THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Jumat, 04 Desember 2009

MENYONGSONG UJIAN NASIONAL DI SD:
MASIH WACANA, SUDAH RENCANA, ATAU AKAN JADI BENCANA?
(Bagian 1)

Oleh : Nanang Rijono

ADA beberapa peraturan tentang penilaian atau evaluasi yang perlu kita cermati dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di SD, yakni Keputusan Mendiknas No. 11 dan 12/U/2002, yang ditetapkan sebelum diundangkannya UU No. 20 Tahun 2003 dan PP No. 19 Tahun 2005. Dalam peraturan tersebut diatur tentang penilaian hasil belajar siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, Apa isi peraturan-peraturan tersebut?

UN & PENGGELEMBUNGAN PASAL
Dalam UU Sisdiknas tidak tersurat pasal atau ayat yang mengatur UN, yang ada adalah pasal-pasal tentang tujuan penilaian atau evaluasi, sasaran evaluasi, evaluasi hasil belajar siswa, lembaga pengevaluasi, serta peran pemerintah, masyarakat dan organisasi dalam evaluasi. Pasal 57 UU Sisdiknas menjelaskan bahwa evaluasi dilakukan untuk pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas lembaga penyelenggara pendidikan. Evaluasi tersebut dilakukan kepada (i) peserta didik, (ii) lembaga pendidikan, dan (iii) program pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan dan jenis pendidikan. Evaluasi tersebut dilaksanakan secara berkala, menyeluruh, transparan dan sistemik untuk mengukur pencapaian standar nasional pendidikan, dan dilakukan oleh lembaga mandiri (Pasal 58 ayat 2). Masyarakat dan organisasi profesi boleh membentuk lembaga mandiri ini. Sementara itu, Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan (Pasal 59).
Dalam UU Sisdiknas tidak diatur tentang UN dan peranan pemerintah dalam UN. Yang ada hanyalah tentang evaluasi hasil belajar. Perhatikan pasal 58 ayat (1) Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Pasal ini jelas menunjukkan bahwa evaluasi hasil belajar kepada peserta didik dilaksanakan oleh pendidik alias guru. Lalu dimana peran satuan pendidikan dan pemerintah dalam evaluasi hasil belajar kepada peserta didik? Lihat PP No. 19 Tahun 2005 pasal 63 ayat (1) yang mengatur hal berikut :”Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:
a. penilaian hasil belajar oleh pendidik;
b. penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan
c. penilaian hasil belajar oleh Pemerintah.
Menurut pasal 63 PP 19 Tahun 2005 ini evaluasi atau penilaian hasil belajar kepada peserta didik dilaksanakan oleh tiga pihak: guru atau pendidik, sekolah atau satuan pendidikan, dan Depdiknas (yang kemudian ditugaskan kepada BSNP) atau pemerintah. Padahal dalam pasal 58 UU Sisdiknas hanya ada penilaian hasil belajar oleh pendidik. Disini nampak ada “penggelembungan” pasal. Secara yuridis sebenarnya Pasal 63 ayat (1) dan pasal-pasal lain yang terkait pada PP 19 Tahun 2005 ini bertentangan dengan pasal 58 UU Sisdiknas atau ketidak-konsistenan. Tegasnya, PP 19/2003 – yang secara hukum posisinya lebih rendah daripada UU – telah melanggar UU Sisdiknas. Tetapi mengapa tetap dilaksanakan?
Lihat kembali pasal 59 UU Sisdiknas, yang mengatur bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Jelas sekali, secara tersurat maupun tersirat, bagaimana peran pemerintah (Depdiknas) dalam melaksanakan penilaian hasil belajar siswa; yaitu tidak ada!
Kalau mau dicari-cari “peran” pemerintah dalam melaksanakan penilaian hasil belajar siswa, apakah dikorek-korek dari pasal 58 ayat 2 UU Sisdiknas yang mengatur evaluasi terhadap peserta didik, lembaga pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri? Lalu lembaga mandiri yang dimaksud adalah BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan)? Hal ini jelas bertentangan dengan pasal 76 PP 19/2005 yang menyebutkan bahwa BSNP bertugas membantu Mendiknas dalam mengembangkan, memantau dan mengendalikan standar nasional pendidikan, dimana dua tugasnya antara lain adalah menyelenggarakan ujian nasional dan menetapkan kriteria kelulusan siswa pada jenjang dikdasmen. BSNP jelas dibentuk oleh pemerintah (Depdiknas), meskipun dalam bekerjanya mereka melaksanakan secara profesional dan mandiri.
Sekedar informasi, dalam rembuk nasional pendidikan 8 – 11 April 2007 yang lalu, Depdiknas tidak mengutip pasal 58 ayat (1) UU Sisdiknas sebagai landasan yuridis pelaksanaan UN. Peraturan yang digunakan adalah UU Sisdiknas Pasal 11 ayat (1), pasal 35 ayat (1) Pasal 57 ayat (1 dan 2), pasal 58 ayat (2), dan pasal 61 ayat (2); PP 19/2005 pasal 66 (ayat 1, 2 dan 3) sebagai penjelasan atasa pasal 63 ayat (1) butir c; PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom pasal 1 butir (1) “Penetapan standar kompetensi peserta didik dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah”, serta Yurisprudensi Keputusan MA Nomor 04G/Hum/2004 mengenai Uji Materiil terhadap Kepmendiknas nomor 153/U/2003 tentang UAN yang menyatakan: “UAN tidak bertentangan dengan UU 20/2003 tentang Sisdiknas, karena merupakan pelaksanaan dari pasal 57 ayat (1)”. Apa bunyi pasal 57 ayat (1) tersebut? Yaitu “Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.” Mengapa MA tidak memakai pasal 58 ayat (1)? Atau pasal 59 ayat (1) yang berbunyi: “Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.” yang jelas-jelas menunjukkan peran pemerintah dalam penilaian – namun bukan menilai hasil belajar siswa? Lalu, mengapa PP 25/2000 yang bertentangan dengan UU Sisdiknas Tahun 2003 mengapa masih dipakai sebagai landasan yuridis?

Akibat ketidak-konsistenan dalam peraturan ini adalah munculnya keruwetan-keruwetan dalam penyelenggaraan UN serta terus mengundang perdebatan dan pro-kontra yang berkepanjangan.

GURITA KEKUASAAN & KERUWETAN UN
Keruwetan dalam penyelenggaraan UN diawali dengan “penggelembungan” pasal 58 UU Sisdiknas (hanya mengatur penilaian oleh pendidik) menjadi pasal 63 PP 19/2005, yang kemudian dirinci menjadi pasal 64 (penilaian oleh pendidik), pasal 65 (penilaian oleh satuan pendidikan), dan pasal 66 – 72 (penilaian oleh pemerintah).
Dalam pasal 64 PP 19/2005, penilaian oleh pendidik sudah sesuai dengan pasal 58 UU Sisdiknas. Dijelaskan panjang lebar dalam pasal 64 ini, tujuan, bentuk, manfaat, serta cara penilaian untuk setiap kelompok mata pelajaran. BSNP pun masih melakukan intervensi dengan menentukan panduan penilaian hasil belajar oleh pendidik ini.
Sedangkan pasal 65 PP 19/2005, penilaian oleh sekolah atau satuan pendidikan, sesungguhnya tidak pernah disebut-sebut dalam UU Sisdiknas. Menurut pasal 65, satuan pendidikan memiliki peran dalam melakukan penilaian akhir hasil belajar siswa untuk semua kelompok matapelajaran non-IPTEK, dan ujian sekolah (US) untuk kelompok matapelajaran IPTEK.Hasil belajar ini digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan kelulusan siswa dari satuan pendidikan.
Yang luar biasa rinci adalah peraturan tentang penilaian hasil belajar oleh pemerintah, yaitu tujuh pasal (pasal 66 s.d. 72) dengan total 19 ayat. Bagian ini mengatur tentang penilaian hasil belajar siswa yang disebut dengan Ujian Nasional (UN), mulai dari tujuannya, prinsipnya, waktu pelaksanaannya, penyelenggaranya, manfaatnya, peserta-nya, mata pelajaran yang diujikan, serta kelulusannya.
Ketentuan kelulusan yang diatur pasal 72 ayat (1) PP 19 Tahun 2005 Sesungguhnya tidak memberikan peran yang memadai kepada pendidik dalam penentuan kelulusan siswa. Peran pendidik dalam penilaian hasil belajar sebagaimana yang diatur dalam pasal 58 UU Sisdiknas dan/atau pasal 64 PP 19/2005 tidak banyak berarti, karana dikalahkan oleh peran pemerintah (Depdiknas dan BSNP). Penyimpangan ini harus disadari oleh Depdiknas atau pemerintah, serta lembaga legislatif agar dilakukan perbaikan terhadap pasal-pasal tentang standar penilaian ini.

Perhatikan ilustrasi berikut, yang menggambarkan “gurita kekuasaan” pemerintah dalam pelaksanaan penilaian hasil belajar siswa yang diatur dalam PP 19/2005.

BAGAN “GURITA KASAAN PEMERINTAH”
DALAM PENILAIAN HASIL BELAJAR
Terhadap 5 kelompok mapel di sekolah Terhadap 5 kelompok mapel di sekolah Terhadap mapel kelompok IPTEK
Bentuk : ulangan2 harian, tengah semester, akhir semester, kenaikan kelas Bentuk : ujian akhir sekolah, dan Ujian Sekolah (IPTEK) Bentuk : ujian nasional (UN)
Tujuan :
• memantau proses
• kemajuan
• perbaikan hasil belajar Tujuan :
Untuk menilai pencapaian SKL semua mapel Tujuan :
Untuk menilai pencapaian SKL secara nasional untuk mapel IPTEK

Digunakan untuk :
• menilai pencapaian kompetensi siswa
• bahan penyusunan LHBS/Rapor
• memperbaiki proses pembelajaran Digunakan untuk :
• menentukan kelulusan siswa (dengan mem-pertimbangkan hasil penilaian oleh pendidik Digunakan untuk salah satu pertimbangan :
• penetapan mutu program dan satuan pendidikan (SP)
• dasar seleksi masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya
• penentuan kelulusan dari program/SP
• pembinaan dan pemberian bantuan kepada SP untuk peningkatan mutu
Teknik penilaian :
• Pengamatan – perubahan perilaku dan sikap siswa
• Ulangan/Tugas – untuk aspek kognitif Kriteria :
Nilai > nilai batas (KKM) yang ditetapkan BSNP Kriteria kelulusan :
Ditentukan oleh BSNP
(ditetapkan dengan Peraturan Menteri)

Sumber : UU Sisdiknas dan PP 19/2005 (diubah dalam bentuk bagan)

Pendidik yang semula, menurut pasal 58 UU Sisdiknas, adalah pelaksana penilaian hasil belajar siswa, ternyata tidak banyak berperan dalam penentuan kelulusan siswa-siswanya. Karena hasil penilaian oleh pendidik ini hanya digunakan untuk perbaikan proses pembelajaran daripada penentuan kelulusan siswa (pasal 64 PP 19/2005). Paling banter hasil penilaian oleh pendidik ini hanya dipertimbangkan dalam penilaian akhir hasil belajar oleh sekolah (Pasal 65 PP 19/2005).
Walaupun menurut pasal 72 PP 19/2005 hasil penilaian oleh pendidik ini memiliki kontribusi dalam penentuan kelulusan siswa, namun pada kenyataannya kelulusan UN lebih menentukan daripada hasil US, dan apalagi hasil ulangan-ulangan dari pendidik. Hal ini sangat terlihat dalam pelaksanan UN di SMP/MTS dan SMA/MA/SMK selama beberapa tahun terakhir ini. Lalu bagaimana dengan UN di SD kelak? (Bersambung).

MENYONGSONG UJIAN NASIONAL DI SD:
MASIH WACANA, SUDAH RENCANA, ATAU AKAN JADI BENCANA?
(Bagian 2)

Oleh : Nanang Rijono


EBTANAS DAN UAS SD
Evaluasi belajar tahap akhir nasional (Ebtanas) mulai dilaksanakan mulai tahun pelajaran 1980/1981 yaitu pada mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila yang dikelola oleh Ditjen Dikdasmen. Pada tahun-tahun selanjutnya jumlah mata pelajaran berkembang hingga seperti sekarang ini. Penyelenggaraan Ebtanas ini dimaksudkan sebagai pengganti ujian nasional yang dihentikan sejak tahun 1968. Dari tahun 1968 hingga tahun 1981 berlaku ujian sekolah untuk menentukan kelulusan siswa. Ebtanas berlaku pada jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dan Sekolah Menengah (SM).
Penyelenggaraan Ebtanas berkembang dari tahun ke tahun baik dari segi perencanaan, penyiapan bahan ujian, jumlah mata pelajaran yang diujikan, mekanisme pelaksanaan, dan pemanfaatan hasil ujian. Dalam perjalanan pelaksanaan Ebtanas ini, Pusat Pengujian, Balitbang ditugaskan untuk menyiapkan bahan Ebtanas, yang awalnya untuk jenjang SLTP, kemudian SD, dan terakhir untuk SM, namun tetap dengan kerjasama Ditjen Dikdasmen.
Dalam penyelenggaraan Ebtanas ini muncul berbagai permasalahan seperti adanya sekolah hanya mengejar target NEM tinggi, besarnya biaya pungutan Ebtanas, kebocoran tes Ebtanas, NEM aspal (asli tapi palsu), sehingga menimbulkan pro dan kontra. Depdiknas telah melakukan survey terhadap pelaksanaan Ebtanas ini pada tahun 1999/2000. Puncaknya, Mendiknas menghapus pelaksanaan Ebtanas SD/MI/SDLB dengan Keputusan Mendiknas No. 011/U/2002 tanggal 28 Januari 2002 tentang Penghapusan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional untuk SD, SDLB & MI. Alasan yang dipergunakan Mendiknas tidak terkait dengan permasalahan-permasalahan di atas melainkan sebagai berikut :
a. Untuk mendukung wajib belajar 9 tahun, perlu ada penyesuaian sistem penilaian di SD, SDLB, MI
b. Untuk meningkatkan mutu pendidikan dan SDM, perlu ada penilaian yang sistematis dan berkelanjutan
c. Untuk memberdayakan sekolah, perlu memberikan kewenangan kepada sekolah untuk menyelenggarakan penilaian

Sebagai pengganti Ebtanas, Mendiknas mengeluarkan Kepmendiknas No. 012/U/2002 tentang Sistem Penilaian di SD, SDLB & MI. Penilaian hasil belajar di sekolah menurut peraturan Menteri ini berupa penilaian kelas dan ujian.Tujuan penilaian hasil belajar ádalah untuk (a) menilai hasil belajar siswa di sekolah; (b) memper-tanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat; dan (c) mengetahui mutu pendidikan pada sekolah.
Atas dasar keputusan menteri tersebut, maka mulai tahun 2002/2003 di SD diberlakukan ujian sekolah, yang secara rinci diperjelas dengan Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional nomor 137/C/Kep/MN/2003 tentang Penyelenggaraan Ujian Akhir Sekolah. Penyelenggaraan ujian akhir sekolah konon sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.

Dalam Pedoman Pelaksanaan Ujian Akhir Sekolah tingkat SD dan MI diatur berbagai hal tentang pelaksanaan ujian akhir sekolah dan kriteria kelulusan sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan pada jenjang pendidikan dasar.
Kriteria kelulusan UAS SD yang digunakan adalah sebagai berikut : (1) memiliki nilai rapor semester 2 kelas VI; dan (2) telah mengikuti Ujian Sekolah dan memiliki nilai untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan (nilai minimal nilai masing-masing mata pelajaran akan ditentukan kemudian. Pada tahun 2004/2005 ditetapkan minimal 4,26) Bagi sekolah/madrasah yang menetapkan kriteria kelulusan lebih dari yang telah disebutkan di atas, perlu mendapat persetujuan dari Majelis/Komite Sekolah dan melaporkannya ke Dinas Pendidikan/Kandepag Kab/Kota sesuai dengan kewenangannya.

Sedangkan untuk menentukan kelulusan siswa dalam Pedoman Pelaksanaan UAS tahun 2004/2005 dilakukan dengan cara berikut :
1. Penentuan siswa yang lulus dilakukan oleh sekolah/madrasah dalam suatu rapat Dewan Guru dengan mempertimbangkan nilai rapor, nilai Ujian Sekolah, sikap/ perilaku/budi pekerti siswa yang bersangkutan.
2. Penentuan lulus bagi siswa sekolah/madrasah yang menggabung dilakukan bersama-sama dengan sekolah/madrasah penyelenggara Ujian Sekolah dengan memper-timbangkan nilai rapor, nilai Ujian Sekolah, sikap/perilaku/budi pekerti siswa yang bersangkutan dalam suatu rapat dewan guru.
3. Siswa dinyatakan lulus apabila memenuhi kriteria kelulusan.
4. Siswa yang dinyatakan lulus diberi ijazah, dan rapor sampai dengan semester 2 kelas VI Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah.
5. Siswa yang tidak lulus tidak memperoleh ijazah namun dapat mengikuti ujian periode berikutnya dengan mengulang di kelas terakhir.


MENGAPA PERLU UN DI SD?
Ada beberapa pertanyaan tentang UN di SD yang akan dilaksanakan mulai tahun 2008. Apakah rasionalnya? Apakah pelaksanaan US di SD suatu kemajuan atau kemunduran? Akankah kembali kepada sentralisasi?
Ketika EBTANAS SD/MI/SDLB dihapuskan pada tahun 2002, dan kemudian diberlakukan UAS, rasional atau konsideran yang diajukan Mendiknas antara lain, (1)
Untuk mendukung wajib belajar 9 tahun, perlu ada penyesuaian sistem penilaian di SD, SDLB, MI; (2) untuk meningkatkan mutu pendidikan dan SDM, perlu ada penilaian ang sistematis dan berkelanjutan; dan (3) untuk memberdayakan sekolah, perlu memberikan kewenangan kepada sekolah untuk menyelenggarakan penilaian. Tiga rasional tersebut perlu diperhatikan pemerintah (Depdiknas atau BSNP) ketika akan melaksanakan UN di SD – walaupun peraturan Mendiknas No. 12/U/2002 ini tidak sesuai lagi dengan UU Sisdiknas dan PP 19/2005.
Jika Depdiknas mengatakan bahwa UN di SD merupakan anamat PP 19/2005, maka perlu dikaji kembali pendirian tersebut. Pelaksanaan UN untuk SMP/MTs dan SMA/MA/SMK saja menimbulkan keruwetan dan berpotensi melanggar UU Sisdiknas. Kenapa harus ngotot mau melaksanakan UN di SD? Dalam PP 19/2005 memang ada pasal yang mengatur pelaksanaan UN di SD, yaitu pasal 67 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Pemerintah menugaskan BSNP untuk menyelenggarakan ujian nasional yang diikuti peserta didik pada setiap satuan pendidikan jalur formal pendidikan dasar dan menengah dan jalur nonformal kesetaraan”. Namun dalam UU Sisdiknas tetap tidak ada peran pemerintah dalam menyelenggarakan UN.
Apakah penyelenggaraan UN di SD sejalan dengan “rasional” yang pernah dipakai dalam Kepmendiknas No. 12/U/2002? Misalnya, UN mendukung program wajib belajar yang bermutu; artinya, walaupun pendidikan dasar merupakan program wajib belajar, namun siswa yang tidak memenuhi kriteria kelulusan UN, yang tidak perlu diluluskan. Dengan kata lain, wajib belajar tidak sama dengan wajib meluluskan siswa dari sekolah. Kedua, UN di SD merupakan suatu rangkaian sistem penilaian pendidikan, sehingga sejak jenjang SD, SMP dan SMA perlu dilakukan penilaian (baca: UN) yang sistematis dan berkelanjutan. Ketiga, untuk memberdayakan sekolah dalam penilaian, dengan memberikan kewenangan kepada sekolah untuk melakukan penilaian sendiri – seperti yang berlangsung saat ini. Daerah dan sekolah diberi kewenangan menyusun soal sendiri dan menyelenggarakan UAS di SD sebagai perwujudan dari otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan.
Hal yang ketiga ini masih belum jelas. Maybe yes, maybe no! Apakah UN diselenggarakan sepenuhnya oleh daerah; dalam arti sejak penyusunan naskah ujian (soal UN), penggandaan, pelaksanaan, penentuan kelulusan, sampai dengan pembiayaannya menjadi kewenangan dan tugas daerah. Jika YA, berarti modus UN di SD tersebut sama dengan UAS yang dilaksanakan saat ini. Depdiknas melalui Puspendik menentukan rambu-rambu pelaksanaan UN, BSNP menetapkan SKL UN dari matapelajaran yang diujikan, POS, kriteria kelulusan, dan sebagainya. Sedangkan daerah secara otonom melaksanakannya. Jika YA, UN di SD merupakan “peningkatan status” dari US yang dilaksanakan selama ini.
Jika TIDAK, berarti modus UN di SD akan menggunakan modus UN di SMP/MTs dan SMA/MA/SMK. Artinya, SKL UN dan POS UN dan Soal UN ditetapkan di Pusat, Provinsi yang menggandakan soal UN, daerah sebagai pelaksana. Pemeriksaan hasil UN dilaksanakan di tingkat provinsi, sedangkan penentuan kelulusan siswa dari satuan pendidikan ditentukan oleh sekolah. Dengan demikian, UN yang akan dilaksanakan di SD merupakan sesuatu yang “baru”, sehingga harus disosialisasikan jauh-jauh hari kepada siswa, orang tua, guru dan sekolah.

PELAJARAN YANG DIUJIKAN
Dalam PP 19/2005 pasal 70 sudah ditetapkan mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional (UN) sebagai berikut :





TABEL : MATAPELAJARAN UJIAN NASIONAL

No Jenis & Jenjang Mata Pelajaran yang Diujikan dalam UN
1 SD/MI
Bhs. Indonesia, Matematika, dan IPA
2 Paket A
Bhs. Indonesia, Matematika, IPA, IPS dan PKN
3 SMP/MTS
Bhs. Indonesia, Matematika, Bhs. Inggris dan IPA
4 Paket B
Bhs. Indonesia, Matematika, Bhs. Inggris, IPA, IPS dan PKN
5 SMA/MA Bhs. Indonesia, Matematika, Bhs. Inggris dan mata pelajaran khas jurusannya
6 SMK Bhs. Indonesia, Matematika, Bhs. Inggris dan mata pelajaran khas kejuruannya
7 Paket C Bhs. Indonesia, Matematika, Bhs. Inggris dan mata pelajaran khas jurusannya
Sumber : PP 19/2005 (diubah dalam bentuk tabel)


Dalam US di SD saat ini, ada lima mata pelajaran yang diujikan. Namun jika kelak UN SD dilaksanakan, maka mata pelajaran UN hanya tiga buah: Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA. Kelihatannya berkurang, dari lima menjadi tiga. Eit, jangan keburu senang. Pasti nanti akan ada ujian sekolah (US) yang diujikan untuk mata pelajaran IPTEK (yakni IPS), dan mungkin mata pelajaran non-IPTEK yang dipaksakan di-US-kan seperti dalam UN SMP/MTS dan SMA/MA saat ini; Misalnya Pendidikan Agama, PKN, Kesenian, Penjas-Orkes bisa diujikan secara teori dan praktik.

Jika kita mau belajar dari penyelenggaraan UN di SMP/MTs dan SMA/MA yang masih menimbulkan banyak masalah, maka kita harus mengantisipasi bahwa akan semakin banyak permasalahan dalam UN di SD. Pro dan kontra terhadap penyelenggaraan UN di SD ini pun akan segera bermunculan. Apa sajakah itu? (Bersambung).

MENYONGSONG UJIAN NASIONAL DI SD:
MASIH WACANA, SUDAH RENCANA, ATAU AKAN JADI BENCANA?
(Bagian 3)

Oleh : Nanang Rijono

PRO-KONTRA YANG MUNCUL
Jika UN di SD masih merupakan wacana, diskursus, maka wajar jika muncul pro dan kontra, karena masih banyak hal yang belum jelas tentang rencana UN di SD tersebut. Misalnya, sudah tepatkah kebijakan Depdiknas tentang pelaksanaan UN di SD ini, sementara kesenjangan layanan pendidikan antar daerah, dan wilayah masih sedemikian lebar dan sistem pendidikan masional masih belum terbentuk secara utuh? UN di SD ini sesungguhnya untuk apa? Untuk pemetaan mutu pendidikan, untuk penentuan kelulusan siswa, atau untuk syarat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi? Lalu, kriteria kelulusannya seperti apa? Berapa batas minimal nilai mata pelajaran UN? Apakah akan ada UN susulan di SD? Apakah siswa yang tidak lulu UN akan “disalurkan” ke kesetaraan Paket A? Lalu, jika mereka sudah lulus, ijazahnya untuk apa? Biaya yang diperlukan UN SD – yang bisa dipastikan 2 kali lipat daripada UN SMP dan SMA – dari mana? Dari APBN atau APBD? Apakah kebijakan UN di SD ini tidak menghambat program Wajar Dikdas 9 Tahun, jika ternyata UN di SD ini menyebabkan banyak siswa yang tidak lulus, sehingga angka transisi menjadi turun, APK di SMP/MTs menjadi lebih rendah? Dan sebagainya.

Sorotan sangat tajam terhadap UN di SD ini selain dari aspek hukum (UU Sisdiknas dan PP 19/2005 yang masih belum sinkron, seperti yang dikupas pada bagian 1), juga aspek keadilan, psikologi, dan pembelajaran. Apakah adil, jika kondisi sekolah dengan pembelajaran yang sangat beragam karena berbagai faktor, siswa kemudian diuji dengan soal standar kota – di Jawa dengan alasan demikianlah standar nasional pendidikan kita? Apakah aspek psikologi anak yang minat belajarnya belum tinggi, perkembangan mental dan kemampuan masih belum optimal lantas diabaikan, demi pencapaian standar mutu nasional?
Pihak Depdiknas dan jajarannya bisa saja berdalih, bahwa mereka hanya melaksanakan amanat UU dan PP yang ada, mereka melaksanakan itu demi memotivasi anak, guru, sekolah dan masyarakat untuk mencapai pendidikan yang bermutu. Namun apakah pembangunan pendidikan saat ini sudah dibenahi dengan baik, merata, dan berkeadilan? Sarana dan prasarana yang rusak atau tidak lengkap, guru yang jumlahnya kurang atau tidak cakap, gaji dan insentif kesejahteraan yang pas-pasan, menjadi pemicu pembelajaran tidak dapat berjalan dengan baik, apakah sudah ditangani dengan serius?
Sementara itu, standar proses dan standar penilaian pendidikan sesuai dengan SI dan SKL yang sudah ditetapkan Mendiknas belum dibuat oleh BSNP. Entah BSNP lupa atau karena kesibukannya sangat padat untuk mengurusi UN dan Sertifikasi Guru, sampai-sampai komponen standar KTSP ( SI, SKL, standar proses, dan standar penilaian) belum dibuat. Kita tunggu sajalah karya BSNP tentang standar proses dan standar penilaian tersebut.
Persoalan lain yang akan diperdebatkan, adalah manfaat atau kegunaan dari UN di SD itu sebenarnya untuk apa – dan untuk siapa? Apakah UN di SD digunakan untuk pemetaan mutu pendidikan dasar (SD)? Sehingga ketika diperoleh hasil UN siswa di suatu daerah atau sekolah rendah, banyak siswa yang masuk kategori “tidak lulus”, maka Depdiknas atau Dinas Pendidikan segera merancang program intervensi untuk membina dan meningkatkan mutu pendidikan di daerah dan sekolah tersebut. Demikian pula sebaliknya jika daerah atau sekolah sudah memperoleh nilai UN SD baik.
Apakah hasil UN digunakan sebagai dasar penilaian kelulusan siswa SD atau untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi? Jika YA, maka permasalahan baru akan segera bermunculan – sebagaimana masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan UN di SMP atau SMA. Isyu kecurangan, kebocoran soal, kesepakatan mEmanipulasi, jam pembelajaran yang dikurangi untuk matapelajaran non-UN, program instan untuk sukses UN, dan sebagainya akan bermunculan. Sementara itu rentang kontrol semakin sulit, karena persebaran SD yang sangat meluas dan nyaris tidak terjangkau oleh tim pemantau dan pengawas independen.

KRITERIA KELULUSAN
Belum lagi masalah kriteria kelulusan. Batasan lulus yang akan ditetapkan oleh BSNP berapa : 5,00 ; 5,25; atau 5,50? Apakah langsung setinggi itu – seperti yang direncanakan di SMP atau SMA ? Bagi siswa SD di daerah perkotaan – di Jawa sana, atau sekolah yang maju di kota-kota di Kaltim, mungkin tidak menjadi masalah. Namun untuk daerah perdesaan, pedalaman, atau perbatasan yang kondisi sarana-prasarana, guru, dan pembelajaran tidak memadai, akan menjadi masalah.
Penetapan kriteria kelulusan ini sangat tergantung kepada “kepekaan” BSNP dalam mempelajari kondisi riil dunia pendidikan kita; bukan karena pesan atau bisikan pejabat tinggi negeri. Kalau tidak, pelaksanaan UN di SD ini akan menjadi bencana nasional yang lebih parah daripada bencana Lumpur Sidoarjo – karena akan mengorbankan satu generasi anak negeri ini – akibat kesalahan kebijakan dalam bidang pendidikan.

BIAYA YANG DISIAPKAN
Biaya yang diperlukan untuk penyelenggaraan UN di SD sangat besar. Biaya itu akan digunakan untuk penyusunan, penggandaan dan pendistribusian, naskah UN SD dan lembar jawabannya, pelaksanaan ujian, pemeriksaan, serta pengawasan dan pemantauan. Siapa yang membiayai: Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah? Dana APBN atau APBD? Selama ini biaya untuk UAS SD/MI bersumber dari APBD, karena UAS SD tersebut menjadi kewenangan daerah. Walaupun dana terbatas dan sering terancam terlambat pencairannya, UAS SD dapat berjalan sesuai rencana. Nah, apakah pemerintah daerah mau menyediakan dana sepenuhnya dari APBD untuk pelaksanaan UN yang direncanakan tahun 2008? Entahlah! Kalau kebijakan UN di SD ini tidak ditetapkan lebih awal, maka panitia anggaran di daerah tidak mengalokasikan dana untuk UN tersebut secara memadai. Sehingga pelaksanaan UN SD tahun 2008 bisa mengalami kegagalan karena tidak tersedia yang diperlukan.
Apakah pemerintah pusat atau Depdiknas yang menyediakan dana UN SD tersebut? Sulit diharapkan – karena DPR sudah “mengancam” akan membatasi dan bahkan meniadakan dana untuk UN, jika pelaksanaannya masih semrawut semacam ini. Lalu, apakah DPR mau menyetujui anggaran dalam APBN untuk UN di SD, sementara kejelasan kebijakan Depdiknas tentang UN di SD ini masih belum nampak. Bahkan bisa saja DPR tidak setuju dengan kebijakan UN SD itu sendiri. Karena Ketua DPR RI Agung Laksono sudah mengisyaratkan agar masyarakat pendidik melakukan judicial review terhadap UN, karena ada penyimpangan PP 19/2005 dari UU Sisdiknas tentang UN ini.
Kalau sudah ada warning semacam ini, apakah Depdiknas akan tetap ngotot dengan rencana UN di SD yang dasar hukumnya diambil dari PP 19/2005 itu?

UN SD VS WAJAR DIKDAS 9 TAHUN
Pemerintah sudah mencanangkan percepatan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Melalui Inpres No. 5 Tahun 2006, Presiden SBY telah mencanangkan Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun dan Buta Aksara. Mendiknas dan Menko Kesra juga sudah mengeluarkan keputusan menteri untuk mendukung Inpres tersebut.
Ketika Ebtanas dihapus dan UAS dimunculkan, salah satu konsiderannya adalah untuk mendukung program Wajar Dikdas 9 Tahun. Lalu, apakah pelaksanaan UN di SD juha akan mendukung program Wajar Dikdas 9 Tahun? Pasti! UN di SD adalah untuk mendukung Wajar Dikdas 9 Tahun yang bermutu. Benarkah? Lho, mengapa masih ragu?
Keraguan saya terletak pada persoalan yang belum diputuskan : apakah UN di SD untuk pemetaan mutu pendidikan di SD atau untuk menentukan kelulusan siswa SD? Jika UN di SD hanya dan hanya untuk pemetaan mutu pendidikan di SD, maka program UN ini tidak akan berpengaruh kepada program Wajar Dikdas 9 Tahun. Namun jika, UN di SD lebih difokuskan untuk menentukan kelulusan siswa SD, disini akan menjadi batu sandungan program Wajar Dikdas 9 Tahun.
Saya sepakat, bahwa program Wajar Dikdas 9 Tahun tidak bisa menjadi penyebab semua siswa pasti naik kelas dan pasti lulus, alias mengabaikan mutu pendidikan. Bahwa peserta didik pada pendidikan dasar baru bisa naik kelas atau lulus jika telah memperoleh hasil belajar yang memenuhi kriteria ketuntasan minimum (KKM) adalah suatu keharusan. Namun menjadikan UN sebagai “filter” kelulusan siswa di SD – dengan dalih apapun, akan menyebabkan program Wajar Dikdas 9 Tahun akan terkendala.
Pemda dan Dinas Pendidikan mana yang berani menjamin siswa di daerahnya bisa lulus 100% dalam UN di SD? Jika mereka menjamin hanya 95% yang bisa lulus SD, berarti ada 5% yang tidak lulus dikalikan dengan jumlah siswa pesreta UN. Apakah siswa yang tidak lulus UN ini akan mau mengulang sekolah, ikut kesetaraan paket A, atau malahan putus sekolah, siapa yang tahu? Pemda dan Dinas Pendidikan saya yakin tidak berani menjamin.
Lalu, apakah demi mencapai kelulusan 100% tersebut, maka program instan harus dilakukan, manipulasi dan kecurangan dirancang secara sistematis, atau apapunlah yang penting semua siswa SD lulus semua – agar tidak memalukan dan menghambat Wajar Dikdas 9 Tahun? Kalau hal ini menjadi pilihan, maka pendidikan akan menjadi wahana pembodohan yang tersistematis.

PENUTUP
Mari kita tunggu kebijakan Depdiknas tentang UN ini, dan kita cermati bagaimana implementasinya. Apakah berhasil atau “berhasil” dengan banyak catatan – kalau tidak masu disebut “gagal”.
Kegagalan implementasi suatu kebijakan publik bisa berbentuk salah satu dari tiga hal berikut. Pertama, keputusannya memang buruk (bad execution), sehingga implementasi di lapangan juga buruk atau gagal. Kedua, adalah implementasi yang buruk (bad implementation) dari sebuah kebijakan yang sesungguhnya baik. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan aparat pelaksana, SDM, ketersediaan dana, sarana dan prasarana, dan lain lain yang diperlukan untuk implementasi, Akibatnya, implementasi kebijakan di lapangan menjadi gagal. Ketiga, nasib buruk dari kebijakan tersebut (bad luck), dimana kebijakan yang sudah baik, tenaga yang diperlukan sudah ada, sarana dan prasarana sudah cukup, namun ditolak oleh masyarakat, sehingga menjadi tidak dapat diimplementasikan. Apes sekali nasibnya.
Lalu, implementasi kebijakan-kebijakan pendidikan kita, termasuk kebijakan UN di SD, terkategori yang mana, sehingga pembangunan pendidikan kita yang sudah menghabiskan triliunan rupiah kok tidak menunjukkan hasil yang sesuai? Akankah UN di SD akan menjadi bencana? Wallahu’alam bil shawab! (Habis).


Balikpapan – Samarinda, 10 – 13 Mei 2007