THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Kamis, 03 Desember 2009

RENUNGAN HARDIKNAS 2009

WAJIB BELAJAR SUDAH 12 TAHUN, SEKOLAH SUDAH GRATIS,
MENGAPA MASIH ADA YANG TIDAK (MAU) BERSEKOLAH?

Oleh : Nanang Rijono


PROVINSI KALTIM sudah mencanangkan program wajib belajar 12 tahun. Seluruh Bupati dan Walikota di Kaltim sudah menandatangani memori kesepakatan (MoU) tentang Wajar 12 Tahun dengan Gubernur dan disaksikan oleh Mendiknas pada bulan Maret 2009 yang lalu. Apakah otomatis Program Wajib Belajar 12 Tahun sudah berjalan? Belum! Masih seabreg pekerjaan yang harus ditangani oleh masing-masing Kabupaten dan Kota dengan melibatkan jajaran instansi terkait dan memberdayakan masyarakat agar ”proyek besar” ini implementatif.

Mengapa Wajib Belajar 12 Tahun di Kaltim saya sebut sebagai ”proyek besar”? Karena belum semua provinsi di Indonesia yang sudah mencanangkan pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun ini. Pemerintah Indonesia saja baru melaksanakan Wajib Belajar 9 Tahun – sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar.
Untuk merealisasikan Wajib Belajar 12 Tahun di Kaltim tersebut, perlu ada action plan, rencana tindakan operasional yang harus diambil dan dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota dan oleh jajaran Depag serta instansi lain yang terkait. Kalau tidak, ”proyek besar” yang merupakan ”gerakan daerah” ini hanya akan menjadi wacana, keinginan, ungkapan, atau isi pidato dari para petinggi daerah dan pejabat Dinas Pendidikan, namun tidak menggerakkan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya sampai SLTA.

SEKOLAH GRATIS
Dalam rangka mempercepat ”penuntasan” Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun – yang sempat tertunda-tunda akibat krisis ekonomi tahun 1998 dan reformasi – Pemerintah melalui Depdiknas telah melakukan ”kampanye sekolah gratis”. Walaupun negara kita masih dilanda krisis ekonomi global 2008. Iklan kampanye sekolah gratis – sampai dengan SMP – dengan slogan ”sekolah... harus bisa ...!” dapat kita saksikan setiap hari mulai bulan April. Ini adalah kampanye program wajib belajar 9 tahun, yang memotivasi semua orangtua agar menyekolahkan anaknya sampai SMP. Karena sekolah (SMP) sudah gratis. Jadi, logikanya, tidak alasan lagi untuk tidak menyekolahkan anak ke SMP. Keluarga miskin atau tidak mampu sudah bisa menyekolahkan anaknya ke SMP tanpa perlu khawatir dengan biaya pendidikan. Karena pemerintah sudah menjamin sekolah ke SMP sudah gratis.
Namun sayang sekali, dalam iklan kampanye Sekolah Gratis tersebut tidak dijelaskan sejauhmana ”penggratisan sekolah” tersebut. Masyarakat memerlu informasi yang jelas tentang sekolah gratis itu, apanya yang digratiskan? Apakah digratiskan dari kewajiban membayar uang pendaftaran dalam PSB? Apakah gratis dari uang pangkal atau uang partisipasi? Gratis dari iuran bulanan, uang Komite, SPP? Gratis dari pembelian buku, iuran bimbel, les privat, pelajaran tambahan, atau kegiatan kesiswaan lain? Atau juga gratis dari uang pakaian seragam, sepatu, tas, alat dan buku tulis, dan keperluan pribadi lainnya? Artinya, sekolah sudah gratis ... tis ... tis! Anak hanya perlu menyediakan seporsi niat yang kuat dan segelas semangat dan keringat untuk belajar di sekolah. Orangtua cukup membekali dengan sepotong doa dan motivasi agar anak bisa meraih prestasi tinggi. Pemerintah, ini yang diperlukan sekali, yang menyediakan dana sangat besar – anggaran pendidikan bisa lebih dari 20%. Ini pun tidak termasuk gaji guru dan tenaga pendidikan. Mungkinkah? Wallahu’alam bisawab. Hanya Allah SWT dan Pejabat Pemerintah yang bisa menjawab.
Lalu bagaimana dengan Wajib Belajar 12 Tahun di Kaltim? Apakah pendidikan setingkat SLTA juga bisa gratis? Tentu masyarakat berharap begitu, Kalau pemerintah sudah ”berani” menggratiskan sekolah sampai SMP dalam rangka menyukseskan Wajib Belajar 9 Tahun sebagai gerakan nasional, maka untuk Wajib Belajar 12 Tahun di Kaltim sebagai gerakan daerah seharusnya pemerintah daerah juga menggratiskan pendidikan sampai SLTA.
Sebagaimana diketahui, pendanaan untuk Wajib Belajar 9 Tahun adalah dilakukan secara sharing; Pemerintah Pusat menanggung 50%, Pemerintah Provinsi 30% dan Pemerintah Kabupaten/Kota 20%. Maka pendanaan untuk Wajib Belajar 12 Tahun di Kaltim tentu juga sharing antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Berapa porsi masing-masing, mohon maaf hingga saat ini saya belum tahu. Namun saya perkirakan sekitar 60% dari pemeruntah provinsi dan 40% dari pemerintah kabupaten/kota.
Mudah-mudahan program Wajib Belajar 12 Tahun dan Sekolah Gratis sampai SLTA di Kaltim sudah dapat dilaksanakan mulai tahun pembelajaran 2009/2010, bersamaan dengan pelaksanaan sekolah gratis SMP dari Pemerintah Pusat (baca : Depdiknas).

FUNGSI PENDIDIKAN
Mengapa Pemerintah Pusat berusaha sangat keras agar program Wajib Belajar 9 Tahun segera bisa tuntas? Hal ini tidak terlepas dari pandangan pemerintah terhadap fungsi-fungsi pendidikan. Dalam kerangka Ilmu Sosial, pendidikan memiliki beberapa fungsi : fungsi sosio-budaya, politik, ekonomi, dan transformasi. Pendidikan dalam konteks sosio-budaya memiliki fungsi untuk mengembangkan individu dan masyarakat tradisional menjadi individu dan masyarakat yang modern. Melalui pendidikan inilah, warga masyarakat bisa meresapi nilai-nilai modernitas yang diperlukan untuk pembangunan dan kehidupan di masa depan (lihat Ballantine, 1983, The Sociology of Education, A Systematic Analysis). Tokoh Sosiologi lain, Talcot Parson, mengatakan bahwa pendidikan merupakan institusi yang dapat difungsikan untuk melakukan perubahan sosial, eskalasi sosial, sentra inovasi, dan rekrutmen elit strata masyakat tertentu yang menempati struktur sosialnya sendiri-sendiri (dalam Mutrofin, 2009:34).
Pendidikan adalah alat untuk membentuk warga negara yang baik, rasional, demokratis dan bertanggung-jawab merupakan fungsi politik pendidikan. Institusi pendidikan mengemban fungsi pendidikan politik. Coleman (1965) mengatakan, ”As is the state, so is the school”, and “What you want in the state, you must put into the school”.Ini berarti pendidikan dan pembangunan politik, pendidikan politik dan sistem politik berada dalam satu pola hubungan timbal balik yang signifikan. Kalangan ilmuwan sosial umumnya sepakat mengatakan bahwa pendidikan dan sistem politik merupakan determinan atau faktor penentu yang saling mempengaruhi pembangunan politik.
Fungsi ekonomi. Di negara kapitalis, ekonom memandang pendidikan memiliki hubungan yang erat dengan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah mendorong dan mengembangkan pendidikan sedemikian rupa, sehingga menjadi agen penanaman motif, aspirasi, dan perilaku ekonomi sistem kapitalis. Jumlah sekolah, hakikat kurikulum, struktur dan sistem pendidikan di negara kapitalis diorientasikan kepada kebutuhan perekonomian yang didasarkan pada teknologi tinggi, fleksibilitas dan mobilitas sumber daya manusia. Fungsi ekonomi pendidikan seperti itu terkait dengan rumusan teori pembangunan dari para ekonom yang berlandaskan pada teori fungsionalisme struktural, yaitu teori Sumberdaya Manusia. Dalam konteks ini pendidikan dijadikan lokomotif pembangunan (engine of growth).
Fungsi tranformasi pendidikan banyak didukung oleh sosiolog dan psikolog, yang menunjukkan “kegagalan” fungsi pendidikan sebagai lokomotif pembangunan (Zamroni, 1995). Pendidikan tidak dapat berfungsi sebagai lokomotif pembangunan, karena ternyata yang paling berperan dalam pertumbuhan ekonomi adalah kekuatan pasar, ekonomi, dan dunia ketenagakerjaan. Karena itu pendidikan harus berfungsi transformatif, yang mampu menjadikan diri manusia tumbuh dan berdaya sesuai dengan kemampuan sendiri melalui proses pembelajaran. Pendidikan di sekolah bukan hanya mendorong manusia untuk terus menerus melakukan refleksi diri, tetapi juga mendorong kinerja otentik agar setelah lulus sekolah mereka dapat menjadi manusia yang mampu bertahan hidup, menjalani kehidupan lebih bermartabat, manusiawi, dan selaras dengan lingkungannya.

TIDAK MAU BERSEKOLAH
Namun dalam masyarakat, fungsi-fungsi ideal pendidikan tersebut bisa saja dianggap tidak berfungsi alias disfungsi. Masyarakat dengan interpretasi atau penafsirannya sendiri bisa saja mengatakan pendidikan tidak berfungsi, ketika mereka menemui fenomena-fenomena tertentu dalam praktik pendidikan atau hasil (outcome) pendidikan yang tidak sesuai dengan harapan individu atau warga masyarakat.
Fenomena banyaknya pengangguran terdidik dalam masyarakat, bisa menjadi “bukti” disfungsi ekonomi pendidikan. Capek-capek bersekolah atau kuliah, dan mengeluarkan biaya tidak sedikit, ehh setelah lulus ternyata masih sulit mencari pekerjaan dan malahan menjadi penganggur. Kalau sudah demikian, untuk apa bersekolah? Lebih baik tenaga, pikiran, biaya digunakan untuk modal usaha saja.
Jika pendidikan hanya diukur dengan selembar ijazah atau sertifikat, untuk apa repot-repot sekolah? Banyak cara untuk mendapatkan ijazah, entah melalui crash program, quick count, atau see low man (baca: siluman) yang dalam sekejap bisa memberikan ijazah. Tidak perlu lama-lama seperti untuk mendapatkan ijazah SD atau SMP -- yang perlu waktu 6 tahun atau 3 tahun. Pake UN lagi! UN juga sudah mulai tidak sakral lagi, hanya sekedar rutinitas namun menghabiskan biaya sangat besar. Karena UN dihadang oleh “Laskar Setip” atau “Tim BLL” (Bantuan Langsung Lulus). Inilah disfungsi transformasi dan sosio-budaya dari pendidikan. Kalau begitu, untuk apa sekolah?
Kalau disfungsi politik dari pendidikan ya politisasi pendidikan: menjadikan pendidikan sebagai alat politik, bukan menjadikan warga negara sadar politik. Pendidikan dijadikan sarana untuk “memberangus” hak-hak warga negara, mematikan kemerdekaan, dan untuk “menjinakkan” manusia. Biarpun sudah berpendidikan tinggi, namun masyarakat masih bisa dibunguli berkali-kali oleh politisi pintar. Lalu, untuk apa sekolah?
Fenomena tidak mau atau enggan bersekolah ini perlu diantisipasi oleh semua pihak, agar program wajib belajar yang sudah 12 tahun atau program sekolah yang sudah gratis ini tidak menghadapi batu sandungan: penolakan diam-diam atau resistensi masyarakat yang merasakan bahwa bersekolah hanya membuang-buang umur, tenaga dan pikiran, serta tidak membawa perubahan apa-apa dalam kehidupan dan penghidupan.
Apalagi dalam Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar tidak ada sanksi hukum (pidana) bagi orangtua yang tidak mau menyekolahkan anak, atau bagi anak yang tidak mau bersekolah. Orang tua yang tidak mau menyekolahkan anaknya, paling-paling akan dikenai sanksi hukum berdasarkan pasal 9 jo 26 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Nah!
Mengapa anak tidak mau bersekolah? Mungkin karena takut, trauma, atau mengalami hambatan psikologis karena sekolah juga mengalami disfungsi sosio-budaya. Disfungsi ini terjadi karena di sekolah tertentu terjadi praktik premanisme, kekerasan (bullying), pelecehan, atau tekanan-tekanan psikologis atau ekonomis yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Sehingga bahkan di sekolahpun anak tidak dapat memperoleh kenyamanan dalam belajar. Masih untung kalau anak-anak ini mau bersekolah di rumah (home schooling).
Bagaimana wajah dunia pendidikan kita setelah wajib belajar 12 tahun atau setelah pendidikan gratis? Mari kita bercermin bersama-sama. Baik atau buruk citra yang ada di cermin, itulah gambaran dunia pendidikan kita. Mari kita sikapi dengan bijaksana. Selamat Hardiknas 2009.

Samarinda, 1 Mei 2009