009, 17:25:53| Laporan Noer Soetantini
SOAL PENOLAKAN KASASI MA
PELAKSANAAN UN 2010 BAKAL BERUBAH

suarasurabaya.net| Menyusul keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi dari pemerintah berkait keputusan dari Pengadilan Tinggi Jakarta tentang pelaksanaan Ujian Negara (UN), M NUH Mendiknas menegaskan, akan melakukan perubahan pada pelaksanaan UN tahun 2010 mendatang.

“Perubahan ini tentu bukan lantaran adanya keputusan MA itu, tapi bagian dari upaya perbaikan yang selama ini dikeluhkan oleh masyarakat terhadap pelaksanaan UN. Jadi niat untuk melakukan perubahan itu bukan lantaran adanya keputusan MA itu. Sampai sekarang saja saya belum melihat dan membaca bunyi putusan itu,” kata M NUH dalam siaran pers yang diterima suarasurabaya.net, Kamis (26/11) sore.

NUH berharap penjelasan berkait dengan duduk perkara berkait dengan pelaksanaan UN ini dapat menjernihkan persoalan yang dipahami simpang siur. “Kami sepenuhnya akan patuh terhadap keputusan lembaga negara dan siap menjalankannya. Demikian juga jika ada jalur hokum lain setelah kasasi ditolak. Menurut para ahli hokum masih ada dalam bentuk PK (peninjauan kembali),” katanya.

Persoalannya, kata NUH, sampai saat ini, Depdiknas belum menerima putusan kasasi itu, bagaimana bunyinya. Memang ada di webside MK yang menjerlaskan kasasi pemerintah berkait dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berkait dengan pelaksanaan UN.

NUH mencoba memahami putusaan kasasi yang dikeluarkan MA berkait dengan keputusan pengadilan tinggi pada 3 Mei 2007 lalu itu. Ada enam poin tiga diantaranya itu yang mungkin dimaknai sebagai pemerintah tidak boleh melaksanakan UN. “Kalau merlihat keputusan itu, tidak ada satu kata pun yang menyatakan tentang dilarangnya pemerintah untuk melakukan UN,” katanya.

Yang ada, kata NUH, sambil membagikan salinan keputusan pengadilan tinggi kepada para wartawan, dalam bentuk memerintahkan kepada para tergugat (baca:pemerintah) untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia, sebelum mengeluarkan kebijakan Pelaksanaan Ujian Nasional lebih lanjut, memerintahkan kepada para tergugat untuk mengambil langkah-langkah konkrit untukmengatasi gangguan psikologi dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan UN; memerintahkan kepada para tergugat untuk meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional.

Berkait dengan perintah itu, NUH menjelaskan Depdiknas telah melakukan perbaikan-perbaikan dalam hal meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia. “Pada program seratus hari Depdiknas jelas terlihat upaya-upaya itu sedang dilakukan, misalnya menyambungkan internet ke 17.500 sekolah,” katanya.

Selain pelaksanaan UN 2010 akan berubah, juga dinyatakan bukan satu-satunya untuk menentukan kelulusan. “Tetap yang menentukan kelulusan adalah sekolah atau guru. Artinya jika ada peserta didik yang memperoleh nilai 10, tapi menurut gurunya peserta didik itu tidak lulus, maka dia tidak lulus,” katanya.

NUH menjelaskan, anggapan UN dijadikan satu-satunya untuk menentukann kelulusan adalah keliru. Hasil UN digunakan antara lain untuk pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan; seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan; dan pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.

Perubahan yang paling signifikan dari pelaksanaan UN tahun sebelumnya dengan UN 2010 adalah, adanya kesempatan bagi para peserta didik untuk mengulang selain ada juga UN susulan bagi mereka yang saat pelaksanaan tidak bisa ikut karena sebab lain, seperti sakit dan lainnya. (tin)


Berita terkait :
1. BSNP: Putusan MA Tak Pengaruhi Ujian Nasional
2. Putusan MA Pertegas Unas Perlu Dievaluasi Total


Kelana Kota
25 November 2009, 23:04:24| Laporan Iping Supingah
BSNP: PUTUSAN MA TAK PENGARUHI UJIAN NASIONAL


suarasurabaya.net| Prof MUNGIN EDDY WIBOWO anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), mengatakan, putusan Mahkamah Agung (MA) yang melarang pelaksanaan Ujian Nasional (Unas) tak mempengaruhi penyelenggaraan Unas pada 2010.

"Kami akan tetap menyelenggarakan Unas pada 2010 sesuai dengan jadwal yang ditetapkan dan hal itu juga telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan," katanya pada Antara, Rabu (25/11).

Menurut dia, sesuai dengan amanat PP Nomor 19/2005 tersebut, BSNP berkewajiban untuk menyelenggarakan Unas bekerja sama dengan berbagai pihak, antara lain pemerintah, pemerintah daerah, setiap satuan pendidikan, termasuk kalangan perguruan tinggi.

Penyelenggaraan Unas 2010 menurut dia, juga didasari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 75/2009 tentang Unas tingkat SMA dan SMP, serta Permendiknas Nomor 74/2009 tentang Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) untuk SD.

Ia mengatakan, sesuai PP Nomor 74/2009 tersebut, Unas tingkat SMA, MA, dan SMK 2010 akan diselenggarakan pada minggu ketiga Maret 2010 mendatang, sedangkan Unas untuk SMP akan diselenggarakan satu minggu setelah pelaksanaan Unas tingkat SMA, MA, dan SMK.

"Kami memang mengakui dalam penyelenggaraan Unas terdapat berbagai tindak kecurangan, namun kami tetap melakukan evaluasi dan perbaikan berkaitan dengan penyelenggaraan Unas setiap tahunnya," kata guru besar Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu.

Berkaitan dengan putusan MA itu, MUNGIN mengatakan, pihaknya akan mempelajari putusan MA terkait penolakan kasasi perkara Unas yang diajukan pemerintah, sebab pihaknya hingga saat ini belum mendapatkan salinan resmi putusan MA tersebut.

Mungin menilai, penyelenggaraan Unas secara obyektif, transparan, dan akuntabel tetap diperlukan, sebab hasilnya dapat digunakan untuk memetakan mutu pendidikan secara nasional, menentukan kelulusan, dan digunakan dalam seleksi masuk ke perguruan tinggi.

"Namun, Unas hanya salah satu indikator penentu kelulusan, sebab masih ada beberapa indikator lain yang menjadi penentu kelulusan selain UN, seperti ujian akhir sekolah (UAS)," kata MUNGIN.

Perkara itu bermula dari "citizen lawsuit" (gugatan warga negara) yang diajukan KRISTIONO dan kawan-kawan terhadap presiden, wakil presiden, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua BSNP yang dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan.

Pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gugatan tersebut diterima. Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan itu pada 6 Desember 2007. Pemerintah lalu mengajukan kasasi ke MA.

Akhirnya, MA melarang UN yang digelar Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sebab kasasi gugatan UN yang diajukan pemerintah ditolak MA. MA memutuskan menolak kasasi perkara itu dengan nomor register 2596 K/PDT/2008 yang diputus pada 14 September 2009.(ant/ipg)


Share on Facebook



Berita terkait :
1. Putusan MA Pertegas Unas Perlu Dievaluasi Total
2. Soal Penolakan Kasasi MA Pelaksanaan UN 2010 Bakal Berubah

Kelana Kota
25 November 2009, 22:41:45| Laporan Iping Supingah
PUTUSAN MA PERTEGAS UNAS PERLU DIEVALUASI TOTAL

suarasurabaya.net| AM HANIF DHAKIRI anggota Komisi X DPR RI menyatakan, putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi pemerintah dalam perkara Ujian Nasional (Unas) semakin mempertegas penilaian bahwa UN memang bermasalah dan harus dievaluasi total.

"Putusan MA yang pada intinya melarang pelaksanaan Unas oleh pemerintah merupakan bentuk penegasan legal bahwa Unas kita banyak masalah dan karenanya harus dilakukan evaluasi total," katanya di Jakarta, Rabu (25/11).

Selain itu, kata HANIF, putusan MA juga mempertegas penilaian bahwa pelaksanaan Unas belum merupakan prioritas dalam pembangunan pendidikan Indonesia.

Menurut HANIF, sepeti dilansir Antara, pada dasarnya Unas memang diperlukan oleh sebuah negara karena merupakan tolok ukur bagi keluaran proses pendidikan nasional.

Namun demikian, diperlukan prasyarat dasar sebelum Unas dilaksanakan yakni pemenuhan terhadap standar proses pendidikan, seperti sarana prasarana pendidikan yang memadai, distribusi dan kualitas guru, kurikulum, dan lainnya.

Standar proses pendidikan itu terkait dengan pemenuhan hak-hak dasar warga untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau.

"Ini semestinya dipenuhi dulu sebelum Unas diberlakukan. Selama ini penerapan Unas digebyah uyah alias dipukul rata tanpa mempertimbangkan kondisi dari infrastruktur dasar pendidikan," kata anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa itu.

Oleh karena itu, kata HANIF, Unas bisa dikatakan perlu pada saatnya nanti, tetapi bukan prioritas untuk saat ini mengingat belum terpenuhinya standar proses pendidikan.

Jika dipaksakan, ujarnya, Unas hanya akan menjadi beban bagi siswa dan lembaga penyelenggara pendidikan, juga bagi pemerintah sendiri, lantaran anggaran yang diperlukan begitu besar sementara hasilnya tidak menjamin kualifikasi lulusan sekolah.

"Evalusi total terhadap Unas harus dilakukan untuk menemukan urgensinya dan mengkonstruksi ulang pelaksanaannya sesuai dengan realitas yang dihadapi oleh siswa-siswa di berbagai tempat yang berbeda," katanya.(ant/ipg)

Share on Facebook

Berita terkait :
1. BSNP: Putusan MA Tak Pengaruhi Ujian Nasional
2. Soal Penolakan Kasasi MA Pelaksanaan UN 2010 Bakal Berubah

KOMINFO NEWSROOM, Kamis 26 November 2009 21:18.00
MENDIKNAS: UJIAN NASIONAL TAHUN 2010 TETAP DILAKSANAKAN


Jakarta, 26/11/2009 (Kominfo-Newsroom) - Pemerintah akan tetap melaksanakan Ujian Nasional (UN) pada tahun 2010 yang akan digelar pada bulan Maret 2010 untuk UN utama dan bulan Mei 2010 untuk UN susulan.
Pernyataan itu dikemukakan Mendiknas Mohammad Nuh pada acara jumpa pers di Gedung Depdiknas, Jakarta, Kamis, (26/11) terkait keputusan Mahkamah Agung (MA) mengenai larangan pelaksanaan UN.
”Hingga hari ini Depdiknas belum menerima Keputusan Mahkamah Agung (MA) yang melarang pelaksanaan UN, kecuali keputusan MA itu memutuskan tidak boleh melaksanakan UN sekarang," katanya.


Apalagi, katanya, pemerintah, dalam hal ini Depdiknas, memiliki hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) yang diatur oleh hukum yang berlaku di Indonesia.
Hadir dalam acara itu antara lain Dirjen Dikti Fasli Jalal, Dirjen Mandikdasmen Suyanto, Dirjen PMPTK Baedhowi, Kabalitbang Depdiknas Mansyur Ramli dan Staf Ahli Bidang Hukum Depdiknas, Wukir Ragil.
Menurut Nuh, Depdiknas sudah mempersiapkan diri kalau Keputusan MA itu sama dengan keputusan PN Jakarta Pusat pada 3 Mei 2007 lalu, namun saat ini Depdiknas belum menerima hasil Keputusan MA.
Ia menegkaskan, setelah keputusan MA itu diterima, pihaknya akan langsung mempelajari keputusan itu. "Apabila keputusan MA itu menguatkan hasil keputusan PN Jakpus, maka Depdiknas akan melakukan PK," katanya.
Nuh menambahkan, putusan PN Jakarta Pusat pada tanggal 3 Mei 2007 itu dalam eksepsinya menolak eksepsi para tergugat (Pemerintah Indonesia dan Depdiknas), dan dalam keputusan provisi, menolak provisi penggugat, sedangkan dalam pokok perkaranya mengabulkan gugatan subsidair para penggugat/tokoh masyarakat.
Dalam pokok perkara, PN Jakpus menyatakan bahwa tergugat (Pemerintah Indonesia, Depdiknas dan Badan Standar Pendidikan Nasional) dianggap ”Telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap warga negaranya yang menjadi korban (UN), khususnya pada hak atas pendidikan dan hak anak-anak".
Menurut M. Nuh, putusan PN Jakpus menyatakan bahwa pemerintah dianggap lalai. "Ok, kalau memang keputusan itu, kami menghormati dan menghargainya," katanya.
Dijelaskan, dari enam point putusan yang dikeluarkan PN Jakarta Pusat, Depdiknas kemudian mengajukan kasasi ke MA, dengan demikian, sangatmungkin keputusan MA itu adalah menolak kasasi Depdiknas atau dalam arti lain, keputusan MA itu memperkuat hasil putusan PN Jakpus.
Mendiknas menjelaskan, dalam point 3 putusan PN Jakpus, tertulis: "Memerintahkan kepada para tergugat untuk meningkatkan kualitas guru (proses), kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia (internet), sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan Ujian Nasional lebih lanjut."
Kemudian point 4 berbunyi: "Memerintahkan para tergugat mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi gangguan psikologi dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan UN."
Selanjutnya point 5 putusan PN Jakpus itu berbunyi: "Memerintahkan para tergugat untuk meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional."
Lalu point 6 berbunyi: "Menghukum para tergugat membayar biaya perkara yang hingga kini berjumlah Rp 374.000."
Menurut Mendiknas M. Nuh, dari enam point putusan PN Jakpus itu, tidak ada pernyataan atau kalimat "melarang pelaksanaan UN".
”Dalam putusan PN Jakpus itu tidak ada larangan untuk melaksanakan UN,” kata Mendiknas.
Mendiknas juga menyatakan, pada point 3 ada perintah PN Jakpus agar pemerintah sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan UN lebih lanjut meningkatkan kualitas guru.
"Depdiknas telah melakukannya dengan meningkatkan kualitas guru, misalnya melalui sertifikasi guru,” kata M. Nuh. (T.Ad/ysoel)

Antaranews Indonesia
MENDIKNAS : UN DIMAJUKAN KARENA ADA UJIAN ULANG
Rabu, 25 November 2009 20:23 WIB

M. Nuh, Menteri Pendidikan Nasional. (ANTARA)


Bantul (ANTARA News) - Menteri Pendidikan Nasional Mohamad Nuh mengatakan dimajukannya ujian nasional (UN) yang sebelumnya berlangsung Mei menjadi Maret, karena pertimbangan adanya ujian ulang dan ujian susulan.

"Hal-hal yang sangat teknis, saya belum mempelajarinya, tetapi dugaan saya dimajukannya pelaksanaan ujian nasional karena akan ada ujian ulang dan ujian susulan," katanya di sela kunjungan kerjanya di Sekolah luar biasa (SLB) Negeri 4 Yogyakarta, Jalan Imogiri Barat, Sewon, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Rabu sore.

Menurut dia, pada Peraturan Mendiknas (Permendiknas) Nomor 75 Tahun 2009 tentang ujian nasional SMP/MTS/SMA/SMK/MA pelaksanaannya pada Maret minggu ke empat.

"Itu tidak akan merugikan siswa, karena ada ujian ulang dan ujian susulan, sehingga siswa yang tidak lulus maupun mereka yang tidak bisa ikut ujian utama, masih ada kesempatan untuk mengikuti ujian nasional," katanya.

Ketika ditanya wartawan terkait dengan keputusan Mahkamah Agung (MA) yang melarang ujian nasional (UN) yang digelar Depdiknas, Mohamad Nuh mengatakan hingga kini dirinya belum membaca keputusan MA secara detil.

Ia tidak akan mengomentari keputusan itu sebelum membaca isinya secara lengkap, karena jika hanya mengetahui sepotong lalu berkomentar, bisa membingungkan masyarakat.

Seperti yang dikatakan mendiknas ketika mengunjungi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada Rabu (25/11) siang, beri kesempatan MA untuk menyampaikan secara resmi hasil keputusan tersebut. Selanjutnya, pihaknya akan mempelajari keputusan itu.

"Jika MA menolak kasasi pemerintah saya kira tidak apa-apa. Kami harus menghormati keputusan lembaga negara yang mengambil keputusan sesuai dengan bidangnya," katanya.

Namun, menurut dia, setelah kasasi juga ada hak untuk mengajukan peninjauan kembali (PK). Siapa pun harus menghormati dan menghargai hak hukum yang dimiliki seseorang atau lembaga.

"Selama belum ada keputusan final mengenai UN, semua tetap berjalan seperti biasa, mengingat program UN sudah diagendakan dan dianggarkan dalam APBN. Memang ada beberapa hal yang harus diperbaiki untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan hingga transformasinya kepada anak didik," katanya.

Bahkan ketika mendiknas mengunjungi SLB Negeri 4 Yogyakarta mengatakan standar kelulusan siswa dalam UN 2010 tidak akan dinaikkan, masih sama dengan tahun sebelumnya yaitu 5,5.

MA melarang UN yang digelar Depdiknas. Kasasi gugatan UN yang diajukan pemerintah ditolak MA.

MA memutuskan menolak kasasi perkara itu dengan nomor register 2596 K/PDT/2008 itu diputus pada 14 September 2009.

Perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) tersebut diajukan Kristiono dan kawan-kawan.

Dalam isi putusan itu, para tergugat yakni Presiden, Wakil Presiden, Mendiknas, dan Ketua Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan. Pemerintah juga lalai meningkatkan kualitas guru.(*)
COPYRIGHT © 2009

58 MASYARAKAT GUGAT PRESIDEN DAN MENDIKNAS - PEMERINTAH HENTIKAN UN

Written by Swisma
Thursday, 26 November 2009 09:30


Education Forum Perwakilan Sumatera Utara meminta agar pemerintah (Presiden dan Mendiknas) mengubah kebijakan Ujian Nasional (UN), menyusul putusan Mahkamah Agung (MA) melalui putusan terhadap perkara dengan nomor register 2596 K/PDT/2008, pada tanggal 14 September 2009 terhadap gugatan warga negara (Citizen Law Suit).

"Kami minta agar pemerintah menyikapi secara arif dan bijaksana atas hasil putusan MA yang menguatkan keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta nomor: 377/PDT/2007 tertanggal 6 Desember 2007 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 21 Mei 2007 Nomor 228/Pdt.G/2006/PN.Jkt.Pst yang dimohonkan banding dalam perkara gugatan warga negara untuk merubah kebijakan UN tersebut," ujar Perwakilan Education Forum Sumatera Utara, Denni Boy Saragaih, Rabu (25/11).

Dijelaskannya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dalam sidang perkara gugatan warganegara (citizen lawsuit) yang diajukan 58 anggota masyarakat mewakili murid, orangtua murid, guru dan para pemerhati pendidikan menolak eksepsi para tergugat (Presiden, Wakil Presiden, Mendiknas dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan).

Menurut Denni, dasar gugatan yang diajukan kepada para tergugat itu karena dinilai telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia, sehingga masyarakat yang menjadi korban UN khususnya pada hak atas pendidikan dan hak-hak anak.

Karena itu terkait dengan dikabulkannya gugatan warga negara untuk mengubah kebijakan UN oleh Majelis Hakim PN Jakarta Pusat itu selaku mewakili Education Forum, Denni mendorong agar pemerintah lebih bijak dan legowo menerima keputusan majelis hakim karena pada dasarnya keputusan tersebut dikeluarkan demi kepentingan terbaik anak Indonesia.

Untuk itu Education Forum Perwakilan Sumatera Utara menyatakan sikapnya agar pemerintah hendaknya menghentikan UN, mematuhi amanat UU Sisdiknas, menerima putusan Mahkamah Agung dan PT Jakarta yang menguatkan Putusan PN Jakarta Pusat dengan mengembalikan hak menentukan kelulusan kepada otoritas guru dan satuan pendidikan.

Selain itu pemerintah wajib menyediakan anggaran yang memadai untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, dan akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia sebelum melaksanakan kebijakan pelaksanaan UN lebih lanjut sebagai langkah konkret menghentikan kelalaian dalam pemenuhan hak atas pendidikan dan perlindungan hak-hak anak.

Pemerintah hendaknya merevisi PP Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan memikirkan prinsip standardisasi yang lebih mempertimbangkan keragaman bangsa dan tidak diskriminatif.

Pemerintah juga hendaknya memfasilitasi terbentuknya gerakan perbaikan pendidikan yang melibatkan berbagai pihak, baik pemerintah maupun civil society, untuk meletakkan dasar-dasar bagi perubahan paradigma, kebijakan dan anggaran pendidikan nasional Indonesia.

Hal ini menurut Dennni semata-mata untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia.

SWISMA | GLOBAL | Medan

JPNN.COM

Kamis, 26 November 2009 , 19:32:00
MENDIKNAS BELUM TERIMA PUTUSAN MA


JAKARTA--Mendiknas Mohammad Nuh mengatakan, hingga Kamis (26/11) dirinya belum menerima putusan kasasi dari Mahkamah Agung (MA) yang dikeluarkan 14 November 2009. Meski demikian Nuh mengaku akan patuh dan siap menjalankan keputusan tersebut.

"Sampai saat ini, Depdiknas belum menerima putusan kasasi itu, bagaimana bunyinya," kata M Nuh dalam keterangan persnya di gedung A Depdiknas, Jakarta, Kamis (26/11). Dijelaskan, putusan itu memang ada di website MA yang menjelaskan kasasi pemerintah terkait putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berkaitan dengan pelaksanaan UN.

Nuh menambahkan, dirinya akan mencoba memahami putusan kasasi yang dikeluarkan MA terkait dengan keputusan Pengadilan Tinggi pada 3 Mei 2007. Ada enam poin, tiga diantaranya secara tersirat di mana pemerintah tidak boleh melaksanakan UN.

"Kalau melihat keputusan itu tidak ada satu kata pun yang menyatakan tentang dilarangnya pemerintah untuk melakukan UN. Yang ada hanyalah memerintahkan pemerintah meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah dan lain-lain," beber Nuh.

Mengenai upaya Peninjauan Kembali (PK) atas putusan MA itu, Nuh menegaskan, Depdiknas pasti melakukannya. "PK akan kita lakukan sebagai langkah hukum lain." (esy/JPNN)

Putusan MA jangan gelisahkan siswa
Thursday, 26 November 2009
SOAL LARANGAN UJIAN NASIONAL
PUTUSAN MA JANGAN GELISAHKAN SISWA

YOGYA - Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Muhammad Nuh menghormati putusan Mahkamah Agung (MA) yang melarang pemerintah menyelenggarakan ujian nasional (UN). Mendiknas meyakini larangan itu belum akan dilaksanakan untuk tahun ajaran ini.
"Yang penting, jangan sampai putusan itu membuat siswa gelisah," ujar Nuh, saat bertandang ke kampus UGM Yogyakarta, Rabu (25/11).
Untuk diketahui, MA melalui putusan kasasinya melarang pemerintah menyelenggarakan UN. Dalam perkara gugatan warga negara yang diputuskan 14 September lalu, MA memenangkan gugatan warga negara yang menganggap penyelenggaraan UN cacat hukum dan pemerintah dianggap lalai memberikan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) terhadap warga negara, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak yang menjadi korban UN.
Menanggapi keputusan itu, Nuh menegaskan, Depdiknas akan mengajukan peninjauan kembali (PK) setelah menerima secara resmi keputusan MA tersebut.
Kalau memang benar MA menolak kasasi pemerintah dalam penyelenggaraan UN, Depdiknas tidak akan mempermasalahkan karena hal itu merupakan keputusan lembaga negara sesuai bidangnya dan harus dihargai. "Tidak perlu ada keputusan yang saling bertabrakan," tandas Nuh.
Namun, karena penyelenggaraan UN untuk tahun ajaran 2009/2010 sudah masuk dalam program nasional dan dianggarkan dalam APBN, maka menurut Nuh, bisa saja tetap dilaksanakan. "Karena sudah merupakan keputusan final dan diputuskan melalui Peraturan Menteri (Permen) No 75/2009, UN bisa saja tetap dilaksanakan meski terus memerlukan perbaikan karena pada hakikatnya ujian itu untuk melihat kemampuan si anak," papar Nuh.
Setuju
Secara terpisah, Ketua Dewan Pendidikan DIY Prof Dr Wuryadi menyatakan, menyetujui keputusan MA untuk melarang penyelenggaraan UN. Hal itu perlu dilakukan guna mengembalikan rasa keadilan anak didik bangsa yang beragam. "Karenanya, Depdiknas mestinya tidak perlu mengajukan PK," tegasnya.
Pelarangan UN, menurut Wuryadi, justru akan mengembalikan pendidikan pada jatidiri bangsa. UN yang seragam, tidak adil jika diujikan bagi anak-anak Indonesia yang penuh keberagaman. "Pemerintah mestinya melihat keaneragaman daerah dan bukan membuat standar yang sama," ungkapnya.
Untuk mengukur standar kelulusan siswa, lanjut guru besar UNY itu, bisa diakumulasikan dari nilai rapor siswa sejak kelas I hingga kelas III. Dalam hal ini peran guru harus dominan dalam mencapai standar tersebut. "Upaya ini sekaligus mengembalikan peran guru dalam mendidik siswa," jelas Wuryadi. kt2-sn

© 2009 WawasanDigital
IT Koran Sore Wawasan
MA Larang Ujian Nasional
MENDIKNAS: PELAKSANAAN UN 2010, BAKAL BERUBAH
PEMERINTAH SEBAGAI PENYELENGGARA NEGARA, TENTUNYA BERHARAP MEMBERIKAN YANG TERBAIK.
Kamis, 26 November 2009, 20:37 WIB
Antique, Agus Dwi Darmawan


Mohammad Nuh (VIVAnews)

BERITA TERKAIT
• Depdiknas Pastikan Ajukan PK
• Depdiknas Tetap Gelar Ujian Nasional 2010
• "UN Menghina Intelegensi Anak Didik"
• Kalla: UN Dorong Siswa Belajar Keras
• PMDK IPB Melayang Gara-gara Ujian Nasional



VIVAnews - Pemerintah mengaku akan mengubah pola pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2010. Perubahan itu menyusul keputusan Mahkamah agung (MA) yang menolak kasasi pemerintah berkaitan keputusan dari Pengadilan Tinggi Jakarta tentang pelaksanaan UN.

Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh menuturkan, perubahan itu bukan semata karena keputusan MA tentang UN. Tapi perubahan itu merupakan bagian dari perbaikan yang selama ini dikeluhkan masyarakat. "Jadi, bukan karena ada putusan MA," kata dia dalam konferensi pers di kantor Mendiknas, Kamis, 26 november 2009.

Menurut Nuh, sebenarnya konferensi pers itu digelar bukan untuk menyikapi keputusan MA. Sebab, sampai hari ini pun, dirinya belum juga menerima putusan MA. "Sampai sekarang saya saja belum melihat dan membaca bunyi putusan itu," ujarnya.

Penjelasan itu, kata dia, hanya dilakukan berkaitan dengan duduk perkara pelaksanaan UN yang selama ini menjadi persoalan karena dipahami secara simpang siur. Pemerintah sebagai penyelenggara negara, tentunya berharap memberikan yang terbaik tanpa harus mengurangi kualitas pendidikan yang ada.

"Kami sepenuhnya akan patuh terhadap keputusan lembaga negara dan siap menjalankannya. Demikian pula, jika ada jalur hukum lain setelah kasasi ditolak. Menurut para ahli hukum, masih ada bentuk PK (peninjauan kembali)," tutur Nuh.

antique.putra@vivanews.com
• VIVAnews Kamis 26 November 2009

Ujian Nasional Dilarang
KALLA: UN DORONG SISWA BELAJAR KERAS
UJIAN NASIONAL BERTUJUAN UNTUK PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN SECARA NASIONAL.
Kamis, 26 November 2009, 14:37 WIB
Amril Amarullah


Kalla

BERITA TERKAIT
• PMDK IPB Melayang Gara-gara Ujian Nasional
• Mengapa Ujian Nasional Digugat
• "Tanpa UN Siswa Bisa Malas Belajar"
• Putusan Unas, Kemenangan Semua Anak Indonesia
• Depdiknas Belum Terima Putusan MA


VIVAnews -- Mantan Wakil Presiden Mohammad Jusuf Kalla masih menganggap penting pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di sekolah. Menurutnya, Ujian Nasional bertujuan untuk peningkatan mutu pendidikan secara nasional.
"Dengan UN kita mengharapkan anak-anak bisa belajar dengan serius dan kualitas pendidikan yang diperoleh juga merata," jelas Kalla kepada wartawa, menanggapi penolakan Mahkamah Agung (MA) tentang pelaksanaan UN, Kamis, 26 November 2009.
Kalla menambahkan, standarisasi yang diterapkan dalam UN bukan bermaksud memberatkan siswa. Hal itu justru diharapkan untuk mendorong siswa untuk mau belajar keras. Sehingga menyamakan strandarisasi pendidikan di seluruh Indonesia tetap penting.
"Antara Jawa, Sulawesi dan daerah lainnya tidak ada yang boleh dibeda-bedakan. Harus sama semua," tambah dia lagi.
Lebih jauh Kalla juga menyinggung soal pendidikan secara nasional. Yakni terkait dengan fasilitas pendukung pendidikan, kualitas guru serta kesejahteraan guru yang harus disamakan. Sehingga bagi Kala, pemerintah harus tetap mendukung pemerataan soal pendidikan di Indonesia.
Kasus ujian nasional ini bermula dari gugatan masyarakat (citizen lawsuit) terhadap Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, serta Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), yang dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan.
Pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gugatan diterima. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada 6 Desember 2007 juga menguatkan putusan itu.
Hingga akhirnya, MA menolak kasasi yang diajukan pemerintah. MA melarang ujian nasional yang diselenggaran Depdiknas melalui surat putusan dengan nomor register 2596 K/PDT/2008 tertanggal 14 September 2009.

Laporan: Rahmat Zeena | Makassar
UN MENGHINA INTELEGENSI ANAK DIDIK
Banyak siswa berprestasi tidak lulus hanya lantaran gagal dalam ujian nasional.
Kamis, 26 November 2009, 17:20 WIB
Pipiet Tri Noorastuti


(VIVAnews/Tri Saputro)

BERITA TERKAIT
• Kalla: UN Dorong Siswa Belajar Keras
• PMDK IPB Melayang Gara-gara Ujian Nasional
• Mengapa Ujian Nasional Digugat
• "Tanpa UN Siswa Bisa Malas Belajar"
• Putusan Unas, Kemenangan Semua Anak Indonesia



VIVAnews - Pengamat pendidikan, Darmaningtyas, menyambut gembira putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi pemerintah terkait penyelenggaraan Ujian Nasional. Menurutnya, ujian nasional cenderung merugikan anak didik.
"UN hanyalah kebijakan yang menghina intelegensi anak didik," kata Darmaningtyas dalam perbincangan dengan VIVAnews, Kamis, 26 November 2009.
Sebab, ujian nasional yang menjadi standar kelulusan mengabaikan prestasi yang dibina anak didik selama bertahun-tahun. Banyak siswa berprestasi tidak lulus hanya lantaran gagal dalam ujian nasional. "Ini kan tidak adil," ujarnya.
Seperti yang dialami Siti Hapsah pada 2006. Mimpinya kuliah di Institut Pertanian Bogor sirna gara-gara tak lulus ujian nasional. Padahal sebelum ujian, ia sudah dinyatakan lolos seleksi masuk tanpa tes melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Siti juga selalu menduduki peringkat satu atau juara umum sejak duduk di bangku kelas 1 di Perguruan Rakyat II Jakarta Timur.
Darmaningtyas juga mengkritik penetapan standar kelulusan yang hanya didasarkan pada mata pelajaran tertentu, seperti jurusan IPA di tingkat SMA yang hanya melibatkan Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris sebagai standar kelulusan.
Padahal, tujuan pendidikan tidak hanya menyiapkan anak untuk mengikuti ujian nasional. Melainkan kecerdasan yang komprehensif, emosional, sosial, dan moral.
Kasus ujian nasional ini kemudian ditindaklanjuti melalui gugatan masyarakat (citizen lawsuit) terhadap Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, serta Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), yang dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan.
Pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gugatan diterima. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada 6 Desember 2007 juga menguatkan putusan itu. Hingga akhirnya, MA menolak kasasi yang diajukan pemerintah. MA melarang ujian nasional yang diselenggaran Depdiknas melalui surat putusan dengan nomor register 2596 K/PDT/2008 tertanggal 14 September 2009.
• VIVAnews
PUTUSAN UNAS, KEMENANGAN SEMUA ANAK INDONESIA
"KAMI BERTERIMA KASIH KEPADA ANAK-ANAK KORBAN UJIAN NASIONAL."
Kamis, 26 November 2009, 11:48 WIB
Umi Kalsum


Anak-anak di Sekolah Dasar (VivaNews/ Nurcholis Lubis)

BERITA TERKAIT
• Depdiknas Belum Terima Putusan MA
• MA: Pemerintah Lalai Gelar Ujian Nasional
• ITS Anggap UN Masih Curang
• Tak Lulus UAN, Siswa di Kupang Rusak Sekolah
• 2.053 Siswa di Provinsi Kepri Tak Lulus UN




VIVAnews - Suara Yanti dari Keluarga Peduli Pendidikan (KerLIP) terdengar bergetar saat mengungkapkan perasaannya terkait putusan Mahkamah Agung yang melarang digelarnya Ujian Nasional (UN). KerLIP ikut melakukan pendampingan dan mengkoordinasi 58 orang penggugat UN.

"Alhamdulillah, saya terharu. Rasanya luar biasa. Kami berterima kasih kepada anak-anak korban Ujian Nasional yang berani memperjuangkan haknya. Meskipun hak mereka tidak dipenuhi secara langsung, tapi ini akan berimplikasi pada adik-adik kelas mereka yang tidak akan mengalami UN," kata Yanti kepada VIVAnews, Kamis 26 November 2009.

Korban UN dan orangtuanya, kata Yanti, juga terharu. Salah satu korban, Indah yang kini kuliah di YAI, menurutnya sudah bisa tertawa saat dihubunginya. Di bangku kuliah, Indah yang tahun 2006 lalu dinyatakan tidak lulus UN mendapatkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang cukup bagus.

"Indah dengan lugas mengatakan kemenangan ini bukan untuknya secara pribadi, tapi untuk semua anak Indonesia," kata Yanti.

Yanti juga mengaku sudah berkirim SMS dengan para orangtua 15 anak korban UN, seperti Melati, Nuri, Hamzah yang melakukan gugatan dan mendapatkan respons yang luar biasa.

Mahkamah Agung menolak permohonan pemerintah terkait perkara ujian nasional. Mahkamah Agung menegaskan pemerintah telah lalai dalam melaksanakan ujian nasional.

Putusan ini dibacakan majelis kasasi yang diketuai Abbas Said dengan anggota Mansur Kartayasa dan Imam Harjadi. Putusan dibacakan pada 14 September 2009. Putusan ini menguatkan putusan dari pengadilan tingkat pertama dan banding.

Pada putusan pengadilan tingkat pertama, majelis menilai pemerintah telah lalai dalam meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta informasi khususnya di daerah pedesaan.

Pemerintah juga dinyatakan mengabaikan implikasi ujian nasional. Karena masih terdapat kecurangan baik yang dilakukan guru maupun siswa supaya lulus ujian nasional.

Hakim juga berpendapat, pemerintah telah memenuhi unsur melawan hukum. Pemerintah terbukti merugikan siswa peserta ujian secara materiil dan imateriil.

Kerugian materiil itu berupa biaya pendidikan selama tiga tahun. Sedangkan kerugian imateril berupa tekanan psikologis dan kehilangan kesempatan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.
• VIVAnews

Ujian Nasional Dilarang
"TANPA UN SISWA BISA MALAS BELAJAR"
DEPDIKNAS KHAWATIR PUTUSAN MA AKAN MEMBERI PENGARUH BURUK TERHADAP PROSES BELAJAR SISWA.
Kamis, 26 November 2009, 11:52 WIB
Pipiet Tri Noorastuti


(VIVAnews/Tri Saputro)

BERITA TERKAIT
• Depdiknas Belum Terima Putusan MA
• MA: Pemerintah Lalai Gelar Ujian Nasional
• ITS Anggap UN Masih Curang
• Tak Lulus UAN, Siswa di Kupang Rusak Sekolah
• 2.053 Siswa di Provinsi Kepri Tak Lulus UN


VIVAnews - Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) akan tetap melaksanakan ujian nasional pada 2010. Depdiknas belum menerima salinan putusan Mahkamah Agung yang melarang ujian nasional.
"Kami bingung dengan informasi yang beredar, kami saja belum menerima salinan putusan itu," kata Kepala Humas Komunikasi dan Informasi Depdiknas, M Muhadjir, saat berbincang dengan VIVAnews, Kamis, 26 November 2009.
Ia khawatir informasi itu akan memberi pengaruh buruk terhadap proses belajar-mengajar di sekolah. "Saya khawatir informasi itu bisa membuat guru mutung dan siswa jadi malas belajar," ujarnya.
Sejauh ini, Depdiknas belum mengubah agenda pendidikan untuk pelaksanaan ujian nasional 2010. Depdiknas masih menunggu salinan putusan itu untuk dipelajari. "Yang pasti proses pendidikan nggak boleh berhenti," ujarnya.
Menurutnya, ujian nasional masih diperlukan sebagai standar pendidikan secara nasional. Ujian nasional dapat digunakan untuk memetakan mutu pendidikan secara nasional, menentukan kelulusan.
Kasus ujian nasional ini bermula dari gugatan masyarakat (citizen lawsuit) terhadap Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, serta Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), yang dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan.
Pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gugatan diterima. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada 6 Desember 2007 juga menguatkan putusan itu. Hingga akhirnya, MA menolak kasasi yang diajukan pemerintah. MA akhirnya melarang ujian nasional yang Depdiknas melalui surat putusan dengan nomor register 2596 K/PDT/2008 tertanggal 14 September 2009.
• VIVAnews



MA: PEMERINTAH LALAI GELAR UJIAN NASIONAL
PEMERINTAH TERBUKTI MERUGIKAN SISWA PESERTA UJIAN SECARA MATERIIL DAN IMATERIIL.
Rabu, 25 November 2009, 13:19 WIB
Arry Anggadha, Eko Huda S


Ilustrasi keputusan pengadilan (unisa.edu.au)

BERITA TERKAIT
• ITS Anggap UN Masih Curang
• Tak Lulus UAN, Siswa di Kupang Rusak Sekolah
• 2.053 Siswa di Provinsi Kepri Tak Lulus UN
• 8.622 Siswa di NTB Tak Lulus Ujian Nasional
• Kelulusan Tujuh Sekolah di NTT 0 Persen



VIVAnews - Mahkamah Agung menolak permohonan pemerintah terkait perkara ujian nasional. Mahkamah Agung menegaskan pemerintah telah lalai dalam melaksanakan ujian nasional.

Putusan ini dibacakan majelis kasasi yang diketuai Abbas Said dengan anggota Mansur Kartayasa dan Imam Harjadi. Putusan dibacakan pada 14 September 2009. Putusan ini menguatkan putusan dari pengadilan tingkat pertama dan banding.

Pada putusan pengadilan tingkat pertama, majelis menilai pemerintah telah lalai dalam meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta informasi khususnya di daerah pedesaan.

Pemerintah juga dinyatakan mengabaikan implikasi ujian nasional. Karena masih terdapat kecurangan baik yang dilakukan guru maupun siswa supaya lulus ujian nasional.

Hakim juga berpendapat, pemerintah telah memenuhi unsur melawan hukum. Pemerintah terbukti merugikan siswa peserta ujian secara materiil dan imateriil.

Kerugian materiil itu berupa biaya pendidikan selama tiga tahun. Sedangkan kerugian imateril berupa tekanan psikologis dan kehilangan kesempatan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.

Hakim mencontohkan ada siswa yang sudah mendapatkan beasiswa dari universitas negeri dan universitas di luar negeri. Bahkan ada pemenang olimpiade fisika yang tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi karena tidak lulus ujian nasional.
• VIVAnews

ITS ANGGAP UN MASIH CURANG
ANGGAP UN BELUM KREDIBEL, ITS MASIH PAKAI SNMPTN
Selasa, 10 November 2009, 09:11 WIB
Jufri


Persiapan ujian (www.wmin.ac.uk)

BERITA TERKAIT
• Jadi Joki UMPTN, 12 Mahasiswa ITB di DO
• Terlibat Joki, 2 Pegawai Unhas Dipecat
• Cara Baru Siswa Lakukan Kecurangan UMPTN
• Ikut UMPTN Meski Tumor Bersarang di Tubuhnya
• Mulai Hari Ini, Calon Mahasiswa Ikuti UMPTN


SURABAYA POST - Wacana menghapus Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan menggunakan nilai ujian nasional (UN) sebagai penerimaan calon mahasiswa baru masih jauh. Pasalnya, hingga saat ini pihak perguruan tinggi masih meragukan hasil ujian nasional.

Rektor Institut Teknologi 10 November Surabaya (ITS), Prof Ir Priyo Suprobo MS PhD mengatakan, ujian masuk perguruan tinggi negeri masih tetap menggunakan sistem SNMPTN. Rencana pemerintah menghapus SNMPTN dan mengganti dengan nilai UN sebagai seleksi masuk ke perguruan tinggi belum bisa dilaksanakan.

“Kami belum bisa menghapus SNMPTN dan menggunakan nilai UN sebagai seleksi masuk perguruan tinggi negeri (PTN). Ini karena kami menilai hasil UN masih belum kredibel,” ujar Priyo, Selasa (10/11). Priyo yang pernah didaulat sebagai koordinator Ujian Akhir Nasional Jatim tingkat SMA 2009 ini mengaku, pelaksanaan ujian akhir di Indonesia masih banyak terjadi kecurangan.

Karenanya hasil ujian nasional (UN)-nya masih diragukan dan tak bisa dijadikan alat seleksi masuk ke perguruan tinggi. Apalagi hingga saat ini penyelenggaraan penerimaan mahasiswa baru masih merupakan wewenang dan hak mutlak dari setiap universitas.

“Kami belum melakukan pertemuan dengan rektor se-Indonesia dan belum menginformasikan hasil pembicaraan kami dengan mendiknas,” ungkapnya.

Priyo menambahkan, pada prinsipnya hasil pertemuan dengan Mendiknas masih dalam tahapan memerbaiki ujian akhir. Dengan melibatkan perguruan tinggi dalam menyusun soal ujian dan dalam hal pengawasan pelaksanaan ujian, diharapkan keikutsertaan perguruan tinggi dalam pelaksanaan ujian akhir dapat memperbaiki pelaksanaan ujian akhir yang selama ini penuh dengan kecurangan.

“Pada prinsipnya perguruan tinggi tidak mengambil alih pelaksanaan Unas, tetapi hanya sebatas membantu. Kalaupun tidak harus membantu, kami juga tidak ada masalah,” tuturnya. Apakah penghapusan SNMPTN berarti mengurangi pemasukan bagi perguruan tinggi negeri? Menjawab hal itu, Priyo menegaskan, perguruan tinggi tidak mendapatkan laba dari pelaksanaan SNMPTN.

Sebab, perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan merupakan lembaga nirlaba. “Kami tidak akan mencari laba dari SNMPTN, karena kami adalah nirlaba,” jelasnya.

Laporan : Reny Mardiningsih
• VIVAnews

MENGAPA UJIAN NASIONAL DIGUGAT
UJIAN NASIONAL CENDERUNG MENGABAIKAN PRESTASI BELAJAR YANG DIMILIKI SISWA.
Kamis, 26 November 2009, 12:23 WIB
Pipiet Tri Noorastuti


(ANTARA/Ujang Zaelani)

BERITA TERKAIT
• "Tanpa UN Siswa Bisa Malas Belajar"
• Putusan Unas, Kemenangan Semua Anak Indonesia
• Depdiknas Belum Terima Putusan MA
• MA: Pemerintah Lalai Gelar Ujian Nasional
• ITS Anggap UN Masih Curang

VIVAnews - Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan pemerintah terkait pelaksanaan ujian nasional. Putusan itu melarang Departemen Pendidikan Nasional menyelenggaran ujian nasional, sebelum ada perubahan sistem pendidikan yang merata.

Koordinator Tim Advokasi Korban UN, Gatot Goei, mengatakan, putusan hakim tidak secara eksplisit melarang penyelenggaran ujian nasional. Namun, hakim menyatakan pemerintah lalai dalam memenuhi hak dasar warga negaranya, terutama pendidikan dan hak anak.

Hakim lalu meminta pemerintah untuk memperbaiki sistem pendidikan seperti sarana belajar dan kualitas guru secara merata hingga ke pelosok tanah air. "Setelah poin-poin itu dilakukan itu baru ujian nasional boleh dilakukan," kata Gatot saat berbincang dengan VIVAnews, Kamis, 26 November 2009.

Menurut Gatot, ujian nasional yang menjadi syarat kelulusan sangat merugikan peserta didik terutama di kawasan terpencil. Peserta didik di kawasan tertinggal dituntut memiliki standar yang sama dengan peserta didik di kota besar yang cenderung memiliki fasilitas pendidikan yang baik.

"Ujian nasional boleh diterapkan, kalau Depdiknas bisa menjamin kualitas guru dan sarana pendidikan di daerah tertinggal dan perkotaan sama," ujarnya.

Fakta lainnya, ujian nasional cenderung mengabaikan prestasi belajar yang dimiliki siswa. Ia mencontohkan, sejumlah siswa yang memiliki segudang prestasi dinyatakan tak lulus hanya karena gagal di ujian nasional. "Ujian nasional ini cenderung memveto nilai-nilai lain," ujarnya.

Sejumlah fakta yang dinilai merugikan peserta didik itulah yang kemudian diajukan sebagai bukti gugatan.

Kasus ujian nasional ini bermula dari gugatan masyarakat (citizen lawsuit) terhadap Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, serta Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), yang dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan.

Pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gugatan diterima. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada 6 Desember 2007 juga menguatkan putusan itu. Hingga akhirnya, MA menolak kasasi yang diajukan pemerintah. MA melarang ujian nasional yang diselenggaran Depdiknas melalui surat putusan dengan nomor register 2596 K/PDT/2008 tertanggal 14 September 2009.
• VIVAnews

DEPDIKNAS PASTIKAN AJUKAN PK
DEPDIKNAS TAK AKAN MENGHAPUS UJIAN NASIONAL PADA MARET 2010.
Kamis, 26 November 2009, 19:05 WIB
Pipiet Tri Noorastuti, Sandy Adam Mahaputra


(VIVAnews/Tri Saputro)

BERITA TERKAIT
• "UN Menghina Intelegensi Anak Didik"
• Kalla: UN Dorong Siswa Belajar Keras
• PMDK IPB Melayang Gara-gara Ujian Nasional
• Mengapa Ujian Nasional Digugat
• "Tanpa UN Siswa Bisa Malas Belajar"


VIVAnews - Departemen Pendidikan Nasional akan mengajukan peninjauan kembali atau PK untuk melawan putusan Mahkamah Agung terkait pelaksanaan ujian nasional. Dalam putusannya, MA menolak kasasi yang diajukan pemerintah.

"[Setelah menerima salinan putusannya] kami akan langsung mengajukan PK, bila PK juga gagal, kami juga akan melakukan langkah selanjutnya," Menteri Pendidikan Nasional, M Nuh, Kamis, 26 November 2009.

Hingga kini, Depdiknas belum menerima salinan putusan dengan nomor register 2596 K/PDT/2008 tertanggal 14 September 2009 itu. Dalam putusannya, MA menyatakan pemerintah lalai dalam memenuhi hak dasar warga negaranya, terutama pendidikan dan hak anak.

Jika didasarkan pada putusan di Pengadilan Tinggi, pemerintah diminta memperbaiki sistem pendidikan seperti sarana belajar dan kualitas guru secara merata hingga ke pelosok tanah air. Setelah poin-poin itu dilakukan itu baru ujian nasional boleh dilakukan.
Namun, M Nuh memastikan tak akan menghapus ujian nasional pada Maret 2010 mendatang.

Kasus ujian nasional ini bermula dari gugatan masyarakat (citizen lawsuit) terhadap Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, serta Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), yang dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan.

Pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gugatan diterima. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada 6 Desember 2007 juga menguatkan putusan itu.
Baca: Mengapa Ujian Nasional Digugat
• VIVAnews

PMDK IPB MELAYANG GARA-GARA UJIAN NASIONAL
"IJAZAH [PAKET C] SAYA SUDAH NGGAK DITERIMA LAGI, PMDK SAYA DIBATALKAN."
Kamis, 26 November 2009, 13:31 WIB
Pipiet Tri Noorastuti


(VIVAnews/Tri Saputro)

BERITA TERKAIT
• Mengapa Ujian Nasional Digugat
• "Tanpa UN Siswa Bisa Malas Belajar"
• Putusan Unas, Kemenangan Semua Anak Indonesia
• Depdiknas Belum Terima Putusan MA
• MA: Pemerintah Lalai Gelar Ujian Nasional


VIVAnews - Mimpi kuliah di Institut Pertanian Bogor sirna gara-gara angka 0,26. Keberhasilan meraih prestasi melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) dibatalkan manajemen kampus.

"Itu semua gara-gara saya tak lulus ujian nasional, nilai ujian saya kurang 0,26," kata Siti Hapsah, seorang korban ujian nasional pada tahun 2006 silam, saat berbincang dengan VIVAnews, Kamis, 26 November 2009.

Sebelum ujian nasional digelar, Siti sudah diterima sebagai calon mahasiswa Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga IPB, tanpa tes atau melalui jalur PMDK. Tak heran, sejak duduk di bangku kelas 1 hingga kelas 3 di SMA Perguruan Rakyat II Jakarta Timur, Siti selalu meraih peringkat 1 di sekolahnya.

Namun, semua prestasi yang dimilikinya seolah tak ada artinya saat ia dinyatakan tak lulus dalam ujian nasional yang diselenggarakan Departemen Pendidikan Nasional. Ujian nasional menjadi standar untuk menentukan kelulusan.

Kala itu, Siti yang mengambil jurusan IPA meraih angka ujian nasional 4,00. Sementara standar kelulusan minimal meraih nilai 4,26. "Saya jatuh di nilai Matematika, untuk Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris 8 semua," ujar mahasiswa Politeknik Departemen Kesehatan ini.

Siti akhirnya mendapat ijazah tanda lulus SMA melalui ujian Paket C yang diadakan pemerintah. Namun, ijazah itu keluar setelah perkuliahan di ITB dimulai. "Ijazah saya sudah nggak diterima lagi, PMDK saya dibatalkan," ujarnya.

Pengalaman serupa dialami Indah, mantan siswa SMA PSKD 7 Jakarta. Ia juga dinyatakan tak lulus gara-gara nilainya kurang 0,26. Seperti Siti, Indah juga gagal di mata pelajaran Matematika. "Saya sedih, karena nilai-nilai saya selama tiga tahun sekolah seperti diabaikan," ujar Indah.

Para korban ujian nasional itu kemudian mengajukan gugatan terhadap Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, serta Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), yang dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan.

Pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gugatan diterima. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada 6 Desember 2007 juga menguatkan putusan itu. Hingga akhirnya, MA menolak kasasi yang diajukan pemerintah. MA melarang ujian nasional yang diselenggaran Depdiknas melalui surat putusan dengan nomor register 2596 K/PDT/2008 tertanggal 14 September 2009.
• VIVAnews





















MAHKAMAH AGUNG TOLAK KASASI PEMERINTAH TENTANG UJIAN NASIONAL
Selasa, 24 November 2009 | 08:55 WIB


TEMPO Interaktif, Bandung -Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat, Wahyudin Zarkasi menyambut gembira putusan Mahkamah Agung menolak kasasi pemerintah tentang pelaksanaan Ujian Nasional, sebagai syarat kelulusan siswa.
Zarkasi mengaku mendengar putusan mahkamah tersebut dari website resminya baru-baru ini. Namun soal kepastian jadi atau tidaknya pelaksanaan ujian nasional nanti, menurutnya harus menunggu keputusan dari Menteri Pendidikan Nasional.
"Sejauh ini peraturan ujian nasional sudah ada, tapi kami tunggu instruksi selanjutnya," ujar Zarkasi di Bandung, Selasa (24/11).
Dia menilai putusan mahkamah tersebebut itu bagus, karena ujian nasional selama ini kerap diwarnai kecurangan. Akibatnya, hasil evaluasi belajar siswa menjadi kabur. "Kan semua jadi pada ikut ujian, dari bupati sampai guru-guru," katanya.
Ujian nasional, kata mantan pembantu rektor Universitas Padjadjaran itu, bisa diganti dengan Ujian Sekolah Berstandar Nasional. Fungsinya untuk memetakan kualitas standar pendidikan di berbagai daerah.
Dari situ, pemerintah kemudian melakukan intervensi dengan meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah yang nilai siswanya masih kurang. "Dengan menambah guru atau meningkatkan sarana dan prasarana sekolah," ujarnya.
Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia, Iwan Hermawan juga menyambut gembira berita tersebut. Dengan keluarnya putusan makhamah , kata dia, pemerintah berarti harus membatalkan ujian nasional SMP, SMA, dan SMK, serta Madrasah setingkat.
Sesuai Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, kelulusan siswa tidak lagi ditentukan dari hasil ujian nasional, melainkan dinilai oleh sekolah masing-masing. "Kelulusan diserahkan ke guru," ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga diminta mengubah pasal 72 dalam Peraturan Pemerintah nomor 19 yang mengatur tentang kelulusan siswa berdasarkan ujian nasional. Sebagai pengganti ujian nasional jika sudah disiapkan pemerintah, FGII menyarankan agar soal itu diganti namanya menjadi Ujian Sekolah Berstandar Nasional. "Penerapannya seperti USBN di sekolah dasar," katanya.
Sebelumnya pada 2006, 58 orang guru dan elemen masyarakat menolak ujian nasional sebagai syarat kelulusan siswa lewat pengajuan gugatan citizen lawsuit ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Putusan majelis hakim itu kemudian dikuatkan Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat. Tapi pemerintah yang tak puas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

ANWAR SISWADI




PEMERINTAH DIDESAK UBAH SISTEM UJIAN NASIONAL
Rabu, 25 November 2009 | 16:11 WIB



TEMPO Interaktif, Jakarta - Para penggagas penolakan ujian nasional mendesak pemerintah agar segera mengikuti putusan Mahkamah Agung soal penghentian kebijakan ujian nasional sebagai syarat kelulusan.
"Kami akan melayangkan surat eksekusi ke MA dan membicarakanya pada DPR," ujar Gatot Goei salah seorang Tim Advokasi Korban Ujian Nasional dan Education Forum. Rabu (25/11).

Dalam putusan Mahkamah Agung tertanggal 14 September Register 2596 K/PDT/2008, dengan putusan majelis hakim yang diketuai Adriani Nurdin, Mahkamah Agung menolak permohonan Kasasi yang yang diajukan pemerintah soal pelaksanaan ujian nasional.

Gatot menegaskan, pemerintah harus merevisi kebijakan ujian nasional dengan menghapus ujian nasional sebagai syarat kelulusan. "Pemerintah sudah seharusnya merevisi sistim pendidikan nasional, dimana kualitas guru yang rendah, sarana dan prasarana sekolah yang buruk serta akses informasi yang tidak merata." ujarnya.

Dalam putusan Mahkamah Agung tersebut, Majelis Hakim mengabulkan gugatan subsider para penggugat. Pemerintah pun dinilai lalai memberikan pemenuhan dan perlindungan hak azasi manusia terhadap warga negara yang menjadi korban ujian nasional, sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan ujian tersebut.

Majelis juga memerintahkan para tergugat (Pemerintah) meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksaanaan ujian nasional. Pemerintah juga diminta mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi gangguan psiklogis dan mental para peserta didik dalam usia anak akibat penyelengraan ujian nasional. Dan, memerintahkan para tergugat meninjau kembali sistim pendidikan nasional serta menghukum para tergugat membayar denda Rp 374 ribu.

Suparman, Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia, menegaskan, dengan dihilangkannya ujian nasional, siswa bisa terbebas dari beban psikologi dan beban pembelajaran yang berat pada siswa menjelang ujian. "Kita tidak menolak ujian nasional, tapi jangan sampai UN dijadikan sebagai hak veto lulus tidaknya siswa," ujarnya.

Ia menegaskan, guru harus diberi wewenang untuk memberikan penilain proses belajar selama satu tahun saat kelas tiga SMU, dan nilai ujian nasional atau ujian serentak yang akan dilakukan pemerintah nantinya disatukan dengan nilai proses belajar siswa di kelas.
"Bahkan dengan pola seperti ini nantinya siswa terlatih berkompotisi secara fair." ujarnya. "Hasil ujian nasional bukan jadi patokan kelulusan tapi nanti bisa digunakan bagi mereka yang ingin masuk perguruan tinggi negeri."

Ia menuturkan, dengan adanya pola sertifikasi guru, bisa memacu guru untuk memberikan pendidikan yang berkualitas pada anak didiknya ."Pemerintah juga harus mengeluarkan dana yang besar untuk pelatihan dan pendidikan pada guru, sebagai syarat untuk meningkatkan kualitas guru yang berimbas naiknya kualitas murid." katanya. "Adanya UN guru tidak diberikan kesempatan menilai proses, dan siswa didikpun diajarkan pola pendidikan yang padat agar siswa tersebut bisa lulus UN." katanya.

ALWAN RIDHA RAMDANI


TINJAU ULANG UJIAN NASIONAL
Kamis, 26 November 2009 | 13:32 WIB
Oleh Anita Lie

shutterstock
Apakah kebijakan ujian nasional di Indonesia terinspirasi dan didorong oleh ketakutan serupa seperti terjadi di AS? Apa pun latar belakangnya, kebijakan ujian nasional sebagai penentu kelulusan dan indikator keberhasilan institusi pendidikan atau suatu kabupaten/kota harus ditinjau ulang karena telah menimbulkan lebih banyak kerusakan daripada manfaat dalam praktik pendidikan.

Mahkamah Agung kembali memenangkan gugatan masyarakat lewat citizen law suit terkait penyelenggaraan ujian nasional. Kasasi yang diajukan pemerintah yang menolak putusan pengadilan tinggi soal kemenangan masyarakat atas gugatan ujian nasional dinyatakan ditolak MA (Kompas, 25/11/2009).

Keputusan MA ini menunjukkan pemahaman yang lebih baik tentang esensi pendidikan daripada yang ditunjukkan Depdiknas yang bersikukuh melaksanakan ujian nasional.

Berbagai argumentasi sudah dikemukakan para pakar, pemerhati, praktisi pendidikan, orangtua, dan siswa sendiri untuk menggugat kebijakan ujian nasional. Sementara itu, pemerintah masih akan kembali melakukan upaya hukum terakhir, yakni pengajuan peninjauan kembali. Sebaiknya semua pihak yang terlibat proses hukum ini bersikap arif dan mempertimbangkan realitas penyelenggaraan ujian nasional dan prinsip-prinsip evaluasi pendidikan.

Indikator mutu
Hasil ujian nasional bukan indikator mutu pendidikan. Model assessment seperti dalam ujian nasional (mengambil bentuk pilihan ganda untuk kemudahan administrasi) menguji kemampuan menghapal fakta dan kemampuan berpikir konvergen. Sementara itu, berbagai persoalan dalam kehidupan membutuhkan kemampuan berpikir divergen, kreativitas, keterampilan memecahkan masalah, daya analisis, dan kemampuan mendesain.

Penetapan standar nasional pendidikan dan evaluasi berdasar ujian nasional dilandasi mitos, ketakutan, dan kelatahan. Dalam berbagai forum pendidikan, perbandingan antarnegara berupa hasil tes anak sekolah sering ditampilkan dan dijadikan alasan pembenaran penyelenggaraan ujian nasional, yang diharapkan memacu prestasi dan daya saing global.

Tampaknya, ketakutan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di AS. Dalam buku barunya, Catching Up or Leading the Way, Prof Yong Zhao asal China yang mengajar di Michigan State University, AS, menyayangkan kebijakan "No Child Left Behind (NCLB)" oleh pemerintahan George W Bush yang mengharuskan ujian matematika, bahasa, dan sains secara nasional. Kebijakan ini dianggap sebagai kediktatoran di bidang pendidikan. Penghargaan terhadap sekolah yang siswanya berhasil dalam ujian nasional dan sebaliknya sanksi terhadap sekolah yang tidak berhasil telah menimbulkan ketersesatan dalam praktik pendidikan.

Buku ini merupakan hasil penelitian Yong Zhao terhadap pendidikan di China. Ironis, China, yang dulu amat menekankan perolehan pengetahuan dengan penghapalan fakta, menyadari kekeliruan. Pada dekade terakhir ini China mulai beralih pada proses pendidikan yang mendorong kreativitas.

China mengakui dan mengagumi sistem pendidikan AS yang berhasil mengantar pemikir, ilmuwan, dan pejuang HAM melalui penghargaan terhadap kreativitas. Justru pada pemerintahan Bush, mutu pendidikan direduksi menjadi hasil ujian standar.

Apakah kebijakan ujian nasional di Indonesia terinspirasi dan didorong oleh ketakutan serupa seperti terjadi di AS? Apa pun latar belakangnya, kebijakan ujian nasional sebagai penentu kelulusan dan indikator keberhasilan institusi pendidikan atau suatu kabupaten/kota harus ditinjau ulang karena telah menimbulkan lebih banyak kerusakan daripada manfaat dalam praktik pendidikan.


Kerusakan dalam sistem
Yang diuntungkan oleh kebijakan ujian nasional adalah pengelola bimbingan belajar dan penerbit buku-buku soal. Yang menyedihkan adalah ketergelinciran sebagian stakeholders pendidikan dalam menyikapi kebijakan ujian nasional.

Proses di kelas 6, 9, dan 12 berubah menjadi kegiatan bimbingan belajar. Bahkan banyak sekolah sudah mengundang masuk dan meng-outsource-kan pendidikan siswa kepada bimbingan belajar. Yang paling tragis, pendidik terjerumus dalam tindakan tercela, mulai dari pencurian soal, mengganti jawaban siswa, memberi contekan kepada siswa, hingga membiarkan siswa mencontek.

Keterjerumusan ini juga terjadi di AS. Steven Levitt dan Stephen Dubner (Freakonomics) mencermati perilaku para guru di sekolah-sekolah negeri di Chicago yang menampung 400.000 siswa setiap tahun. Data 30.000 siswa per tahun dalam bentuk 100 juta jawaban pada ujian pilihan ganda matematika dan membaca dianalisis dengan menggunakan algoritma. Ditemukan beberapa kejanggalan pola jawaban yang mengarah pada kecurangan yang dilakukan guru (mengganti jawaban siswa).

Penelitian ini berujung pada pembuktian 5 persen guru di Chicago terlibat kecurangan. Dalam penelitian lain terhadap para guru di Negara Bagian North Carolina, 35 persen guru menyatakan mereka menyaksikan rekannya bertindak curang untuk ”meluluskan” siswanya.

Bagaimana dengan di Indonesia? Sebenarnya kasus-kasus serupa sudah diungkap di berbagai tempat. Pejabat pendidikan di tingkat nasional dan daerah menganggap enteng masalah ini dan menganggapnya sebagai kasus kecil dan tidak berarti.

Mungkinkah kasus-kasus kecurangan dan manipulasi ujian nasional di Indonesia diungkap secara gamblang dan transparan? Bisa saja penguasa pendidikan melindungi dan menjaga ketat data ini sehingga kita tidak pernah tahu secara akurat, seberapa jauh kerusakan telah terjadi dalam sistem.

Namun, beberapa kasus, ketika guru tertangkap basah bertindak curang dan telah diungkap di media, sudah cukup untuk menyatakan bahwa kebijakan ujian nasional harus ditinjau ulang. Guru, sosok yang patut ditiru, justru memberi contoh ketidakjujuran karena adanya tekanan sistemik berdasar ujian nasional. Ini merupakan tragedi nasional dan penjungkirbalikan esensi pendidikan.

Penulis adalah Guru Besar Unika Widya Mandala, Surabaya/Anggota Komunitas untuk Demokrasi

Editor: latief

Sumber : Kompas Cetak
http://m.kompas.com di mana saja melalui ponsel, Blackberry, iPhone, atau Windows Mobile Phone Anda

Artikel Terkait:
• UN Lebih Baik untuk Pemetaan Pendidikan Saja
• MA Nilai Penyelenggaraan UN Cacat Hukum

Map
Jakarta, Indonesia
MA TAK PERBOLEHKAN PELAKSANAAN UN
Siterbitkan: 26 November 2009 2.36 pm oleh Redaksi Indonesia
Radio Netherlands Worldwide


Para pengamat pendidikan sependapat bahwa pemerintah harus kembali ke sistem kelulusan yang lama, menyusul keputusan Mahkamah Agung yang menyatakan Ujian Nasional (UN) cacat hukum.
Banyak pendapat; Ujian Nasional harus ada, tetapi jangan dijadikan tolok-ukur kelulusan, tetapi merupakan pemetaan pendidikan. Berikut tanggapan M Bakri BK, Ketua Umum LSM "Poros Pendidikan" di Jakarta kepada Radio Nederland Wereldomroep tentang kemelut UN tersebut.

Pro kontra UN
M Bakri [MB]: Masalah UN ini memang sudah berapa lama ini menjadi polemik, jadi masalah pro-kontra di masyarakat juga. Mahkamah Agung menerima gugatan dari korban UN dan ada beberapa organisasi menggugat pemerintah, dan MA juga sudah memutuskan bahwa itu dibatalkanlah, boleh dikatakan ; harus ditinjau kembali UN itu.
Problem sebenarnya adalah Ujian Nasional ini jadi tolok-ukur kelulusan siswa. Yang mana kalau berbicara masalah Ujian Nasional yang berlaku di negeri ini, dia harus melihat bahwa setiap daerah kan tidak sama. Umpamanya daerah DKI Jakarta Raya dan di Irian Jaya, di Papua itu akan berbeda. Berbeda dari aspek murid-murid, siswanya, juga kita lihat bahwa sarana dan pra-sarananya ini tidak mendukung.
Jadi siswa dituntut untuk mencapai standarisasi nilai, dan juga jadi standard kelulusan mereka, tapi sarana dan pro-sarana mereka itu tidak menunjang. Jadi seharusnya pemerintah menyiapkan dulu sarana-pra-sarana untuk mencapai standarisasi pendidikan itu. Jadi jangan melihat Ujian Nasional itu dari hasilnya. Tapi melihat prosesnya juga.
Ini kan juga dari segi pelanggaran hak azasi kepada anak-anak ini juga terjadi. Jadi problemnya, Ujian Nasional itu silahkan dilaksanakan, dan yang penting sarana dan pra-sarana untuk mendukung ke situ, Ujian Nasional ini tercapai. Itulah yang diharapkan oleh masyarakat dan guru-guru juga begitu.
Malah kemarin dimenangkan oleh MA, itu guru-guru banyak yang bersyukur. Jadi ini memang fenomena yang sangat menarik sekali.
Radio Nederland Wereldomroep [RNW]: Masalah UN ini lebih kena kalau dikatakan; harus disempurnakan. Jadi tidak harus gebyah-uyah begitu maksudnya?

Mutu pendidikan
MB: Ya, sebenarnya bicara soal UN itu pendidikan harus bermutu. Dan bagaimana kita untuk memajukan bangsa dan negara ini, kalau tidak diawali oleh pendidikan. Dan pendidikan itu harus bermutu itu, saya pikir itu merupakan konsep yang benar. Yang jadi problem sekarang ini di Ujian Nasional ini. Soal Ujian Nasional ini kan sama. Umpamanya di daerah DKI, di daerah yang lain, itu sama, dan standarisasinya berbeda.
Jadi proses sarana dan pra-sarana itu yang dibenahi dulu. Masyarakat meminta itu dibenahi dulu. Malah ada kasus di suatu provinsi itu banyak yang gak lulus, karena ternyata ada kebocoran soal. Kebocoran soal itu, ternyata soalnya ditukar lagi oleh panitia, akhirnya berbeda dengan rumusan jawaban. Sehingga akhirnya banyak yang gak lulus. Nah ini kan banyak terjadi kecurangan-kecurangan untuk mencapai kelulusan.
Dan pemerintah daerah, dinas-dinas pendidikan di daerah ingin berharap di wilayahnya itu banyak yang lulus. Tapi karena fenomena seperti itu, terjadilah banyak kecurangan.
Jadi Ujian Nasional itu baik untuk meningkatkan mutu, tapi untuk meningkatkan mutu itu kan harus ada sarana dan pra-sarana untuk mencapai proses itu didukung.
RNW: Apa yang anda sebut sebagai sarana dan pra-sarana apakah termasuk mutu para guru atau para pengajar yang memberikan pendidikan kepada para siswa dan murid?

Kwalitas guru
MB: Ya, jadi guru juga harus ditingkatkan kwalitasnya, karena ini juga faktor utama. Nah ini variabelnya salah satu adalah seperti itu. Dan sarana pra-sarana sekolah penunjang sekolah
dan lain-lain, itu memang problem yang juga harus dilihat oleh pemerintah untuk mencapai hasil yang diinginkan, dan juga harus dilihat prosesnya.
RNW: Sebagai seorang pakar pendidikan, apakah anda melihat pemerintah sudah cukup berbuat banyak untuk mempersiapkan sarana dan pro-sarana ini?
MB: Yang terjadi selama ini di dalam masyarakat ini, bahwa faktor penunjang itu belum mencapai taraf maksimal.

ANTARANEWS
PUTUSAN MA PERTEGAS UN PERLU DIEVALUASI TOTAL
Rabu, 25 November 2009 21:39 WIB | Peristiwa | Pendidikan/Agama | Dibaca 923 kali

(ANTARA/Budi Afandi)

Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi X DPR RI M Hanif Dhakiri menyatakan, putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi pemerintah dalam perkara Ujian Nasional (UN) semakin mempertegas penilaian bahwa UN memang bermasalah dan harus dievaluasi total.
"Putusan MA yang pada intinya melarang pelaksanaan UN oleh pemerintah merupakan bentuk penegasan legal bahwa UN kita banyak masalah dan karenanya harus dilakukan evaluasi total," katanya di Jakarta, Rabu.
Selain itu, kata Hanif, putusan MA juga mempertegas penilaian bahwa pelaksanaan UN belum merupakan prioritas dalam pembangunan pendidikan Indonesia.
Menurut Hanif, pada dasarnya UN memang diperlukan oleh sebuah negara karena merupakan tolok ukur bagi keluaran proses pendidikan nasional.
Namun demikian, diperlukan prasyarat dasar sebelum UN dilaksanakan yakni pemenuhan terhadap standar proses pendidikan, seperti sarana prasarana pendidikan yang memadai, distribusi dan kualitas guru, kurikulum, dan lainnya.
Standar proses pendidikan itu terkait dengan pemenuhan hak-hak dasar warga untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau.
"Ini semestinya dipenuhi dulu sebelum UN diberlakukan. Selama ini penerapan UN `digebyah uyah` alias dipukul rata tanpa mempertimbangkan kondisi dari infrastruktur dasar pendidikan," kata anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa itu.
Oleh karena itu, kata Hanif, UN bisa dikatakan perlu pada saatnya nanti, tetapi bukan prioritas untuk saat ini mengingat belum terpenuhinya standar proses pendidikan.
Jika dipaksakan, ujarnya, UN hanya akan menjadi beban bagi siswa dan lembaga penyelenggara pendidikan, juga bagi pemerintah sendiri, lantaran anggaran yang diperlukan begitu besar sementara hasilnya tidak menjamin kualifikasi lulusan sekolah.
"Evalusi total terhadap UN harus dilakukan untuk menemukan urgensinya dan mengkonstruksi ulang pelaksanaannya sesuai dengan realitas yang dihadapi oleh siswa-siswa di berbagai tempat yang berbeda," katanya.(*)

COPYRIGHT © 2009

ANTARANEWS
MA TOLAK KASASI TENTANG UJIAN NASIONAL
Kamis, 26 November 2009 02:59 WIB | Peristiwa | Pendidikan/Agama | Dibaca 1508 kali

(ANTARA/Prasetyo Utomo)

Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi yang diajukan pemerintah terkait dengan pelaksanaan Ujian Nasional (Unas) sehingga dengan putusan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa UN yang selama ini dilakukan adalah cacat hukum, dan selanjutnya UN dilarang untuk diselenggarakan.

Dalam laman MA, di Jakarta, Rabu, disebutkan, pemohon dalam perkara tersebut yakni pihak negara RI cq Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, Negara RI cq Wakil Presiden RI, M. Jusuf Kalla --saat permohonan itu diajukan--, Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo --saat permohonan itu diajukan--.

Kemudian, Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional cq Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, Bambang Soehendro melawan Kristiono dkk (selaku para termohon Kasasi dahulu para Penggugat/para Terbanding).

"Menolak permohonan kasasi para pemohon," demikian laman itu menyebutkan.

Selain itu, MA juga membebankan para Pemohon Kasasi/para Tergugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp500 ribu.

Putusan itu sendiri diucapkan dalam Rapat Permusyawaratan hakim agung pada 14 September 2009 dengan ketua majelis hakim, Abbas Said, dan anggota Mansyur Kartayasa dan Imam Harjadi.

Adanya putusan tersebut, sekaligus menguatkan dengan putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta pada 6 Desember 2007, namun pemerintah tetap menyelenggaran UN untuk 2008 dan 2009.

Pemerintah dianggap telah lalai dalam meningkatkan kualitas guru baik sarana maupun prasarana, hingga pemerintah diminta untuk memperhatikan terjadinya gangguan psikologis dan mental para siswa sebagai dampak dari penyelenggaran UN.(*)
COPYRIGHT © 2009
FOKUS
UJIAN NASIONAL
DILARANG JADI SYARAT KELULUSAN

ndosiar.com, Jakarta - Mahkamah Agung melarang ujian nasional yang digelar Depdiknas setelah kasasi gugatan yang diajukan pemerintah di tolak MA.

MA memutuskan menolak kasasi sekaligus memenangkan gugatan warga negara, yang diajukan oleh Kristiono dan kawan kawan.

Dalam isi putusan ini para tergugat yakni Presiden, Wapres, Mendiknas dan ketua badan standar nasional pendidikan dinilai lalai dalam memenuhi kebutuhan hak asasi manusia dibidang pendidikan. Pemerintah juga lalai meningkatkan kwalitas guru.

Sejumlah pengamat menyambut baik keputusan Mahkamah Agung ini karena salama ini, ujian nasional dinilai belum memberikan rasa keadilan terutama, bagi para siswa di daerah.

Terbitanya putusan kasasi ini, komisi X DPR RI langsung menggelar rapat kerja dengan jajaran Departemen Pendidikan Nasional hari ini. Diharapkan putusan MA ini dipatuhi oleh pemerintah, setidaknya dengan meninjau ulang, aturan pemerintah atau PP tentang UN.(tim liputan/Her)

BSNP: UJIAN NASIONAL TETAP PENTING
Sufiani Tanjung dan Doni Indradi

Djemari Mardati

Artikel Terkait
• Mendiknas: Tahun Ini UN Masih Dilaksanakan
• Pemerintah Akan Ajukan PK Pembatalan Ujian Nasional
• Siswa Sujud Syukur Sambut Larangan Ujian Nasional
26/11/2009 12:40

Liputan6.com, Jakarta: Meski putusan Mahkamah Agung melarang pelaksanaan ujian nasional, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tetap beranggapan ujian nasional penting untuk mengukur standar kemampuan pelajar. Meski begitu, Ketua BSNP Djemari Mardati mengatakan, semua ini terserah kepada pemerintah.

Putusan MA diumumkan dalam situs Mahkamah Agung. Dalam putusannya MA menolak kasasi yang diajukan pemerintah sebagai tergugat. Menyikapi putusan ini, pemerintah akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) [baca: Mahkamah Agung Larang Ujian Nasional].

Proses hukum terkait pelaksanaan ujian nasional bermula dari gugatan warga negara atas pelaksanaan ujian nasional sebagai syarat kelulusan. Pengadilan kemudian memenangkan para tergugat. Pemerintah selanjutnya mengajukan banding dan kasasi yang kemudian ditolak. Putusan MA ini disambut baik sejumlah pihak.(AIS/YUS)

MENDIKNAS: TAHUN INI UN MASIH DILAKSANAKAN
Tim Liputan 6 SCTV

Mohammad Nuh

Artikel Terkait
• Pemerintah Akan Ajukan PK Pembatalan Ujian Nasional
• Siswa Sujud Syukur Sambut Larangan Ujian Nasional
• BSNP: Ujian Nasional Tetap Penting
26/11/2009 17:43


Liputan6.com, Jakarta: Ujian Nasional masih akan diadakan tahun ini. Demikian dinyatakan Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh di Jakarta, Kamis (26/11), menyusul keputusan Mahkamah Agung yang membatalkan pelaksanaan Ujian Nasional bagi siswa sekolah. Pemerintah juga tetap akan menempuh upaya hukum terakhir dengan mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan MA tersebut [baca: Pemerintah Akan Ajukan PK Pembatalan Ujian Nasional].

Sementara sebagian kepala sekolah dan guru di Bali mengaku belum mendapat petunjuk dari Dinas Pendidikan menyusul pembatalan UN. Kepala Sekolah Menengah Pertama Saraswati I, Bali, Agung Adyani, misalnya. Ia mengaku belum mendapat pemberitahuan resmi mengenai masalah ini. Namun bilapun UN ditiadakan, Agung mendukung dan bersyukur karena tidak lagi menjadi beban bagi para siswa.

Hal serupa juga disampaikan guru SMP Negeri 6 Temanggung, Jawa Tengah, Rososarkoro. Dia menentang pelaksanaan UN karena terlalu banyak merugikan dunia pendidikan.

Berbeda dengan Kepala Sekolah Dasar Sampangan Semarang, Jateng, Damsriyati. Ia menilai pembatalan UN tidak tepat. Walau bagaimanapun, menurut Damsriyati, UN menumbuhkan kompetisi mutu secara positif pada masing-masing sekolah.(ZAQ)


SISWA SUJUD SYUKUR SAMBUT LARANGAN UJIAN NASIONAL
Tim Liputan 6 SCTV


Artikel Terkait
• Mendiknas: Tahun Ini UN Masih Dilaksanakan
• Pemerintah Akan Ajukan PK Pembatalan Ujian Nasional
• BSNP: Ujian Nasional Tetap Penting
26/11/2009 13:44


Liputan6.com, Panyabungan: Sejumlah siswa sekolah menengah kejuruan di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara, menggelar sujud syukur menyambut putusan Mahkamah Agung yang melarang pemerintah melaksanakan ujian nasional. Berdasarkan pantauan SCTV, Kamis (26/11), para siswa pun berdoa bersama agar Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh setuju untuk meniadakan ujian nasional [baca: Mahkamah Agung Larang Ujian Nasional].

Kendati di berbagai daerah lain masih terjadi pro dan kontra menyambut putusan ini, para guru di Tangerang, Banten, justru menyambut baik keputusan tersebut. Lain lagi dengan di Jakarta. Sejumlah kepala sekolah mengaku belum mendapat pemberitahuan resmi tentang larangan ujian nasional. Mereka pun bingung karena telah menyiapkan pelaksanaan ujian nasional tahun ini.

Terkait hal itu, pengamat pendidikan Arief Rachman menilai ujian nasional bisa saja dilaksanakan, tapi dengan sejumlah perubahan. Seperti apakah akhir dari pro dan kontra ujian nasional ini? Tentunya, banyak pihak menantikan langkah pemerintah selanjutnya. Selengkapnya, simak video berita ini.(UPI/ANS)

PEMERINTAH AKAN AJUKAN PK PEMBATALAN UJIAN NASIONAL
Fira Abdurachman

Artikel Terkait
• Mendiknas: Tahun Ini UN Masih Dilaksanakan
• Siswa Sujud Syukur Sambut Larangan Ujian Nasional
• BSNP: Ujian Nasional Tetap Penting
26/11/2009 16:58

Liputan6.com, Jakarta: Pemerintah akan mengajukan perlawanan hukum melalui peninjauan kembali atau PK atas putusan Mahkamah Agung yang membatalkan ujian nasional bagi siswa sekolah. "Harapannya sistem pendidikannya mantap, tidak setiap tahun berubah," kata Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh kepada wartawan di kantornya, Jakarta, Kamis (26/11).
Menurut Mendiknas, saat ini Departemen Pendidikan Nasional belum menerima secara resmi dan utuh salinan putusan Mahkamah Agung. Karena itu, Depdiknas akan mengajukan PK segera setelah menerima salinan resminya. "Masih menunggu hasil akhir putusan MA," ujar M. Nuh.
Dalam keputusan tertanggal 14 September 2009, Mahkamah Agung menolak kasasi pemerintah dalam perkara ujian nasional. Alasannya, para tergugat, yakni Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan telah lalai memenuhi kebutuhan hak manusia di bidang pendidikan dan mengabaikan peningkatan kualitas guru [baca: Mahkamah Agung Larang Ujian Nasional].(ANS)

PIKIRAN RAKYAT Online
SISWA MASIH BINGUNG TERKAIT UN 2010
Rabu, 25 November 2009 , 13:53:00

BANDUNG, (PRLM).- Masih gamangnya pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2010 menyusul ditolaknya kasasi pemerintah oleh Mahkamah Agung membuat siswa bingung. Meski tetap belajar seperti biasa, namun secara psikologis situasi ini telah mengganggu siswa.
"Jujur saja kami bingung, ada tidak UN tahun depan," kata Riana Yaumul Azmi, salah satu siswa SMAN 9 Kota Bandung saat syukuran "Kemenangan Gugatan Ujian Nasional", Rabu (25/11), di Gedung Indonesia Menggugat, Jln. Perintis Kemerdekaan Bandung.
Menurut Riana, secara tidak langsung kondisi ini telah membuat para siswa ikut memikirkan hal yang seharusnya tidak dipikirkan oleh siswa. "Saya juga yakin semua teman-teman yang ikut bimbingan belajar rela bayar hingga jutaan tujuannya hanya satu, yakni bisa lulus UN. Jadi menurut kami, tidak adil jika selama tiga tahun kami belajar di sekolah tapi hanya ditentukan dalam sepekan," ujarnya.
Siswa lainnya, Lutfi Oktavian mengatakan, UN boleh-boleh saja diselenggarakan asalkan tidak lagi menjadi syarat kelulusan. Sebab menurut dia sekolah jauh lebih tahu kemampuan siswanya karena telah membimbing selama tiga tahun. "Menurut saya tidak bisa hanya ditentukan dalam beberapa hari saja melalui UN," ucap siswa SMAN 12 Kota Bandung ini.
Sementara itu, wakil Forum Orang Tua Siswa (Fortusis) Dedi Gustiar mengatakan, pemerintah harus secepatnya menindaklanjuti keputusan MA ini. Sebab UN merupakan bentuk mal praktik di dunia pendidikan. "Bukannya kami tidak mendukung program pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan, tapi jangan jadikan UN sebagai tolak ukur kelulusan siswa," ungkapnya.
Dedi juga menuturkan, ditolaknya kasasi pemerintah oleh MK merupakan pembelajaran hukum bagi pemerintah SBY. "Gugatan warga negara bisa dimenangkan oleh MA, sekarang pertanyaannya mau tidak SBY menegakkan hukum yang telah ditetapkan MA ini," tuturnya.
Sementara itu, Sekjen Federasi Guru Independen Indonesia Iwan Hermawan mengatakan dengan adanya keputusan MA tertanggal 14 September 2009 pemerintah harus membatalkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 75 yang mengatur tentang UN 2010.
Penyelenggaraan ujian akhir dan penentuan kelulusan peserta didik pun sudah semestinya dikembalikan kepada guru dan satuan pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.
"Pemerintah harus terlebih dahulu meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana, serta akses informasi yang lengkap ke seluruh daerah sebelum mengeluarkan kebijakan UN. Maka sudah saatnya UN dihentikan sampai ketiga aspek ini dipenuhi," ungkapnya.
Iwan menambahkan, syukuran yang diselenggarakan bertepatan dengan hari guru nasional yang diperingati setiap 25 November ini juga diselenggarakan secara serentak di beberapa wilayah di Indonesia. Di antaranya Aceh, Lampung, Makassar, Medan, Jakarta, Balikpapan, dan Bandung. (A-157/A-147)***
PEMERINTAH PERTIMBANGKAN PENINJAUAN KEMBALI KASUS UJIAN NASIONAL
Selasa, 24 November 2009 | 14:43 WIB


TEMPO Interaktif, Jakarta - Departemen Pendidikan Nasional mempertimbangkan untuk melakukan peninjauan kembali atas amar putusan penolakan kasasi oleh Mahkamah Agung pada kasus ujian nasional.

"Kami pelajari dulu amar putusannya. Kalau masih ada pertimbangan-pertimbangan yang menilai ujian nasional ini perlu, kami akan mengajukan peninjauan kembali, " ujar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional Mansyur Ramli ketika dihubungi Selasa (24/11)

Mahkamah Agung dalam laman resminya memutuskan menolak kasasi yang diajukan Presiden Republik Indonesai dan Menteri Pendidikan Nasional atas termohon Kristiono dan kawan-kawan. Amar putusan yang belum bernomor tersebut dikeluarkan per 14 September 2009 dengan nomor pendaftaran 2596 tahun 2008.
Mansyur mengakui baru mengetahui putusan Mahkamah tersebut. "Kami belum mendapat salinan resmi," ungkapnya.
Pihaknya, kata Mansyur, menghargai putusan tersebut. Tapi, ia menambahkan, Departemen ingin melihat pertimbangan Hakim Agung dalam memutuskan penolakan kasasi tersebut apakah karena kecurangan yang terjadi atau penyimpangan selama proses ujian nasional.
Kalau memang masalahnya di tingkat implementasi, kata Mansyur, maka solusinya adalah diperbaiki. "Jangan merusak bangunan rumah yang ada tikusnya, seharusnya memberantas tikus yang ada di dalam rumah," ia mengibaratkan.
Keberadaan ujian nasional, kata Mansyur, masih perlu untuk pemetaan dan pendorong semangat belajar peserta didik. Ia khawatir karena perbedaan cara pandang dalam ujian nasional, maka bangsa Indonesia akan kehilangan kesempatan untuk meningkatkan kualitas dengan ujian nasional. "Kalau dilewatkan, yang rugi bangsa kita juga."
Kepala Badan Standar Nasional Pendidikan Djemari Mardapi menyatakan lembaganya tak bermasalah jika ujian nasional dihapuskan. "Nantinya kami akan membuat standar dan kurikulum saja," urainya yang dihubungi terpisah.
Badan Standar, kata Djemari, akan berkoordinasi dengan Departemen Pendidikan Nasional mengenai putusan Mahkamah ini.
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh dalam pesan singkatnya menyatakan masih berkonsultasi dahulu dalam menanggapi putusan Mahkamah.

DIANING SARI

BANJARMASINPOST.CO.ID
UJIAN NASIONAL, UNTUK SIAPA?
Kamis, 26 November 2009 | 01:00 WITA
Dibaca 430 kali


MAHKAMAH Agung (MA) melarang ujian nasional (UN) yang digelar Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Padahal, pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional sudah menerbitkan peraturan tentang pelaksanaan dan jadwal ujian nasional, yakni Maret 2010.

Jadwal UN itu tertuang dalam Permendiknas Nomor 75 Tahun 2009 tentang UN SMP/Madrasah Tsanawiyah, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, SMA/Madrasah Aliyah (MA), SMA Luar Biasa (LB), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Tahun Ajaran 2009/2010.

Permendiknas itu ditetapkan di Jakarta, 13 Oktober 2009, oleh Mendiknas Bambang Sudibyo. Pelaksanaan UN utama untuk siswa SMA, MA, SMA LB, dan SMK dilaksanakan minggu ketiga Maret 2010. Untuk siswa SMP, MTs, dan SMP LB, ujian diselenggarakan minggu keempat Maret 2010. UN susulan dilaksanakan seminggu setelah UN utama. Ujian praktik kejuruan siswa SMK dilaksanakan sebelum UN utama.

Keputusan MA merupakan jawaban final atas gugatan yang diajukan warga ( citizen lawsuit) melalui Tim Advokasi Korban UN dan Forum Pendidikan. Hal itu menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta 6 Desember 2007 yang juga menolak permohonan banding pemerintah atas putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat.

Sebelumnya, warga menggugat pemerintah dalam hal ini presiden, wakil presiden, menteri pendidikan nasional, dan ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, yang dianggap lalai dalam memberikan pemenuhan hak asasi manusia terhadap warga negara yang menjadi korban ujian nasional.

Pemerintah juga dinilai lalai meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah sebelum melaksanakan kebijakan ujian nasional. Dengan putusan MA tersebut, berarti pemerintah harus segera mengambil langkah konkret sesuai dengan pokok gugatan.

Ujian nasional adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antardaerah. Dalam pelaksanaannya, timbul berbagai persoalan yang antara lain bertumpu pada ketimpangan dan ketidakmerataan kemampuan serta infrastruktur di tiap daerah.

Sejak UU No 20 Tahun 2003 dilaksanakan dalam praktik UN, mutu hasil pendidikan nasional di Tanah Air tak begitu banyak berubah. Malah ada yang berpendapat, bahwa UN sama sekali tidak berpengaruh pada mutu pendidikan nasional.

Bahkan dalam beberapa kasus, UN justru ‘memproduksi’ sikap koruptif dan manipulatif, serta menghalalkan segala cara. UN bukan lagi arena uji intelektualitas peserta didik, melainkan jadi taruhan reputasi pendidik dan lembaga pendidikan.

Fakta di lapangan menunjukkan, UN telah jadi ajang persekongkolan antara guru, murid, kepala sekolah, kepala dinas, kepala daerah demi mengangkat citra sekolah/daerahnya. Segala cara dilakukan agar sekolah dan daerah masing-masing tidak masuk dalam daftar daerah dengan kualitas pendidikan rendah.

Sangat boleh jadi, itulah yang jadi satu di antara faktor penyebab munculnya kecurangan dan penyimpangan dalam tiap pelaksnaan UN bukan lagi sebagai alat atau sarana peningkatan mutu pendidikan, melainkan justru menjadi tujuan itu sendiri. Inilah yang membuat masyarakat gelisah.

Kini, kegelisahaan itu sudah terjawab. Ketetapan MA menolak kasasi yang diajukan pemerintah. Pemerintah harus meningkatkan kualitas guru secara menyeluruh, menyempurnakan kelengkapan sarana prasarana, serta akses informasi di seluruh daerah sebelum melaksanakan ujian nasional.

Persoalannya kemudian, seberapa cepat pemerintah bisa bergerak melaksanakan putusan MA tersebut jika tetap berkehendak melaksanakan UN sesuai jadwal yang sudah ditetapkan? Kita tentu sependapat, bahwa waktu yang tinggal tiga bulan tidak cukup untuk memenuhi keputusan tersebut.

Di sisi lain, masyarakat tak ingin lagi anak-anaknya menjadi kelinci percobaan atas kebijakan pendidikan akibat tiap ganti rezim ganti pula kebijakan. (*)

KADO PAHIT HARI GURU
Ahmad Dani
Rabu, 25 November 2009 - 13:46 wib

Tepat hari ini, guru di seluruh Tanah Air merayakan hari jadinya. Tapi, satu hari sebelum hari ini, para tenaga pengajar diberikan kado pahit oleh pengadilan. Para guru (dalam hal ini pemerintah) dilarang untuk menyelenggarakan ujian nasional. Harapan untuk mengubah mutu sistem pendidikan sedikit terkoyak.
Mahkamah Agung melalui putusan perkara dengan Nomor Register 2596 K/PDT/2008 menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 6 Desember 2007 yang juga menolak permohonan pemerintah.
Dalam putusannya, para tergugat, yakni Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), dinyatakan lalai memberikan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) terhadap warga negara, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak yang menjadi korban UN.
Paskah putusan MA itu? Putusan pengadilan dalam hal ini Mahkamah Agung memang akan sangat mengecewakan sejumlah pihak yang sudah merancang agar mutu pendidikan di Indonesia kian meningkat.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Depdiknas Mansyur Ramli mengatakan sebenarnya keberadaan UN masih diperlukan sebagai upaya pemetaan dan pendorong semangat belajar peserta didik.
Dia khawatir, karena perbedaan cara pandang dalam UN, Indonesia akan kehilangan kesempatan untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara utuh. "Kalau dilewatkan, yang rugi bangsa kita juga," tegasnya.
Tapi, bagaimana dengan para murid yang dinyatakan tidak lulus UN meski sebenarnya murid tersebut termasuk orang yang berprestasi di sekolah? Memang persoalan UN harus benar-benar diseriusi, dan tak hanya menjadi persoalan selintas saja.
Jika boleh disarankan, UN memang harus dilakukan perbaikan. Kebocoran soal, kecurangan saat pelaksanaan itu harus diberantas. Tapi UN dirasa perlu untuk peningkatan kualitas pendidikan. Kalau ada yang tidak lulus memang itu bagian dari konsekuensi kebijakan, jika Indonesia ingin maju dalam bidang pendidikan. Jangan hapus UN tapi ubah UN menjadi lebih baik lagi.
SUAR.OKEZONE.COM




Rabu, 25/11/2009 17:42 WIB
MA Larang UN
ARIEF RACHMAN: UN BISA DILAKSANAKAN KALAU ADA STANDARDISASI NASIONAL
Indra Subagja - detikNews



Jakarta - Praktisi pendidikan Arief Rachman menyambut baik keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi pemerintah terkait Ujian Nasional (UN). Selama ini UN dinilai belum memberikan rasa keadilan bagi para siswa di daerah.

"Ujian Nasional boleh dilaksanakan kalau ada standardisasi nasional. Karena tidak adil bagi sekian ratus ribu yang fasilitasnya tidak dipenuhi pemerintah," kata Arief melalui telepon, Rabu (25/11/2009).

Kasasi MA itu menyebutkan UN seharusnya diikuti dengan perbaikan kualitas guru dan sarana prasarana. Arief pun mengamini hal ini dengan memberikan contoh.

"Ujian Nasional yang lalu tidak memenuhi azas keadilan, baru memenuhi azas mutu. Ini kita samakan SMU 8 Bukit Duri di Jakarta Selatan yang sudah bagus mutunya, dengan SMU di Wamena dan di Timika," terangnya.

Menurutnya, Ujian Nasional tidak ada dalam UU Pendidikan. Yang diminta UU adanya evaluasi dalam pembelajaran anak, bisa lewat ujian sekolah, ujian provinsi dan lainnya.

"Jangan disebut Ujian Nasional, kalau anak belum mencapai standar dia menjadi korban karena tidak lulus. Adakan saja ujian sekolah, sesuai standar sekolah itu," imbuhnya.

Arief berharap pemerintah bisa melihat kondisi sebenarnya dari persoalan pendidikan ini. "Rumusnya kelulusan harus diperhatikan kekuatan daerah masing-masing," tutupnya. (ndr/iy)
DETIK.COM


Kamis, 26/11/2009 20:34 WIB
WAKIL KETUA MPR SETUJU PENGHAPUSAN UJIAN NASIONAL
Elvan Dany Sutrisno - detikNews

foto : dokumentasi detikcom Jakarta

Jakarta - Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin meminta pemerintah menerima putusan MA yang membatalkan ujian nasional. Ketimpangan fasilitas pendidikan menjadikan pendidikan di Indonesia tidak pantas lagi distandarisasi secara nasional.

"Saya amat mengapresiasi putusan MA yang menghapus ujian nasional. Pemerintah sebaiknya patuhi putusan MA dan tidak ajukan PK," kata Lukman kepada detikcom di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (26/11/2009).

Menurut Lukman saat ini di Indonesia perbedaan kualitas fasilitas pendidikan sudah sangat mencolok. Beberapa sekolah "kaya" dan memiliki fasilitas pendidikan yang lengkap, sementara sisanya fasilitas pendidikannya kurang memadai.

"Tak relevan melakukan standarisasi kualitas anak didik secara nasional di tengah ketimpangan fasilitas pendidikan antar daerah," papar Lukman.

"Benahi dulu fasilitasnya kalau mau distandarisasi," tandasnya.

Pada 14 September 2009, MA menolak kasasi pemerintah tentang penyelenggaraan UN. UN dinilai cacat hukum sehingga pemerintah dilarang menyelenggarakan UN. Perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) ini diajukan oleh Kristiono dkk. Kristiono adalah orang tua, dari Indah yang tak lulus karena nilai UN-nya tidak sesuai standar pemerintah.
(van/anw)
Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!


ANTARANEWS
BSNP: PUTUSAN MA TAK PENGARUHI UJIAN NASIONAL
Rabu, 25 November 2009 19:08 WIB | Peristiwa | Pendidikan/Agama | Dibaca 2802 kali


Semarang (ANTARA News) - Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Prof Mungin Eddy Wibowo mengatakan, putusan Mahkamah Agung (MA) yang melarang pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tak mempengaruhi penyelenggaraan UN pada 2010.

"Kami akan tetap menyelenggarakan UN pada 2010 sesuai dengan jadwal yang ditetapkan dan hal itu juga telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan," katanya saat dihubungi dari Semarang, Rabu.

Menurut dia, sesuai dengan amanat PP Nomor 19/2005 tersebut, BSNP berkewajiban untuk menyelenggarakan UN bekerja sama dengan berbagai pihak, antara lain pemerintah, pemerintah daerah, setiap satuan pendidikan, termasuk kalangan perguruan tinggi.

Penyelenggaraan UN 2010 menurut dia, juga didasari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 75/2009 tentang UN tingkat SMA dan SMP, serta Permendiknas Nomor 74/2009 tentang Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) untuk SD.

Ia mengatakan, sesuai PP Nomor 74/2009 tersebut, UN tingkat SMA, MA, dan SMK 2010 akan diselenggarakan pada minggu ketiga Maret 2010 mendatang, sedangkan UN untuk SMP akan diselenggarakan satu minggu setelah pelaksanaan UN tingkat SMA, MA, dan SMK.

"Kami memang mengakui dalam penyelenggaraan UN terdapat berbagai tindak kecurangan, namun kami tetap melakukan evaluasi dan perbaikan berkaitan dengan penyelenggaraan UN setiap tahunnya," kata guru besar Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu.

Berkaitan dengan putusan MA itu, Mungin mengatakan, pihaknya akan mempelajari putusan MA terkait penolakan kasasi perkara UN yang diajukan pemerintah, sebab pihaknya hingga saat ini belum mendapatkan salinan resmi putusan MA tersebut.

Mungin menilai, penyelenggaraan UN secara obyektif, transparan, dan akuntabel tetap diperlukan, sebab hasilnya dapat digunakan untuk memetakan mutu pendidikan secara nasional, menentukan kelulusan, dan digunakan dalam seleksi masuk ke perguruan tinggi.


"Namun, UN hanya salah satu indikator penentu kelulusan, sebab masih ada beberapa indikator lain yang menjadi penentu kelulusan selain UN, seperti ujian akhir sekolah (UAS)," kata Mungin.

Perkara itu bermula dari "citizen lawsuit" (gugatan warga negara) yang diajukan Kristiono dan kawan-kawan terhadap presiden, wakil presiden, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua BSNP yang dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan.

Pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gugatan tersebut diterima. Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan itu pada 6 Desember 2007. Pemerintah lalu mengajukan kasasi ke MA.

Akhirnya, MA melarang UN yang digelar Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sebab kasasi gugatan UN yang diajukan pemerintah ditolak MA. MA memutuskan menolak kasasi perkara itu dengan nomor register 2596 K/PDT/2008 yang diputus pada 14 September 2009.(*)
COPYRIGHT © 2009

PENOLAKAN KASASI PEMERINTAH BUKTIKAN UJIAN NASIONAL BERMASALAH
Selasa, 24 November 2009 | 10:24 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Indonesian Corruption Watch menilai penolakan kasasi pemerintah oleh Mahkamah Agung menunjukkan selama ini Ujian Nasional bermasalah.

"Ujian Nasional bermasalah dari segala sisi, baik hukum maupun aspek pedagoginya," ujar Koordinator Divisi Monitoring Publik Indonesian Corruption Watch Ade Irawan ketika dihubungi, Selasa (24/11).

Mahkamah Agung telah menolak kasasi pemerintah tentang pelaksanaan Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan siswa. "Kami masih menunggu surat keputusannya," kata Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia Iwan Hermawan di Bandung, Selasa (24/11).

Adanya keputusan ini, Ade menambahkan, harusnya menjadikan momentum pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan Ujian Nasional. "Sejak awal, Ujian Nasional ini dipaksakan," imbuhnya. Kini keputusan tersebut setelah diingatkan publik, diingatkan pula oleh hukum.

Ia menengarai kasasi ini ditolak Mahkamah karena pemerintah dinilai belum layak menyelenggarakan Ujian Nasional. "Pemerintah harus menyediakan layanan dan infrastruktur yang lengkap dahulu sebelum Ujian Nasional." jelas Ade.
Ketentuan tersebut sudah disyaratkan Mahkamah, sebelum Departemen Pendidikan Nasional mengajukan kasasi.

Faktanya, ia melanjutkan, departemen belum bisa memenuhi standar kelayakan pendidikan meski dana Bantuan Operasional Sekolah sudha dikucurkan. "Ini yang mungkin dilihat hakim Agung," pungkas Ade.
DIANING SARI

PIKIRAN RAKYAT ONLINE
UN DIISYARATKAN TETAP JALAN
Rabu, 25 November 2009 , 16:04:00

YOGYAKARTA, (PRLM).- Keputusan Mahkamah Agung (MA) soal ujian nasional (UN) SMP-SMA melanggar hak anak didik yang tidak lulus ujian, tidak bisa langsung ditindaklanjuti Departemen Pendidikan Nasional. Bahkan, departemen ini kemungkinan tetap menyelenggarakan UN dimaksud tahun ini.

"Tentu ada (UN) kan sudah ada permen (aturan pemerintah soal UN)," kata Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh di Yogyakarta, Rabu (24/11).

Menjawab pertanyaan wartawan usai bertemu rektor UGM, dia menyatakan keputusan MA wajar, tidak masalah. "Kami menghormati, karena putusan itu sesuai kewenangan MA. Kita tidak akan bertabrakan dengan MA," ujar dia.

Karena MA belum memberikan salinan putusan, Nuh menyatakan akan menunggu pemberitahuan untuk menyikapi secara resmi tentang putusan tersebut.

"Kita jangan sepotong-sepotong memahami putusan MA. Kami akan pelajari dulu sebelum bersikap resmi. Kalau benar MA tolak kasasi pemerintah, tak masalah, kita hormati putusan lembaga sesuai kewenangan. Tak boleh mentang-mentang pemerintah terus tabrakan sikapnya dengan putusan MA," kata dia.

Tetapi dia mengingatkan sebagai tergugat, pemerintah cq Departemen Pendidikan Nasional memiliki hak kasasi. Kita akan mengajukan peninjauan kembali, siapa pun hargai hak hukum yang dimiliki seseorang atu lembaga," kata dia.

Menurut dia, putusan ini harus disikapi hati-hati, jangan mempengaruhi semangat belajar anak-anak sekolah. "Ciptakan suasana kondusif, jangan sampai anak ragu, belajar atau tidak belajar. Semangat belajar harus tetap dijaga. Hakikat (keberhasilan belajar) ada pada kemampuan anak," ujar dia.

Putusan MA tersebut mengabulkan permohonan Kristiono,dkk sebagai penggugat warga negara (citizen lawsuit) dalam sidang terbuka 14 September oleh hakim Mansyur Kertayasa, Imam Harjadi, Abbas Said. Majelis memutuskan bahwa pemerintah lalai memberikan pemenuhan hak asasi mmanusia terutama warga negara yang menjadi korban Unas. (A-84/A-147)***

KALAH DI MK SOAL UN, PEMERINTAH SEGERA AJUKAN PK
Rabu, 25 November 2009 | 12:19 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Luki Aulia


PRIYOMBODO/KOMPAS IMAGES
Ilustrasi: Materi pelajaran untuk siswa kelas III yang akan mengikuti ujian harus selesai pada bulan Februari. Waktu yang tersisa sebelum ujian nasional dipakai untuk jam pelajaran tambahan.


JAKARTA, KOMPAS.com — Menyusul keputusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi ujian nasional yang diajukan oleh pemerintah, Pemerintah akan kembali melakukan upaya hukum yang terakhir yakni pengajuan peninjauan kembali.

"Terus terang saya belum membaca keputusan MA. Yang jelas kita menghormati apa pun keputusan lembaga hukum. Siapa pun juga harus menghormati upaya-upaya hukum yang masih dilakukan. Untuk selanjutnya, tentu pemerintah akan menggunakan hak yang dimiliki," kata Menteri Pendidikan Nasional RI Mohammad Nuh seusai upacara bendera Peringatan Hari Guru, Rabu (25/11) di halaman Departemen Pendidikan Nasional RI, Jakarta.

Nuh juga menegaskan bahwa hasil akhir dari proses hukum terhadap perkara UN itu bukan masalah kalah atau menang. Yang penting, pemerintah telah menunjukkan segala persoalan yang ada terkait UN. "Kita tidak ingin masuk di kalah-menang, tetapi keyakinan dan landasan yang kita miliki sudah disampaikan. Tidak ada ceritanya kalah menang, tetapi kita uji semuanya," kata Nuh.

Putusan kasasi itu menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (6 Desember 2007) yang juga menolak permohonan pemerintah.

Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, gugatan warga negara atau citizen lawsuit dilayangkan masyarakat yang dirugikan akibat UN. Mereka menggugat Presiden Republik Indonesia, Wakil Presiden Republik Indonesia, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) atas dilaksanakannya kebijakan UN yang menjadi salah satu syarat kelulusan siswa.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 21 Mei 2007 memutuskan bahwa para tergugat lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia terhadap warga negara yang menjadi korban UN.

Majelis hakim juga memerintahkan para tergugat meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap di seluruh Indonesia sebelum melaksanakan UN. Setelah putusan dijatuhkan, tergugat melakukan banding.


Editor: Glo
http://m.kompas.com di mana saja melalui ponsel, Blackberry, iPhone, atau Windows Mobile Phone Anda

Artikel Terkait:
• Menang Lagi, Gugatan Masyarakat soal UN


Ada 21 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda
Joko Budoyo @ Kamis, 26 November 2009 | 12:56 WIB
Saya kira pemerintah tidak usah ngotot, ambil jalan tengah saja. UN dijalankan, kelulusan diserahkan kepada masing-masing guru, misalnya seperti EBTANAS. UNAS yang telah berlangsung selama ini sangat kecil peranannya dalam meningkatkan mutu pendidikan, tidak sesuai anggaran yang dikeluarkan. Untuk sekolah papan atas UN sangat merugikan

Suwandi @ Kamis, 26 November 2009 | 12:20 WIB
Pendidikan tidak hanya mengejar nilai kognitif saja, yang terpenting pendidikan harus berlandaskan kharakter bangsa..selama ini UN mencederai kharakter yang dimiliki oleh peserta didik..hasilnya pendidikan hanya mengejar nilai kognitif saja melalaikan pendidikan kharakter yang seharusnya kita tanamkan pada peserta didik kita...

Faj @ Kamis, 26 November 2009 | 08:20 WIB
Pokok masalah adalah secara nyata UN satu-satunya penentu kelulusan siswa ! dalam belajar bahwa kenapa konsep ujian hanya di akhir tahun ( belajar satu bulan dalam 3 th, lulus ). bagian evaluasi dalam proses belajar tidak pernah disentuh ataupun di buatkan panduan nyata serta fasilitasnya oleh pemerintah ( jangan fasilitas untuk evalusi proses, gedung ambruk banyak di diamkan ! ). akan lebih baik jika kita memandang pendidikan pekerjaan yang terus menerus dan proses yang lama



Marsito @ Kamis, 26 November 2009 | 07:31 WIB
Kita heran dengan masyarakat pendidikan di negeri ini, apapun yang kita lakukan selalu salah, kenapa karena masing-masing berbicara tidak berdasarkan hati nurani. Kalau jujur sebenarnya UN perlu karena jika tidak, akan sulit menentukan standar dan guru tidak akan "sungguh-sungguh" dalam pembelajaran. Jadi yang terpenting berikan kesempatan seluas-luasnya terhadap seluruh masyarakat indonesia untuk mendapatkan pendidikan jangan taunya cuma SMA padahal kemampuannya jelas tidak mendukung.

jenk@ @ Kamis, 26 November 2009 | 06:05 WIB
Saya percaya Pak Nuh akan membuka mata, hati dan telinga mengenai masalah ini. Saya percaya Pak Nuh hati nuraninya masih jernih. Demi anak-anak kita Pak Nuh, jangan jadikan anak kita uji coba, biarlah mereka ceria dalam belajar, berteman, mencari pengalaman hidup. Jangan dikotori dengan teori-teori UNAS. Pak SBY memilih anda pasti dengan pertimbangan kejernihan nurani bapak. Terimakasih. Salam Hormat

KOMPAS.COM
UJIAN NASIONAL 2010 TETAP DISELENGGARAKAN
Rabu, 25 November 2009 | 14:58 WIB


TEMPO Interaktif, Semarang - Meski Mahkamah Agung pekan lalu menolak kasasi perkara ujian nasional yang diajukan pemerintah, Departemen Pendidikan Nasional tetap mempersiapkan pelaksanaan ujian nasional 2010.
"Ujian Nasional 2010 tetap kita laksanakan. Saat ini persiapan-persiapan masih terus berjalan," kata Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan Mungin Eddy Wibowo kepada Tempo di Semarang, Rabu (25/11).

Guru Besar Universitas Negeri Semarang ini menyatakan, pelaksanaan ujian nasional 2010 tetap berlanjut karena berbagai aturan dan persiapan sudah dilakukan sejak beberapa bulan lalu.
Saat ini, tahapannya sudah sampai pada tahap sosialiasi berbagai aturan mengenai ujian nasional 2010. Ujian nasional tingkat sekolah menengah atas dan sederajat akan digelar pada 22 hingga 26 Maret 2010.

Sebelumnya, kata dia, sudah terbit beberapa peraturan ujian nasional, yakni Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 75 Tahun 2009 untuk Ujian nasional tingkat SMA dan SMP dan Permendiknas Nomor 74/2009 untuk Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) untuk sekolah dasar.

Selain itu, Mungin menegaskan, pelaksanaan ujian nasional berdasarkan pada payung hukum berupa Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pekan lalu, Mahkamah Agung menolak kasasi perkara ujian nasional yang diajukan pemerintah. Kasus ini bermula dari gugatan warga negara atau citizen lawsuit yang diajukan Kristiono di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun lalu.
Kristiono menggugat Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan. Gugatannya, antara lain, pemerintah dinilai lalai meningkatkan sarana dan prasarana sekolah di seluruh daerah sebelum melaksanakan kebijakan ujian nasional.

Pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gugatan tersebut diterima. Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan itu pada 6 Desember 2007. Pemerintah lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
ROFIUDDIN

J-NEWS.COM
UN DITIADAKAN, GURU-GURU PROTES
FRIDAY, 27 NOVEMBER 2009


Ujian Nasional yang selama beberapa tahun ini menjadi masalah dalam dunia pendidikan di Indonesia sepertinya masih menemui jalan buntu. Bila dulu banyak suara dari kalangan masyarakat yang mengatakan UN dihapuskan, kali ini ketika Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan keputusan agar itu dihapus dan akan ditindaklanjuti oleh pemerintah, kalangan guru yang memprotes.
Secara garis besar, alasan para pengajar di sekolah-sekolah tersebut pun hampir sama yakni mereka tidak memiliki tolok ukur lagi tingkat kemampuan para anak didiknya. Oleh karena itu, sebaiknya UN tetaplah diselenggarakan, namun untuk menentukan kelulusan atau tidak siswa itu sebaiknya diserahkan kepada pihak masing-masing sekolah.
Walaupun begitu, pihak sekolah mengakui bahwa belum ada surat edar dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengenai penyelenggaraan UN yang akan dihapus.
Permasalahan pendidikan di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Masalah UN adalah satu diantara banyak hal yang harus dibenahi oleh pemerintah saat ini. Pertanyaannya sekarang, apakah kita harus tetap optimis dengan pendidikan di negeri ini bisa maju dan bermimpi sekolah-sekolah di Indonesia dapat bersaing dengan pendidikan luar negeri lainnya? Pertanyaan yang sepertinya mudah dijawab, tetapi sangat sulit bila melihat kenyataan yang ada.
Sumber : Kompas.com/bm

DPR AMINI PUTUSAN MA, UN WAJIB DIEVALUASI
Kamis, 26 November 2009 - 08:21 wib

Dede Suryana - Okezone

(Foto: Ist)

JAKARTA - Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi pemerintah dalam perkara Ujian Nasional (UN), dinilai sebagai bentuk penegasan legal bahwa ujian nasioanal yang selama ini digelar banyak masalah dan harus dievaluasi.

Hal itu disampaikan Anggota Komisi X DPR Muhamad Hanif Dhakiri kepada okezone, Rabu (25/11/2009) malam. Menurut Hanif, perlakuan sama yang diterapkan pemerintah kepada anak didik, memberikan ruang bagi kecurangan dalam pelaksanaan ujian, seperti kasus guru yang memberikan bocoran soal agar siswanya lulus.

"Selama ini penerapan UN digebyah uyah alias dipukul rata tanpa mempertimbangkan kondisi dari infrastruktur dasar pendidikan. Anak-anak yang bersekolah di teras masjid dengan yang di gedung diperlakukan sama," kata Hanif.

Pada dasarnya, lanjut politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini, UN sangat diperlukan sebagai tolok ukur bagi output proses pendidikan nasional. Namun, kata dia, di sini diperlukan prasyarat dasar sebelum hal itu dilaksanakan.

Pemenuhan standar proses pendidikan, seperti memadainya sarana prasarana, distribusi dan kualitas guru, serta kurikulum pendidikan, dinilai Hanif sebagai unsur yang wajib diperhatikan.

"Ini terkait pemenuhan hak-hak dasar warga negara untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau. Ini semestinya dipenuhi dulu sebelum UN diberlakukan," jelasnya.
Karena itu, menurut dia, UN bukan prioritas saat ini. "Jika dipaksakan, UN hanya akan menjadi beban bagi siswa dan lembaga penyelenggaran pendidikan, sekaligus anggaran yang diperlukan begitu besar, sementara hasilnya tidak menjamin kualifikasi lulusan," terang Hanif. (ded)

Nikmati Berita Terkini Di http://m.okezone.com
TAK BANYAK YANG TAHU PUTUSAN MA SOAL UN
Kamis, 26 November 2009 - 10:20 wib
Fahmi Firdaus - Okezone

(Foto: sekolahku.info)

JAKARTA - Putusan Mahkamah Agung (MA) mengenai Ujian Nasional (UN) menuai kontroversi. MA melarang pemerintah menggelar UN. Tapi siapa sangka, ternyata civitas akademik sendiri justru belum mengetahui hal ini.

Salah satu contoh yaitu guru dan para murid di SMK 19, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Saat ditanya, seorang guru Bahasa Indonesia, Djurnah mengaku belum tahu soal putusan MA itu.

"Saya belum tahu ujian nasional ditiadakan. Yang saya tahu ujian tetap pada Maret dan ujian susulan, April," ujar Djurnah kepada okezone, Kamis (26/11/2009).

Namun begitu, dia mengaku mengikuti saja apapun putusan yang nantinya ditetapkan.

Begitu pula para murid SMK 19. Kebanyakan dari mereka mengaku belum tahu putusan itu. "Belum tahu, mungkin belum disosialisasikan," tutur siswi SMK 19, Putri.

Menurutnya, putusan meniadakan UN sah-sah saja, namun dia berharap dengan ditiadakan UN tidak akan ditambahkan ujian yang lain.

Seperti diketahui, Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi gugatan Ujian Nasional (UN) yang diajukan pemerintah. Dengan putusan ini, UN dinilai cacat hukum dan pemerintah dilarang menyelenggarakannya.(lsi)(mbs)

DEPDIKNAS TETAP GELAR UJIAN NASIONAL 2010
DEPDIKNAS BELUM MENERIMA SALINAN KEPUTUSAN ITU.
Kamis, 26 November 2009, 18:54 WIB
Pipiet Tri Noorastuti, Sandy Adam Mahaputra
(M.Chandrataruna/ VIVAnews)

BERITA TERKAIT
• "UN Menghina Intelegensi Anak Didik"
• Kalla: UN Dorong Siswa Belajar Keras
• PMDK IPB Melayang Gara-gara Ujian Nasional
• Mengapa Ujian Nasional Digugat
• "Tanpa UN Siswa Bisa Malas Belajar"

VIVAnews - Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tidak akan menghapus penyelenggaraan ujian nasional. Depdiknas akan melakukan pembenahan terhadap ujian nasional.
"Kami akan tetap lakukan ujian nasional pada Maret 2010 sambil menunggu salinan keputusan Mahkamah Agung (MA)," kata Menteri Pendidikan Nasional, M Nuh, Kamis, 26 November 2009.
M Nuh berjanji akan menggelar pelaksaan ujian nasional dengan lebih baik. Ia akan memperbaiki sejumlah kelemahan yang selama ini dikeluhkan para anak didik. "Tapi perubahan ini bukan lantaran keputusan MA, tapi bagian dari upaya perbaikan yang selama ini dikeluhkan masyarakat," ujarnya.
M Nuh mengatakan belum dapat menafsirkan keputusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi pemerintah terkait ujian nasional. Sebab, hingga kini, Depdiknas belum menerima salinan keputusan itu.
"Yang pasti, pelaksanaan ujian nasional Maret mendatang itu tetap akan kita lakukan, tapi kita akan melakukan perubahan dari struktur dan infrastruktur pendidikan di setiap sekolah," ujarnya.
Kasus ujian nasional ini bermula dari gugatan masyarakat (citizen lawsuit) terhadap Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, serta Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), yang dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan.
Pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gugatan diterima. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada 6 Desember 2007 juga menguatkan putusan itu. Hingga akhirnya, MA menolak kasasi yang diajukan pemerintah. MA melarang ujian nasional yang diselenggaran Depdiknas melalui surat putusan dengan nomor register 2596 K/PDT/2008 tertanggal 14 September 2009.
• VIVAnews

PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL
DEPDIKNAS BELUM TERIMA PUTUSAN MA
SECARA GARIS BESAR, UN DITERAPKAN DI SEMUA NEGARA SEBAGAI BENTUK STANDARISASI KEMAMPUAN.
Kamis, 26 November 2009, 06:19 WIB
Antique, Agus Dwi Darmawan


(ANTARA/Ujang Zaelani)

BERITA TERKAIT
• MA: Pemerintah Lalai Gelar Ujian Nasional
• ITS Anggap UN Masih Curang
• Tak Lulus UAN, Siswa di Kupang Rusak Sekolah
• 2.053 Siswa di Provinsi Kepri Tak Lulus UN
• 8.622 Siswa di NTB Tak Lulus Ujian Nasional

VIVAnews - Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengaku sampai Rabu kemarin, 25 November 2009, belum menerima salinan putusan Mahkamah Agung terkait kemungkinan akan ditiadakannya Ujian Nasional (UN).

Menurut Kepala Humas Komunikasi dan Informasi Depdiknas M Muhadjir, proses persidangan tentang UN itu masih berjalan dan belum ada keputusan yang dicapai.

"Saya belum tahu. Bacanya (perihal Mahkamah Agung menolak permohonan pemerintah terkait perkara UN) malah dari media saja kemarin," ujar Muhadjir kepada VIVAnews, Rabu malam 25 November 2009.

Muhadjir menuturkan, keputusan apapun itu, Depdiknas akan menghormati proses hukum yang ada. Depdiknas akan berusaha menjalankan Putusan MA berdasarkan pertimbangan yang terbaik untuk bangsa ini.

Menurut dia, Depdiknas nantinya akan mengkaji terlebih dahulu putusan MA kalau seandainya nanti UN ditiadakan. "Kalau memang ditiadakan, visinya apa," kata Muhadjir.
Jangan sampai, Muhadjir menambahkan, ketika media-media sudah memberitakan 'peniadaan itu', namun kemudian masih tetap saja ada ujian-ujian serupa. "Sebab, pada dasarnya tidak ada negara di dunia ini yang tidak menerapkan UN," ujarnya.
Secara garis besar, kata dia, UN diterapkan di semua negara sebagai bentuk standarisasi kemampuan para siswa dan mahasiswa untuk mengikuti jenjang pendidikan yang lebih baik.

Muhadjir menghimbau, jangan sampai persepsi masyarakat justru terbalik. Pasalnya, tujuan UN sendiri dirancang agar kualitas pendidikan Indonesia lebih bermutu.
Standar angka 5,5 yang dikeluarkan itu bukan patokan kemampuan, namun bagaimana kualitas pendidikan keseluruhan seluruh Indonesia itu bisa seragam dan berkualitas.

"Karena guru itu dalam satu sekolah saja, kalau mengadakan ujian bisa memberi nilai berbeda-beda. Makanya, nilai 5,5 itu menjadi seragam seluruh nasional," katanya.

Dari situ, Muhadjir menambahkan, bagaimana kemudian guru, siswa, dan orangtua dituntut bisa berlomba untuk memperbaiki kualitas. Jangan sampai justru guru, siswa dan orangtua malah terlena karena terlalu dimanja dengan sistem pendidikan yang alakadarnya. "Karena guru itu bisa saja 'obral nilai', tapi begitu menjalani ujian di tempat lain, kemampuannya minimal," ujarnya.

antique.putra@vivanews.com
• VIVAnews

Kamis, 26/11/2009 19:42 WIB
MA LARANG UN

DEPDIKNAS AJUKAN PK, UN TETAP DIGELAR 2010
Didi Syafirdi - detikNews

Jakarta - Mahkamah Agung telah menolak kasasi pemerintah tentang penyelenggaraan Ujian Nasional. Meski begitu, Depdiknas masih tetap akan melaksanakan UN 2010.


"Kita akan tetap melaksanakan ujian nasional pada bulan Maret 2010 sambil menunggu salinan putusan MA," jelas Mendiknas M Nuh di kantornya, Depdiknas, Jakarta, Kamis (26/11/2009).

M Nuh berjanji akan melakukan perbaikan di sana sini terkait pelaksanaan UN tersebut. Namun ia menampik perbaikan tersebut terkait penolakan MA.

"Ini bagian dari upaya perbaikan yang selama ini dikeluhkan oleh masyarakat," jelasnya.

Hingga saat ini, M Nuh mengaku belum menerima salinan resmi dari MA. Begitu diterima, ia akan langsung mengajukan PK terkait putusan tersebut.

"Kita akan langsung ajukan PK. Bila nanti PK gagal, kita akan lakukan langkah selanjutnya," kata M Nuh tanpa merinci langkah apa yang akan diambil.

Pada 14 September 2009, MA menolak kasasi pemerintah tentang penyelenggaraan UN. UN dinilai cacat hukum sehingga pemerintah dilarang menyelenggarakan UN. Perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) ini diajukan oleh Kristiono dkk. Kristiono adalah orang tua, dari Indah yang tak lulus karena nilai UN-nya tidak sesuai standar pemerintah.
(mok/ndr)

Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!