THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Kamis, 03 Desember 2009

KTSP DAN UJIAN NASIONAL
Oleh : Nanang Rijono

SESUAI dengan PP 19 Tahun 2005, setiap satuan pendidikan (sekolah) diwajibkan menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yaitu sebuah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan (Pasal 1). Penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah berpedoman pada panduan yang disusun oleh BSNP (Pasal 16), baik untuk model kurikulum dengan sistem paket maupun sistem SKS, untuk sekolah kategori standar maupun mandiri. KTSP ini dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah/ karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik (Pasal 17). Sekolah dan komite sekolah mengembangkan KTSP dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, di bawah supervisi dinas pendidikan atau kandep Agama.


Dalam kurikulum 2004 sebenarnya sudah dikenal adanya KTSP, namun tidak semua sekolah diwajibkan menyusunnya. Hanya sekolah-sekolah yang memenuhi beberapa kriteria yang boleh menyusun KTSP, yaitu sekolah yang memiliki tenaga pengajar yang kompeten, memiliki biaya yang cukup, kepemimpinan yang baik dan berorientasi ke masa depan. Namun dalam kurikulum 2006 – yaitu kerangka dasar kurikulum yang ditetapkan dengan Peraturan Mendiknas No. 22 dan 23 tahun 2006 (Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan) – semua sekolah wajib menyusun KTSP tanpa perkecualian.


KOMPONEN KTSP
KTSP terdiri atas batang tubuh dan lampiran-lampiran, yang keduanya merupakan satu dokumen yang tidak terpisahkan. Batang tubuh KTSP merupakan naskah utama kurikulum sekolah, yang terdiri atas komponen-komponen berikut:
1. Latar belakang yang menggambarkan kondisi dan konteks sekolah yang bersangkutan, sebagai hasil analisis kritis terhadap diri dan lingkungannya.
2. Identitas sekolah dan Visi, Misi, Tujuan, Sasaran sekolah, yang menggambarkan kekhasan sekolah (apakah sekolah reguler, sekolah standar nasional, sekolah unggul, sekolah terpadu, sekolah koalisi, atau bertaraf internasional) dan model pembelajaran yang diterapkan di sekolah tersebut. Visi, misi, tujuan dan sasaran sekolah adalah sebagaimana yang telah disusun sekolah dalam rencana pengembangan strategis (RPS) atau rencana induk pengembangan sekolah.
3. Struktur dan Muatan Kurikulum, yang mencakup (a) struktur kurikulum sekolah yang digunakan sesuai dengan jenjang sekolah dan kekhasan sekolah atau program, (b) muatan kurikulum: muatan wajib, muatan lokal, program pengembangan diri, kecakapan hidup, atau keunggulan lokal dan global, (c) beban belajar, (d) ketuntasan belajar, (e) kenaikan dan kelulusan siswa.
4. Kalender Pendidikan, yaitu kalender akademik mencakup permulaan tahun ajaran, minggu efektif belajar, waktu pembelajaran efektif, dan hari libur sekolah (berbentuk jeda tengah semester selama-lamanya satu minggu dan jeda antar semester), sebagaimana yang diatur dengan peraturan menteri.

Sedangkan lampiran-lampiran KTSP meliputi silabus semua mata pelajaran seluruh jenjang kelas, termasuk muatan lokal (mulok) dan pengembangan diri; dan rencana pelaksanakan pembelajaran (RPP) semua mata pelajaran seluruh semester dan jenjang kelas.

Bisa dibayangkan betapa tebalnya dokumen KTSP yang disusun oleh sekolah. Batang tubuh KTSP barangkali hanya berkisar 30 – 40 halaman. Namun lampirannya, silabus dan RPP seluruh mata pelajaran bisa lebih dari 1.000 halaman.


HAKIKAT KTSP
Sebagaimana dikemukakan di atas, KTSP adalah dokumen milik sekolah, yang disusun dan disahkan penggunaannya oleh sekolah dan komite sekolah, serta diketahui oleh Dinas Pendidikan atau Kandep Agama kabupaten dan kota terkait. KTSP ini dapat direviu secara berkala oleh sekolah dan guru, agar keberadaannya selalu mutakhir (up to date).

Sebagai dokumen milik sekolah, apabila ada pergantian kepala sekolah, maka kepala sekolah pengganti tidak perlu mengganti atau menyusun KTSP yang baru – kecuali ada perubahan yang mendasar dari sekolah tersebut. Misalnya status sekolah berubah atau visi dan misi sekolah diganti. Demikian pula jika ada perpindahan guru. Guru pengganti atau guru baru tidak perlu menyusun lagi silabus dan RPP baru. Guru ini cukup menggunakan silabus dan RPP yang sudah ada di sekolah.

Hal ini berbeda dengan pada kurikulum-kurikulum sebelumnya, dimana silabus dan RPP atau perangkat pembelajaran (program tahunan, program semester, AMP, satuan pelajaran dan RP) adalah “milik” guru. Sehingga setiap guru harus membuat dan menyusunnya setiap tahun. Kalau mereka pindah tugas, maka dibawalah perangkat pembelajaran tersebut sebagai milik pribadinya. Guru baru penggantinya, harus menyusun lagi perangkat pembelajaran tersebut.

Akan menjadi ironi, manakala sekolah sudah memiliki KTSP, lantas para guru di sekolah itu setiap tahunnya masih disuruh menyusun lagi silabus dan RPP – bahkan harus ditulis tangan dalam buku folio. Sementara itu tugas-tugas guru sebagai pelaksana dan penilai pembelajaran masih sangat banyak. Mengapa mereka masih direpotkan dengan tugas-tugas “administratif” seperti itu lagi, padahal KTSP sudah disusun dengan susah payah oleh sekolah dan guru?

KONSEKUENSI KTSP
KTSP merupakan indikator bahwa pendidikan sudah didesentralisasikan bukan hanya ke daerah-daerah, melainkan juga ke sekolah-sekolah. Sekolah menjadi lebih otonom dalam melaksanakan tugas pokoknya untuk mencerdaskan putra-putri bangsa. Dengan demikian kurikulum di Indonesia atau di daerah menjadi sangat bervariasi dalam banyak hal, kecuali dalam standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang sudah ditetapkan secara nasional oleh Pusat.

Dengan adanya KTSP ini, maka seluruh kegiatan pembelajaran di sekolah dilaksanakan sesuai dengan isi KTSP. Penyusunan program pembelajaran di sekolah dan pembiayaannya didasarkan kepada hal-hal yang sudah disusun atau ditetapkan dalam KTSP. Dengan demikian ada acuan yang jelas bagi sekolah dalam menyusun RAPBS dan dalam meminta dana partisipasi orang tua di daerah yang belum menggratiskan pendidikan, atau menghitung besarnya subsidi pemerintah kepada sekolah sesuai dengan kebutuhan riil sekolah.

Sesuai dengan hakikat KTSP, maka kenaikan kelas dan kelulusan siswa seharusnya menjadi wewenang sekolah. Peraturan menteri seharusnya lebih bersifat sebagai peraturan dasar atau rambu-rambu saja. Sekolah perlu diberi otonomi yang lebih besar dalam menentukan kenaikan dan kelulusan siswa.

Terkait dengan ujian nasional (UN), maka UN harus diubah dalam beberapa hal. Ujian nasional masih tetap perlu dilaksanakan, karena sudah diatur dalam PP 19 Tahun 2005. Standar kelulusan yang terus meningkat setiap tahunnya juga masih diperlukan, karena akan dijadikan dasar untuk memetakan mutu pendidikan di Indonesia dan di daerah. Namun pembuatan soal UN tidak disusun oleh Pusat. Daerah (provinsi atau kabupaten/kota) perlu diberi kewenangan dalam menyusun soal UN berdasarkan kisi-kisi soal yang disusun dari Pusat (Puspendik Depdiknas). Hal ini mirip dengan zaman EBTANAS, dimana pusat memberikan kisi-kisi soal, daerah menyusun soal, direviu oleh pusat, kemudian digunakan oleh daerah. Kelulusan siswa juga ditentukan oleh daerah dan/atau sekolah.

Kalau penyusunan soal UN dan penentuan kelulusan siswa masih ditentukan oleh Pusat, lantas untuk apa daerah dan sekolah bersusah payah menyusun KTSP?

Di sini dituntut konsistensi pemerintah dalam menyusun dan/atau melaksanakan kebijakan pendidikan. Selama ini sudah terlalu sering ditemukan kebijakan pendidikan yang saling “bertabrakan”, sehingga membingungkan sekolah atau daerah dalam mengimplementasikannya. Semoga hal ini tidak diulangi lagi.

Samarinda, 16 September 2006




MULOK DAN PENGEMBANGAN DIRI
Oleh : Nanang Rijono



HAL yang sangat berbeda antara Kurikulum 2004 (KBK) dengan Kerangka Dasar Kurikulum 2006 - SI dan SKL (Kurikulum 2006) adalah mata pelajaran muatan lokal (mulok) dan kegiatan pengembangan diri yang diberlakukan mulai dari SD/MI sampai dengan SMA/MA/SMK. Mulok memang bukan hal yang baru bagi SD/MI dan SMP/M\Ts, karena sejak Kurikulum 1994 pada kedua jenjang sekolah ini sudah dilaksanakan, Mulok dalam kurikulum 1994 awalnya adalah mata pelajaran yang bercorak kedaerahan, baik kesenian, kerajinan atau keterampilan, bahasa daerah maupun olahraga tradisional. Pada perkembangan berikutnya, mulok ini bergeser ke arah yang berbeda, Mulok di SD/MI menjadi bahasa Inggris, komputer, dll.

Kurikulum 2004 tidak secara eksplisit menyebutkan mulok dalam struktur kurikulum SD/MI dan SMP/MTs. Namun sekolah tetap melaksanakan mulok tersebut seperti pada kurikulum 1994. Sedangkan dalam kurikulum 2006, disebutkan secara eksplisit dalam struktur kurikulum mata pelajaran mulok dengan alokasi 2 (dua) jam pelajaran per minggu di samping kegiatan pengembangan diri yang ekuivalen dengan 2 JP untuk semua jenjang sekolah.


ISI MULOK
Dalam Kerangka Dasar Kurikulum (Standar Isi) disebutkan bahwa muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi mulok ditentukan oleh satuan pendidikan. Untuk sekolah kejuruan, substansi mulok disesuaikan pula dengan program keahlian yang diselenggarakan oleh sekolah kejuruan tersebut.

Lalu, apa isi mata pelajaran mulok yang sesuai dengan ciri khas, potensi daerah, dan keunggulan daerah itu? Apakah mata pelajaran Komputer dan Bahasa Inggris dapat menjadi mulok? Bisa ya untuk SD/MI, tetapi tidak untuk SMP/MTs dan SMA/MA/SMK. Karena pada SMP/MTS dan SMA/MA/SMK sudah ada mata pelajaran tersebut, sedangkan di SD/MI belum ada mata pelajaran itu. Apakah bahasa asing lain, misalnya Bahasa Arab, Jepang, Cina, Perancis, atau Jerman dapat dijadikan mulok? Bisa ya, tetapi untuk SMP dan MTs (kecuali bahasa Arab). Sedangkan untuk SMA sudah ada “ruang” untuk menampungnya, yaitu mata pelajaran keterampilan/bahasa asing. Mata pelajaran keterampilan/bahasa asing merupakan mata pelajaran “pilihan” di SMA/MA, dimana sekolah boleh memilih apakah memberikan mata pelajaran keterampilan kepada siswa-siswanya ataukah bahasa asing lain di luar bahasa Inggris. Pilihan sekolah ini tergantung kepada kemampuan sekolah menyediakan guru dan sarana-prasarana pendukungnya.

Kemudian, apakah mata pelajaran yang pernah menjadi mulok dalam kurikulum 1994, seperti bahasa daerah, kesenian daerah, kerajinan/ keterampilan tradisional atau olahraga daerah masih layak dijadikan mulok pada semua jenjang sekolah? Bisa saja materi tersebut sangat relevan dengan ciri khas, potensi daerah, dan keunggulan daerah dalam bidang pariwisata atau potensi ekonomi daerah. Bagaimana dengan daerah yang berorientasi pada industri (seperti Bontang), perdagangan (seperti Balikpapan dan Samarinda), pertanian (seperti Kutai Timur), dan masih banyak lagi. Substansi muloknya akan berbeda. Bahkan untuk setiap wilayah di kabupaten atau kota akan (baca: seharusnya) memiliki mulok yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan daerahnya.

Selanjutnya, siapa yang berwenang menentukan substansi mulok? Apakah sekolah atau satuan pendidikan itu sendiri – seperti yang secara eksplisit disebutkan dalam kerangka dasar kurikulum 2006. Kalau ya, di satu sisi ini mencerminkan otonomi sekolah yang besar, sehingga sekolah secara “bebas” menentukan apa yang diinginkan oleh warga sekolah sesuai dengan potensi sekolah dan daerah dimana sekolah itu berada. Namun di sisi lain, kebebasan sekolah menentukan mulok ini akan menyebabkan sangat beragamnya materi mulok, apakah sesuai dengan visi, misi dan kebijakan pemerintah daerah. Bisa saja pilihan sekolah terhadap mulok akan melenceng dari kebijakan pemerintah daerah, karena sekolah ternyata memilih mulok yang terjangkau saja (dapat dilaksanakan oleh sekolah sesuai dengan keadaan riil sekolah) tanpa memikirkan relevansinya dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan daerah.

Saya menyarankan pemerintah daerah melalui instansi terkait (Dinas Pendidikan dan Depag) mengkoordinasikan sekolah-sekolah untuk menyusun substansi materi mulok yang dapat dipilih oleh masing-masing sekolah sesuai dengan jenjang sekolah. SK, KD, Materi Pokok Pembelajaran dan Indikator mulok ini disusun bersama-sama oleh sekolah dengan Dinas Pendidikan atau Depag. Sekolah diharapkan bisa menyediakan 2 - 3 macam mulok yang bisa dipilih siswa sesuai minat atau bakatnya. Dengan demikian keragaman atau diversifikasi kurikulum mulok ini masih dalam kendali pemerintah daerah. Sebagai konsekuensinya, pemerintah daerah bertanggung jawab untuk membiayai, menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan, merekrut guru dan membina kompetensi profesional guru mulok. Saya khawatir, jika sekolah diberi kebebasan secara penuh dalam memilih atau menentukan substansi mulok, maka seluruh hal yang terkait dengan pembiayaan, pengadaan sarana, prasarana, guru dan pembinaannya “terlepas” dari tanggung jawab dinas pendidikan, dan sepenuhnya menjadi tanggung-jawab sekolah masing-masing,


PROGRAM PENGEMBANGAN DIRI
Dalam Kerangka Dasar Kurikulum 2006 juga disebutkan bahwa pengembangan diri (PD) bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. PD bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan PD difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan PD dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir peserta didik. PD bagi peserta didik SMK/MAK terutama ditujukan untuk pengembangan kreativitas dan bimbingan karier.

Ada tiga poin penting yang perlu diperjelas dalam pelaksanaan kegiatan PD di sekolah, yaitu :
1. Apakah PD itu wajib diikuti semua siswa di sekolah itu, atau pilihan – sesuai bakat dan minat siswa, seperti halnya kegiatan ekstrakurikuler?
2. Apakah kegiatan PD itu include, otomatis termasuk dalam kegiatan ekstrakurikuler apa saja yang dipilih oleh siswa? Sehingga dengan menyediakan kegiatan ekstrakurikuler otomatis siswa sudah mengikuti kegiatan PD.
3. Apakah kegiatan PD identik dengan kegiatan pelayanan konseling khususnya berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir siswa?

Dalam materi pelatihan tentang Kurikulum 2006 ini, Puskur menjelaskan bahwa program dan kegiatan PD dapat dilaksanakan melalui kegiatan pelayanan konseling di sekolah. Ini sangat ideal, namun mustahil dapat dilaksanakan. Persoalannya sampai saat ini, belum semua sekolah memiliki tenaga konselor dalam jumlah yang memadai, dengan rasio 1 konselor untuk 150 siswa. Apakah sudah SD/MI memiliki tenaga konselor yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan PD ini? Apakah semua sekolah di daerah pinggiran, pedalaman dan perbatasan sudah memiliki tenaga konselor? Mudah-mudahan pemerintah segera mengangkat sebanyak-banyaknya konselor untuk melaksanakan program PD pada seluruh jenis dan jenjang sekolah, sehingga tujuan PD dapat tercapai. Kalau tidak, maka jangan “dipaksakan” bahwa PD dilakukan melalui pelayanan konseling.

Demikian juga dengan “pemanfaatan” kegiatan ekstrakurikuler sebagai wahana dari kegiatan PD. Pernyataan bahwa “Kegiatan PD difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler”, hendaknya disikapi bahwa kegiatan PD hanya dilaksanakan melalui kegiatan ekstrakurikuler. Memang ada program PD yang dapat terkait atau dikembangkan melalui kegiatan ekstrakurikuler. Namun kita semua tahu, bahwa kegiatan ekstra kurikuler itu bersifat pilihan; siswa memilih ekstrakurikuler sesuai dengan bakat atau minatnya. Dengan demikian setiap siswa tidak akan memperoleh pengalaman yang sama, tidak akan mengalami pengembangan diri yang sama yang diperlukan untuk kegiatan belajar di sekolah. Kedua, kegiatan ekstrakurikuler lebih banyak dilaksanakan di SMP/MTs dan SMA/MA/SMK daripada di SD/MI. Kalaupun ada SD/MI melaksanakan ekstrakurikuler, maka kegiatan ekstrakurikuler tersebut sangat terbatas dan diikuti oleh sedikit siswa yang berminat saja. Dengan demikian, siswa SD yang mendapatkan pengembangan diri sangat sedikit.

Pusat Kurikulum (Puskur) tidak salah dalam menyatakan, bahwa kegiatan PD dapat dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler dan/atau pelayanan konseling. Namun ada beberapa hal yang dilupakan, sehingga saya khawatir kegiatan PD akan terlaksana dengan tidak optimal alias tidak mencapai tujuan yang ditetapkan.

Menurut pendapat saya, kegiatan PD perlu dilakukan terpisah dengan kegiatan ekstrakurikuler dan pelayanan konseling. Seluruh siswa wajib mendapatkan dan mengalami pengembangan diri, sehingga siswa terbantu dalam belajar di sekolah. Potensi, bakat dan kemampuan anak dalam belajar dapat dioptimalkan melalui kegiatan PD ini. Dengan demikian kegiatan PD dilaksanakan secara terstruktur, terjadwal, ada pertemuan tatap muka – namun dengan bentuk atau format bukan sebagai mata pelajaran. Sehingga siswa tidak merasa bosan. Apalagi jika instrukturnya atau nara sumbernya beragam, tidak hanya guru di sekolah melainkan juga melibatkan polisi, dokter, camat, lurah, ustadz, tokoh masyarakat, anggota legislatif, pejabat di daerah, dosen, atau siapa saja.

Oleh karena itu, sekolah harus menyusun program PD untuk seluruh jenjang kelas dan materinya. Program PD bisa meliputi pengembangan minat baca, peningkatan keterampilan belajar, membaca, menulis, berfikir, memecahkan masalah, penelitian sederhana, berdiskusi, dll., atau pembinaan disiplin, imtak, etika, kecerdasan emosional dan sosial, atau kehidupan bermasyarakat. Sekolah dan guru harus menyusun silabus program PD ini, sehingga jelas urutan dan kedalaman materi yang akan diberikan kepada siswa sesuai dengan kemampuan dan kematangan siswa, serta kondisi sekolah. Jika materi PD tersebut di atas ada kaitannya dan dapat dikembangkan lebih lanjut melalui kegiatan ekstrakurikuler, siswa dapat dipersilahkan memilih kegiatan ekstrakurikuler yang sesuai. Seandainya tidak ada kegiatan ekstrakurikuler yang relevan, ya tidak apa-apa. Siswa tetap dipersilahkan memilih atau mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yang ada, apapun itu.

Yang jelas, kegiatan PD yang dilaksanakan oleh sekolah akan membekali siswa dengan berbagai keterampilan belajar sesuai dengan konsep belajar dari Unesco : Learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Yang jelas, kegiatan PD akan membantu memudahkan siswa dalam belajar, sehingga siswa dapat menjadi aktif dalam belajar, siswa tidak panik lagi jika menghadapi ulangan atau ujian, dan sebagainya. Oleh karena itu, menurut saya, kegiatan PD ini wajib diberikan kepada semua siswa sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, bakat dan kematangan siswa. Kegiatan PD bukan kegiatan pilihan seperti halnya ekstrakurikuler. Kegiatan PD tertentu memang dapat dilaksanakan sejalan dengan program pelayanan konseling di sekolah-sekolah yang mempunyai tenaga BK. Namun, ada atau tidak ada tenaga BK di sekolah, kegiatan PD harus tetap dilaksanakan.

Oleh karena itu, saya menyarankan Dinas Pendidikan dan Depag mengkoordinasikan sekolah-sekolah untuk menyusun program PD untuk setiap jenjang sekolah. SK, KD, Materi Pokok Pembelajaran dan Indikator Pengembangan Diri ini disusun bersama-samadalam MGMP, KKG, MKS dan pertemuan profesional lainnya. Selanjutnya masing-masing sekolah memilih sendiri paket-paket program PD yang sudah dibuat itu sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing. Bila perlu, handout atau buku pegangan untuk PD disusun bersama-sama. Dalam pengamatan saya, terdapat puluhan buku teks yang dapat digunakan sebagai rujukan atau buku sumber untuk menyusun handout atau buku pegangan guru/ainstruktur tersebut.

Sebagai konsekuensinya, pemerintah daerah bertanggung jawab untuk membiayai, menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan, merekrut guru dan membina kompetensi profesional guru atau instruktur yang ditugaskan menangani PD di sekolah.

PENUTUP
Apakah sekolah dan daerah menunggu dengan termangu datangnya panduan, silabus, atau buku dari pusat karena yang ada dalam Kerangka dasar Kurikulum 2006 dan informasi dari Puskur masih belum clear? Terserah. Yang jelas, perubahan dalam pendidikan (baca: kurikulum) ini harus disikapi dengan tenang, tanggap dan cepat; bukan dengan sikap panik dan menyalahkan alias mencari kambing hitam, apalagi menunggu petunjuk dari atas.

Kegagalan suatu upaya pembaharuan dalam pendidikan atau inovasi, seringkali karena sikap resistensi para pelaku atau ujung tombak pendidikan alias sekolah dan para gurunya. Mereka sering melakukan penolakan diam-diam atau perlawanan tersembunyi. Bentuknya adalah, tidak mau memahami kebijakan baru tersebut, menunggu-nunggu datangnya petunjuk, atau tidak mau melaksanakan kebijakan dengan berbagai alasan. Nah!

Samarinda, 17 September 2006