THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Kamis, 03 Desember 2009

Mengatasi Pro-Kontra UN:
Perlu ada Pembobotan dalam Kelulusan Siswa

Oleh : Nanang Rijono


KONTROVERSI kebijakan Mendiknas tentang UN pada tahun-tahun lalu dan tahun ini nampaknya masih akan terus berlanjut. Hal yang masih diperdebatkan, yang menimbulkan pro dan kontra, ternyata masih di seputar “Apakah UN menjadi satu-satunya penentu kelulusan siswa?”. Bagi yang pro dengan UN, terutama di jajaran Depdiknas atau Dinas Pendidikan, tentu jawaban tidak. UN bukan satu-satunya persyaratan kelulusan siswa.
Ada beberapa persyaratan kelulusan siswa. Sedangkan bagi yang kontra, tetap menganggap UN dijadikan satu-satunya penentu (determinan), prasyarat utama kelulusan siswa. Sehingga hak guru diabaikan, HAM (hak asasi murid) dilupakan, karena UN bisa memveto kelulusan siswa.

Untuk memperjelas – dan mungkin memperpanjang – pro dan kontra tentang UN, ada baiknya kita mempelajari beberapa peraturan perundangan terkait dengan UN tersebut. Dalam PP No. 19 Tahun 2005 pasal 72 ayat (1) disebutkan (1) Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah :
a. menyelesaikan seluruh program pembelajaran;
b. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan;
c. lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. lulus Ujian Nasional.

Untuk SMK, masih ditambah persyaratan nilai mata ujian kompetensi keahlian rata-rata 7,00.

Jadi, begitu banyak persyaratan untuk bisa lulus SMP/MTs dan SMA/MA/SMK menurut pasal 72 tersebut, kata yang pro UN. Lalu apanya yang salah? Peraturan sudah begitu jelas: sekurang-kurangnya ada 4 persyaratan lulus sekolah!

Syarat 1 : siswa harus menyelesaikan seluruh program pembelajaran. Artinya siswa sekolah beneran, tidak fiktif, dan mengikuti kegiatan belajar dalam kurun waktu yang ditentukan. Kalau bersekolah di SMP atau SMA ya 3 tahun gitu lhoh. Tidak mungkin seseorang yang hanya 7 bulan atau 1 tahun bersekolah, lalu dapat ijazah SMP atau SMA – seperti yang terjadi pada PTS, Perguruan Tinggi Siluman, yang mengiming-iming guru (berijasah D1, D2, D3) untuk mengikuti kuliah kualifikasi ke S1 dengan sistem kilat khusus, yang banyak ditawarkan di Kaltim oleh PTS dari dalam dan luar Kaltim.

Syarat 2: memperoleh nilai hasil belajar minimal baik pada seluruh matapelajaran non-UN (pendidikan agama, PKN, Seni Budaya, dan Penjas-Orkes). Nilai minimal baik itu berapa sih? Enam, tujuh, atau delapan? Kalau dalam buku rapor siswa, nilai 6 itu cukup; nilai 7 lebih dari cukup; dan nilai 8 baik; 9 sangat baik, serta 10 istimewa. Sementara nilai 5 adalah kurang, 4 sangat kurang, 3, 2, 1 adalah ...? (Apakah ada guru yang pernah memberikan nilai 3, 2, 1 dalam rapor siswanya selama ini? ). Di sini guru atau pendidik memiliki peran yang besar dalam menentukan (sebagian) kelulusan siswanya.

Syarat 3 : lulus ujian sekolah (dengan nilai 6, barangkali) untuk matapelajaran kelompok IPTEK : Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, IPA, IPS, TIK, dan lain-lain. Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris ada ujian praktiknya, sehingga dilakukan ujian sekolah di samping UN. Matematika hanya UN. IPA (Fisika, Kimia, Biologi). IPS (Ekonomi, Sejarah, Geografi, Sosiologi, Antropologi), TIK, bahasa asing lainnya diujikan dalam ujian sekolah – kecuali Ekonomi yang di-UN-kan di SMA jurusan IPS, dan Bahasa Asing untuk SMA Jurusan Bahasa. Ujian sekolah ini akan dilaksanakan setelah ujian nasional berakhir. Di sini sekolah atau satuan pendidikan memiliki peranan yang besar dalam menentukan kelulusan siswa-siswanya.

Syarat khusus SMK, siswa harus lulus uji kompetensi keahlian sesuai dengan jurusan atau program keahliannya, dengan nilai minimal 7,00. Dalam UN tahun 2007 ini, akan dijadikan pertimbangan kelulusan siswa SMK. Ini berbeda dengan syarat kelulusan pada UN tahun 2005/2006.

Syarat terakhir, lulus UN. Nah! Ini yang masih mengundang kontroversi itu. Bukan standar kelulusannya, nilai rata-rata tiga mata pelajaran UN 5,00 dan minimal nilai 4,25 (kriteria 1) atau ada satu mata pelajaran UN dengan nilai minimal 4,00 dan nilai dua mata pelajaran UN lain minimal 6,00 (kriteria 2). Persyaratan “Lulus UN” itulah yang mengundang masalah.

Bagaimana sekolah (satuan pendidikan) bisa menetapkan kelulusan siswanya, jika syarat 1, 2, dan 3 sudah terpenuhi, artinya siswa sudah mengikuti seluruh program, memiliki nilai baik pada kelompok mata pelajaran non-IPTEK, atau minimal nilai 6,00 pada mata pelajaran ujian sekolah, namun siswa yang bersangkutan tidak lulus UN. Apakah siswa ini bisa diluluskan oleh sekolah? Dalam PP 19/2005 pasal 72 ayat (2) disebutkan bahwa, “Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ditetapkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri”. Pertanyaan adalah, dalam kriteria BSNP atau Mendiknas itu apakah UN dijadikan sebagai kriteria utama kelulusan siswa atau tidak? Apakah UN hanya salah satu pertimbangan dari kelulusan siswa, sehingga sekolah bisa meluluskan siswanya walaupun dia tidak lulus UN? Atau, apakah sekolah bisa tidak meluluskan siswanya, walaupun lulus UN?

***
PERLU KEJELASAN & KONSISTENSI
Dalam draft Standar Penilaian Pendidikan yang disusun BSNP (dalam Kompas, 18, 19, 20 Desember 2006), disebutkan bahwa :
• Hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk .... penentuan kelulusan peserta didik (Butir 8).
• Hasil UN disampaikan kepada satuan pendidikan untuk dijadikan salah satu bahan pertimbangan penentuan kelulusan ... (Butir 10).
• Di bagian lain ternyata dituliskan bahwa UN tetap menjadi prasyarat utama kelulusan siswa.

Bukan dimaksudkan untuk memperbesar masalah, namun ketidak-jelasan pengaturan kelulusan siswa baik yang ada dalam PP 19/2005 dan Permendiknas No. 45/2006 bisa terus menimbulkan masalah dan akan tetap dipermasalahkan.

Dalam Peraturan Mendiknas No. 45 Tahun 2006 tentang Ujian Negara 2006/ 2007, pasal 3 disebutkan bahwa “Ujian Nasional bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi”. Patut digaris-bawahi disini, bahwa UN hanya untuk kelompok mata pelajaran IPTEK, antara lain: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPS, IPA, TIK, dll. Kelompok mata pelajaran non-IPTEK adalah Pendidikan Agama, PKN, Seni Budaya, dan Penjas-Orkes.

Pada Pasal 4, disebutkan bahwa “Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk:
a. pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan;
b. seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
c. penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan pendidikan;
d. akreditasi satuan pendidikan;
e. pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan”.

Perhatikan butir (c) di atas, UN sebagai salah satu pertimbangan untuk penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan pendidikan. Apa arti kata “salah satu” ? Salah satu, berarti bukan penentu, karena masih ada aspek-aspek lain yang menjadi pertimbangan kelulusan. Artinya, kelulusan siswa dilakukan dengan mempertimbangkan semua aspek secara sinergis. Posisi setiap aspek penentu kelulusan adalah setara, tidak ada yang satu lebih mendominasi yang lain; tidak ada aspek yang satu “memveto” aspek yang lain; tidak ada aspek yang menjadi penentu atau prasyarat utama daripada aspek-aspek yang lain.

Secara keseluruhan, hal-hal yang dipertimbangkan dalam kelulusan siswa adalah sebagai berikut :

Tabel : Aspek-aspek yang dipertimbangkan dalam Kelulusan Siswa

No Aspek yang dipertimbangkan Standar Kelulusan
Kewenangan Meluluskan
1 Mengikuti seluruh program pada satuan pendidikan, sesuai dengan kurikulum sekolah/satuan pendidikan. Secara umum 3 tahun untuk SMP/ MTs dan SMA/MA / SMK.
Kewenangan sekolah
2 Mendapat hasil penilaian akhir pada kelompok mapel:
• agama dan akhlak mulia (Pendidikan Agama)
• kewarganegaraan dan kepribadian, (PKN)
• estetika (Seni Budaya)
• jasmani, olah raga, dan kesehatan (Penjas-Orkes)
Mendapat nilai baik.
Belum jelas, apakah nilai kuantitatif (angka) atau nilai kualitatif (mutu)


Kewenangan guru atau pendidik
3 Mengikuti dan lulus ujian sekolah untuk kelompok IPTEK.
Diatur dalam POS UN 2006. Mendapat nilai minimal 6 untuk semua mapel US. Kewenangan satuan pendidikan atau sekolah
4 Khusus SMK : Mengikuti uji kompetensi keahlian sesuai jurusan atau program studi Mendapat nilai minimal 7 Kewenangan sekolah atau lembaga penguji kompetensi terlkait
5 Mengikuti dan lulus Ujian Nasional dari mapel ditetapkan dalam Permendikas No. 45/2006 (kelompok IPTEK) Kriteria 1:
Nilai rata-rata 3 mapel UN 5,00 dengan minimal 4,25.
Kriteria 2 :
Satu mapel UN dengan nilai minimal 4,00 dan dua mapel UN lain minimal 6,00. Kewenangan Pemerintah (Depdiknas)

***



PENGANDAIAN
Marilah kita berandai-andai sejenak.
Pertama, Si Adul anak yang sangat nakal, bahkan bisa dikatakan kurang ajar, namun juga sangat pintar. Nilai seluruh mata pelajaran berkisar 8 – 10. Dalam UN rata-rata nilainya 8 atau 9. Pertanyaannya : beranikah guru, atau maukah sekolah – dengan segala hak dan kewenangannya – untuk tidak meluluskan si Adul dengan alasan nilai afektifnya dan perilakunya sangat buruk?

Depdiknas dan BSNP sering menjadikan contoh pengandaian pertama ini sebagai “justifikasi” bahwa UN bukan satu-satunya penentu kelulusan siswa. Sekolah dan/atau guru bisa menentukan kelulusan siswanya sesuai porsi masing-masing. Terserah sekolah, berani, mau atau apa untuk tidak meluluskan siswanya, meskipun siswanya lulus UN. Dipertegas, meskipun siswanya lulus UN, seperti kasus si Adul di atas, sekolah bisa saja tidak meluluskan si Adul.

Kedua, Si Amat anak yang biasa-biasa saja, perilaku dan prestasinya cukup baik, rata-rata 7 saja. Dalam UN, Si Amat ini memperoleh nilai Matematika 3,90 sedangkan Bahasa Indonesia 7,00 dan Bahasa Inggris 8,00. Jelas, si Amat tidak lulus UN (baik menggunakan kriteria 2, apalagi kriteria 1). Menyikapi kasus ini, apakah bisa sekolah meluluskan si Amat ini, dengan alasan 2 – 3 pertimbangan kelulusan yang ada sudah oke, lulus, tidak ada masalah. Hanya pada aspek keempat, si Amat tidak lulus UN!

Bagaimana sikap Depdiknas menghadapi kasus ini? Menyerahkan kepada sekolah, agar si Amat diluluskan – walaupun si Amat tidak lulus UN? Atau, menyatakan bahwa si Amat dengan amat menyesal dinyatakan tidak lulus satuan pendidikan, karena penyebabnya sangat-sangat jelas: si Amat tidak lulus UN!

Guru dan satuan pendidikan diberi kewenangan menentukan kelulusan untuk mata pelajaran non-IPTEK, dan mata ujian sekolah IPTEK atau Kompetensi Keahlian. Depdiknas memiliki kewenangan dalam menentukan kelulusan untuk UN mata pelajaran IPTEK. Namun dalam prakteknya, ternyata UN dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa. Sehingga disini menampak bahwa adanya dominasi peranan Pemerintah/Depdiknas dalam menentukan kelulusan peserta didik. Dengan kata lain, Depdiknas memegang kartu truf, hak veto, power besar untuk menentukan kelulusan siswa. Sementara guru dan sekolah, yang semula merasa senang karena memiliki peranan dalam menentukan kelulusan siswa, sesuai dengan tugas masing-masing (kriteria BSNP, misalnya), akhirnya harus “menyerah” ketika siswanya tidak lulus UN, yang berarti tidak lulus sekolah. Ruwet bukan?

***
MUNGKIN PERLU PEMBOBOTAN
Untuk apa ada beberapa persyaratan atau pertimbangan dalam penentuan kelulusan siswa, jika akhirnya ternyata hanya dan hanya UN sebagai penentu utamanya?

Sebagaimana ditetapkan dalam pasal 3 Permendiknas No. 45/2006 bahwa UN adalah untuk mengukur kompetensi lulusan terhadap sebagian kelompok mata pelajaran IPTEK, khususnya Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika dan satu mata pelajaran lain sesuai dengan jurusan di SMA atau kompetensi keahlian di SMK. Sebagian lain dari kelompok mata pelajaran IPTEK akan diujikan dalam ujian sekolah (US). Kelompok mata pelajaran non-IPTEK memang tidak diujikan dalam UN atau US, sehingga kelulusannya ditentukan oleh guru atau pendidik. Semua siswa peserta UN, so pasti sudah mengikuti seluruh program sekolah sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan.

Kalau peraturannya seperti ini, mengapa tidak dilakukan pembobotan saja terhadap 3 – 4 aspek yang dipertimbangkan sebagai prasyarat kelulusan siswa. Misalnya untuk SMP dan SMA:
• Kelompok mata pelajaran non-IPTEK yang kelulusannya ditentukan oleh guru/ tenaga pendidik diberi bobot : 20%
• Kelompok mata pelajaran IPTEK yang kelulusannya ditentukan melalui Ujian Sekolah (US) diberi bobot : 30%
• Kelompok mata pelajaran IPTEK yang kelulusannya ditentukan melalui UN diberi bobot : 50%

Sedangkan untuk SMK, karena ada ujian kompetensi keahlian, maka bobot untuk UN hanya 40%; sedangkan untuk dua kelompok mata pelajaran lain dan uji kompetensi masing-masing 20%. Nilai akhir rata-rata siswa untuk dinyatakan lulus dari suatu satuan pendidikan minimal 6,00.

Pembobotan ini tidak sama persis dengan Rumus PQRS yang pernah dipakai dalam zaman EBTANAS. Pembobotan ini ditetapkan secara nasional, bukan kebijakan daerah apalagi sekolah, seperti yang digunakan dalam EBTANAS, dimana sekolah atau daerah dapat mengatur sesukanya pembobotan PQRS tersebut. Akibatnya, berapapun nilai EBTANAS, siswa tetap lulus dengan selamat.

Melalui pembobotan ini, UN dikembalikan kepada porsi semula sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Permendiknas No. 45/2006, yaitu UN sebagai salah satu pertimbangan penentuan kelulusan siswa. Masih ada pertimbangan lainnya yang patut diperhatikan dan memiliki posisi yang setara, yakni hasil penilaian yang dilakukan oleh guru (dalam kelompok mapel non-IPTEK) dan hasil Ujian Sekolah (terhadap kelompok mapel IPTEK lain), serta hasil uji kompetensi keahlian (khusus SMK).

Melalui pembobotan ini, dominasi UN dalam penentuan kelulusan bisa dikurangi. Syarat kelulusan siswa yang telah ditetapkan dalam PP 19 / 2005 perlu ditinjau kembali. Bahwa, siswa bisa saja tidak lulus UN – karena memperoleh nilai yang masih di bawah standar UN. Namun bukan berarti, siswa tersebut tidak lulus dari satuan pendidikan. Karena setelah dilakukan pembobotan, nilai akhir rata-rata memenuhi batas nilai kelulusan, misalnya 6,00 atau lebih.

Jika pengandaian pertama di atas, si Adul, yang bisa saja tidak diluluskan oleh satuan pendidikan, hanya karena nilai perilaku siswa tersebut buruk, meskipun lulus UN dengan nilai baik, dapat dilakukan (dan direstui oleh Depdiknas). Maka seharusnya dapat dilakukan pula untuk hal yang sebaliknya, seperti pengandaian kedua, si Amat yang memiliki nilai mata pelajaran lainnya cukup, bisa dinyatakan lulus sekolah, meskipun dia tidak lulus UN. Caranya? Melalui pembobotan itulah.

KEMAJUAN ATAU KEMUNDURAN?
Bisa saja pemikiran pemberian pembobotan ini dianggap sebagai kemunduran, karena menggunakan pola yang mirip-mirip zaman EBTANAS.

Tapi, apakah Depdiknas sudah konsisten dengan ketentuan yang dibuatnya sendiri dan peraturan perundangan yang ada? Jangan-jangan kita kembali dan selalu kembali terjebak dalam retorika yang sama. “UN hanya salah satu pertimbangan untuk menentukan kelulusan siswa. Masih ada 3 aspek lain yang bisa menentukan kelulusan siswa”, demikian retorika yang sering terdengar dari para petinggi pendidikan di negeri ini. Tetapi kenyataannya, jika siswa tidak lulus UN, maka tidak lulus sekolahlah dia – berapapun nilai yang diperoleh dari semua mata pelajaran non-UN lainnya.

Kalau masih seperti ini terus, apakah dapat disebut sebagai kemajuan dalam pendidikan kita? Wallahu’alam bissawab.


Samarinda, 23 Desember 2006