THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Kamis, 03 Desember 2009

ANALISIS KEBIJAKAN BADAN HUKUM PENDIDIKAN (Bagian 1)

BHP = BIKIN HEBAT, HEBOH ATAU HANCUR PENDIDIKAN?

Oleh : Nanang Rijono


PADA tanggal 16 Januari 2009 Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (selanjutnya disebut UU BHP) telah diundangkan Pemerintah dan diberi nomenklatur Undang-undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Rancangan UU BHP ini sempat dibahas bertahun-tahun, dan sempat menimbulkan heboh – reaksi keras terutama dari kalangan perguruan tinggi - ketika DPR menyetujui RUU BHP tersebut sebagai UU pada 17
Desember 2008 lalu. Kehebohan muncul di kalangan perguruan tinggi sehingga muncul penolakan mahasiswa dan intelektual karena perguruan tinggi merupakan pihak pertama yang akan (segera) merasakan dampak kebijakan BHP tersebut. Apakah sekolah tidak merasakan dampak UUBHP? Apakah karena guru, siswa dan penyelenggara sekolah tidak (tepatnya : belum) mengetahui bahwa UU BHP juga untuk mengatur pengelolaan pada pendidikan dasar dan menengah, bukan hanya pada pendidikan tinggi?
Sebelum membicarakan tentang BHP lebih lanjut, dipandang perlu kita mengetahui apa yang dimaksud dengan BHP itu sendiri dan macam-macam BHP yang ditetapkan dalan UU tersebut. Berikut ini kutipannya sebagaimana diatur dalam pasal 1:
1. Badan hukum pendidikan adalah badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal.
2. Badan Hukum Pendidikan Pemerintah yang selanjutnya disebut BHPP adalah badan hukum pendidikan yang didirikan oleh Pemerintah.
3. Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah yang selanjutnya disebut BHPPD adalah badan hukum pendidikan yang didirikan oleh pemerintah daerah.
4. Badan Hukum Pendidikan Masyarakat yang selanjutnya disebut BHPM adalah badan hukum pendidikan yang didirikan oleh masyarakat.
5. Badan hukum pendidikan penyelenggara, yang selanjutnya disebut BHP Penyelenggara adalah yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan pendidikan formal dan diakui sebagai badan hukum pendidikan.


RASIONAL UU BHP
Dalam konsideran UU BHP disebutkan bahwa ditetapkannya undang-undang ini antara lain adalah :
(a) bahwa untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diperlukan otonomi dalam pengelolaan pendidikan formal dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi perguruan tinggi pada pendidikan tinggi;
(b) bahwa otonomi dalam pengelolaan pendidikan formal dapat diwujudkan, jika penyelenggara atau satuan pendidikan formal berbentuk badan hukum pendidikan, yang berfungsi memberikan pelayanan yang adil dan bermutu kepada peserta didik, berprinsip nirlaba, dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan pendidikan nasional (cetak miring oleh penulis).

Rasional ini terkait dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan, yang telah ditetapkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, antara lain:
a. pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, dan
b. pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Dalam penjelasan UU BHP dikemukakan bahwa, “Pengaturan badan hukum pendidikan merupakan implementasi tanggung jawab negara dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindar dari kewajiban konstitusional negara di bidang pendidikan sehingga memberatkan masyarakat dan/atau peserta didik. Walaupun demikian, masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan, pengendalian mutu, dan penyiapkan dana pendidikan.”

Kalau kita membaca kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa BHP dilaksanakan pada pendidikan formal dengan memberikan otonomi kepada sekolah dan perguruan tinggi dalam penyelenggaraan pendidikan, sehingga pelayanan pendidikan menjadi lebih adil dan bermutu, bersifat nirlaba, dan memajukan pendidikan. Untuk itu, sekolah dan perguruan tinggi dapat mengelola secara mandiri dana pendidikan, serta melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan, pengendalian mutu, dan .... penyiapan dana pendidikan!

Dengan rasional seperti ini: otonomi pendidikan, pelayanan pendidikan yang adil dan bermutu, nirlaba, serta sekolah dan perguruan tinggi dapat mengelola dana secara mandiri mengapa timbul penolakan terhadap UU BHP ini? Apakah karena ada kekhawatiran masyarakat masih harus menyiapkan dana pendidikan yang lebih besar lagi – alias pendidikan menjadi semakin mahal dan memberatkan masyarakat? Padahal dalam penjelasan UU BHP disebutkan bahwa pemerintah tidak akan mengurangi atau menghindari kewajiban konstitusional negara di bidang pendidikan. Apakah karena masyarakat (yang menolak UU BHP) melihat pemerintah bolak-balik “ingkar janji” terhadap kewajiban konstitusionalnya – misalnya dalam pengalokasian dana pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD. Tahun 2009 ini pemerintah telah berjanji akan menyediakan anggaran pendidikan 20%. Tetapi benarkah anggaran pendidikan 20% tersebut sudah sesuai dengan UUD 1945 dan UU Sisdiknas? Jangan-jangan anggaran untuk gaji dan biaya pendidikan kedinasan masih dimasukkan ke dalamnya? Jangan-jangan anggaran instansi, badan, kantor lain yang karena ada kaitannya dengan pendidikan dimasukkan ke dalamnya.

PENDIDIKAN JADI HEBAT ATAU ....?
Setelah UU BHP disahkan, apakah pendidikan kita akan menjadi lebih hebat? Secara normatif dalam UU BHP Pasal 3 disebutkan, bahwa “Badan hukum pendidikan bertujuan memajukan pendidikan nasional dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi”.
Dengan diubahnya pengelolaan pendidikan menjadi BHP, menurut undang-undang ini, pendidikan kita akan menjadi maju, bermutu, hebat dan sehingga kelak bersaing dengan pendidikan di kawasan ASEAN, Asia, atau di dunia. Namun pengelolaan sekolah atau pendidikan harus berdasarkan prinsip nirlaba, pendidikan tidak boleh untuk digunakan untuk mencari laba – seperti perusahaan jasa atau perdagangan layaknya. Selain itu, pengelolaan pendidikan formal secara keseluruhan oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip berikut :
a. otonomi, yaitu kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non-akademik;
b. akuntabilitas, yaitu kemampuan dan komitmen untuk mempertanggung-jawabkan semua kegiatan yang dijalankan badan hukum pendidikan kepada pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. transparansi, yaitu keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan estándar pelaporan yang berlaku kepada pemangku kepentingan;
d. penjaminan mutu, yaitu kegiatan sistemik dalam memberikan layanan pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan, serta dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan secara berkelanjutan;
e. layanan prima, yaitu orientasi dan komitmen untuk memberikan layanan pendidikan formal yang terbaik demi kepuasan pemangku kepentingan, terutama peserta didik;
f. akses yang berkeadilan, yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calon peserta didik dan peserta didik, tanpa memandang latarbelakang agama, ras, etnis, gender, status sosial,dan kemampuan ekonominya;
g. keberagaman, yaitu kepekaan dan sikap akomodatif terhadap berbagai perbedaan pemangku kepentingan yang bersumber dari kekhasan agama, ras, etnis, dan budaya;
h. keberlanjutan, yaitu kemampuan untuk memberikan layanan pendidikan formal kepada peserta didik secara terus-menerus, dengan menerapkan pola manajemen yang mampu menjamin keberlanjutan layanan; dan
i. partisipasi atas tanggung jawab negara, yaitu keterlibatan pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan formal untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan tanggung jawab negara (UU BHP Pasal 4 ayat (2)).

Kalau memang pendidikan formal dikelola secara konsisten sesuai dengan prinsip nirlaba dan 9 prinsip lainnya itu, insya Allah pendidikan kita akan menjadi hebat, bukan hancur seperti yang disangsikan oleh banyak pihak penentangnya. Tetapi mengapa timbul kehebohan di berbagai kampus? (Bersambung).

ANALASIS KEBIJAKAN BADAN HUKUM PENDIDIKAN (Bagian 2)

BENANG RUWET PENDANAAN PENDIDIKAN

Oleh : Nanang Rijono


PERMASALAHAN terkait dengan pendanaan dalam UU BHP memang lebih mengemuka jika dibandingkan dengan masalah-masalah lain – misalnya perubahan filosofi pendidikan kita, yang dikeluhkan oleh sementara pakar akan menjadi bersifat kapitalistik sehingga tidak sesuai dengan filsafat bangsa Pancasila. Mengapa kehebohan terjadi?

TIGA SUDUT PANDANG
Terkait dengan pendanaan pendidikan ini, terutama tentang pasal 40 ayat (2) yang berbunyi : “Pendanaan pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, sedikitnya ada tiga sudut pandang yang berbeda dari tiga pihak yang terkait dengan BHP tersebut, yaitu Pemerintah (diwakili pejabat Depdiknas), Sekolah/Perguruan Tinggi (diwakili rektor) dan masyarakat (diwakili mahasiswa dan pakar pendidikan).
Ketiga pihak ini seakan berdiri di atas dataran yang sama, namun mereka tidak saling berhadapan. Mereka saling membelakangi dan meretorikakan apa yang dilihat, dan enggan mendengarkan retorika pihak lain. Masyarakat melihat ke bawah – bumi yang masih kotor, tidak teratur, gelap, miskin. Sehingga ketika UU BHP ditetapkan, maka penderitaan masyarakat umum akan semakin meluas. Pendidikan akan menjadi barang ekonomi yang mahal, langka, dan tidak terjangkau. Pemerintah melihat ke depan – ada pemandangan indah di kejauhan yang harus didatangi meski dengan susah payah, disertai dengan perbekalan yang sudah ditetapkan undang-undang. Sedangkan Sekolah/ Perguruan Tinggi menatap langit – yang penuh dengan mega-mega, yang kadang membentuk suatu siluet tertentu lalu berubah karena dihembus angin lalu.

Terlebih setelah mempelajari ayat demi ayat pada pasal 41 dan 42 – yang dihebohkan oleh mahasiswa dan pakar pendidikan, bahkan juga perguruan tinggi. Poin-poin penting pada pasal 42 ayat dapat dirangkum sebagai berikut:

JENIS DAN BESAR DANA PENDIDIKAN DAN PIHAK PENANGGUNG DANA

SATUAN PENDIDIKAN &
JENIS DANA PENDIDIKAN PENANGGUNG DANA BATASAN
1. Pendidikan Dasar
Seluruh biaya meliputi:
• biaya operasional,
• biaya investasi,
• beasiswa,
• bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik
Pemerintah Pusat

Pemerintah Daerah
Untuk BHPP

Untuk BHPD


2. Pendidikan Menengah
a. Seluruh biaya meliputi:
• biaya investasi,
• beasiswa,
• bantuan biaya pendidikan pada BHPP dan BHPPD
b. Biaya operasional

Pemerintah Pusat

Pemerintah Daerah


a. Pemerintah Pusat dan Daerah

b. Masyarakat/ orang tua/peserta didik
Untuk BHPP

Untuk BHPD


Minimal 1/3 biaya operasional

Maksimal 1/3 biaya operasional
3. Pendidikan tinggi
a. Seluruh biaya meliputi:
• biaya investasi,
• beasiswa,
• bantuan biaya pendidikan pada BHPP
b. Biaya operasional
Pemerintah Pusat bersama BHPP

a. Pemerintah Pusat bersama BHPP

b. Masyarakat/orang tua/peserta didik
Untuk BHPP

Minimal ½ biaya operasional

Maksimal 1/3 biaya operasional
Sumber : UU BHP Pasal 42 (ayat 1 s.d.10)


Menurut Pasal 42, Pemerintah Pusat dan Daerah berkewajiban menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan biaya bantuan pendidikan dengan alokasi tertentu untuk BHPP dan BHPD pada pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Bagaimana dengan biaya operasional? Untuk pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) biaya operasional ditanggung seluruhnya (100%) oleh Pemerintah Pusat dan Daerah. Untuk pendidikan menengah (SMA/MA dan SMK/MAK) biaya operasional yang ditanggung oleh Pemerintah Pusat dan Daerah minimal 1/3 atau 33,3%. Masyarakat, orang tua dan peserta didik masih diperbolehkan menanggung biaya operasional maksimal 1/3 bagian. Sedangkan untuk biaya operasional pada pendidikan tinggi, masyarakat, orang tua dan peserta didik masih diperbolehkan menanggung biaya operasional maksimal 1/3 bagian, Pemerintah Pusat bersama BHPP berkewajiban menanggung biaya operasional pendidikan tinggi minimal ½ (50%).

RUWET
Wajar jika mahasiswa dan kalangan perguruan tinggi memberikan respon negatif terhadap UU BHP, karena kontribusi biaya operasional dari mahasiswa atau orang tua masih dirasakan berat – meskipun maksimal hanya 1/3 bagian saja. Ini antara lain karena belum jelas besar biaya operasional yang standar untuk perguruan tinggi, mengingat beragamnya fakultas dan program studi di PT. Apalagi di beberapa PTN masih ada “pungutan” uang partisipasi atau apapun bentuknya untuk kepentingan pengembangan perguruan tinggi. Uang partisipasi – yang dipungut kepada mahasiswa baik reguler atau nonreguler – ini digunakan untuk investasi atau untuk operasional?

Kalau untuk biaya investasi dll., biaya ini sudah ditanggung sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat bersama BHPP (perguruan tinggi negeri). Kalau untuk biaya operasional PT, mengapa dinamakan dana pengembangan PT? Bukankah di PT masih ada pungutan SPP ? Mengapa besar dana partisipasi ini ada yang beberapa kali lipat besar SPP? Untuk apakah uang SPP tersebut? Untuk apakah uang partisipasi tersebut? Masyarakat sering tidak bisa membedakan, karena yang mereka tahu adalah harus membayar sejumlah uang -- entah untuk SPP, Uang Partisipasi, Dana Pengembangan, atau apapun. Jadi, dalam kacamata penolak UU BHP, kalau tidak ada duit, jangan kuliah! Karena kuliah itu mahal, dan hanya orang berduit – walaupun pas-pasan kemampuannya – yang bisa kuliah. Orang cerdas tapi dari kalangan, mikir-mikir dulu kalau mau kuliah – meskipun pemerintah menjanjikan akan memberi beasiswa atau bantuan lainnya. Namun baru mendaftar sebagai calon mahasiswa saja, mereka sudah harus mengeluarkan uang. Setelah diterima, harus mengikuti kuliah dua semester baru bisa diajukan untuk mendapat beasiswa. Ini prosedur standar yang perlu diikuti untuk mendapat beasiswa. Selama satu tahun kuliah, hitung sendiri berapa biayanya. Apa orang miskin sanggup membayar?

Diakui memang ada beasiswa dari pemerintah untuk siswa SMA yang sangat berprestasi untuk mengikuti kuliah S1, S2 atau S3. Tetapi berapa banyak? Berapa banyak anak miskin yang direkrut untuk kuliah gratisan seperti itu?



PENDANAAN
Pasal 40
(1) Sumber dana untuk pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan ditetapkan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan.
(2) Pendanaan pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Badan hukum pendidikan menyediakan anggaran untuk membantu peserta didik Warga Negara Indonesia yang tidak mampu membiayai pendidikannya, dalam bentuk:
a. beasiswa;
b. bantuan biaya pendidikan;
c. kredit mahasiswa; dan/atau
d. pemberian pekerjaan kepada mahasiswa.
(4) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam penyediaan dana pendidikan sebagaimana diatur
dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(5) Dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang disalurkan dalam bentuk hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk badan hukum pendidikan diterima dan dikelola oleh pemimpin organ pengelola pendidikan.

Pasal 41
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dapat memberikan bantuan sumberdaya pendidikan kepada badan hukum pendidikan.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan
pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan.
(4) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung paling sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan.
(5) Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP yang
menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan.
(6) Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling sedikit 1/2 (seperdua) biaya operasional, pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional
Pendidikan.
(7) Peserta didik yang ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orang tua, atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya.
(8) Biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah berstandar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan pada BHPP atau BHPPD paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya
operasional.
(9) Biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan tinggi berstandar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan pada BHPP paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional.
(10) Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya pada badan hukum pendidikan diberikan dalam bentuk hibah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.


(7) Peserta didik yang ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orang tua, atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya.
(8) Biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah berstandar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan pada BHPP atau BHPPD paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya
operasional.
(9) Biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan tinggi berstandar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan pada BHPP paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional.



Ketentuan peralihan
Pasal 65
(1) Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sebelum Undang-Undang ini berlaku diakui keberadaannya dan tetap dapat menyelenggarakan pendidikan formal.
(2) Satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)harus mengubah bentuk dan menyesuaikan tata kelolanya sebagai BHPP dan BHPPD menurut Undang-Undang ini, paling lambat 4 (empat) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(3) Satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap memperoleh alokasi dana pendidikan dengan mekanisme pendanaan yang tetap paling lama 4 (empat) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan, dan selanjutnya memperoleh alokasi dana pendidikan sesuai dengan Pasal 40 ayat (5).
(4) Perubahan bentuk dan penyesuaian tata kelola satuan pendidikan sebagai BHPP atau BHPPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah.

Pasal 66
(1) Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara yang telah menyelenggarakan pendidikan formal sebelum Undang-Undang ini berlaku, diakui keberadaannya sebagai badan hukum pendidikan dan tetap dapat menyelenggarakan pendidikan formal.
(2) Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara harus mengubah bentuk dan menyesuaikan tata kelolanya sebagai BHPP menurut Undang-Undang ini, paling
lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(3) Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara sebagaimana dimaksud ayat (1) tetap memperoleh alokasi dana dengan mekanisme yang tetap paling lama
4 (empat) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan dan selanjutnya memperoleh alokasi dana pendidikan sesuai dengan Pasal 40 ayat (5).
(4) Perubahan bentuk dan penyesuaian tatakelola sebagai BHPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimuat dalam Peraturan Pemerintah yang menetapkan anggaran dasar.


ANALISIS KEBIJAKAN BADAN HUKUM PENDIDIKAN (Bagian 3)

BAGAIMANA NASIB SATUAN PENDIDIKAN SWASTA
DAN TAMAN KANAK-KANAK?