THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Kamis, 03 Desember 2009

ANALISIS TERHADAP PP NO, 74 TAHUN 2008 TENTANG GURU (BAGIAN 1)

ANGIN SURGA, ANGIN RIBUT ATAU ANGIN MATI?

OLEH : NANANG RIJONO


ALHAMDULILLAH, setelah melalui proses panjang dan berliku selama hampir 3 tahun, akhirnya pada tanggal 1 Desember 2008 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (selanjutnya disebut PP No. 74/2008). PP ini merupakan salah satu peraturan pelaksanaan Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Ada beberapa hal yang telah diperjuangkan PGRI selama ini dalam PP tersebut – sebagaimana dahulu PGRI mengusulkan UU Guru dan Dosen. Tulisan ini akan menganalisis beberapa bagian dari PP No. 74/2006 secara bersambung.

GURU BELUM S1 BOLEH IKUT SERTIFIKASI
Ada satu pasal dalam PP No. 74/2008 yang memberikan kesempatan bagi guru dalam jabatan yang belum memiliki kualifikasi pendidikan S1 atau Diploma IV untuk memperoleh sertifikat pendidik, asalkan mereka sudah berusia lima puluh tahun ke atas dengan masa kerja 20 tahun atu lebih, atau mereka sudah memiliki golongan IV/a. Hal ini ditetapkan dalam Pasal 66, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, Guru Dalam Jabatan yang belum memenuhi Kualifikasi Akademik S-1 atau D-IV, dapat mengikuti uji kompetensi untuk memperoleh Sertifikat Pendidik apabila sudah:
a. mencapai usia 50 (lima puluh) tahun dan mempunyai pengalaman kerja 20 (dua puluh) tahun sebagai Guru; atau
b. mempunyai golongan IV/a, atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/a.

Ini pasal yang menggembirakan – yang merupakan salah satu usulan PGRI kepada Pemerintah – bagi guru, terutama bagi guru Sekolah Dasar. Jumlah guru di Kaltim yang belum S1 masih sangat banyak – dimana sebagian dari mereka sedang mengikuti kuliah program kualiifikasi ke S1 di LPTK atau Universitas Terbuka (UT). Pasal ini dapat memberikan angin surga kepada guru tua, karena mereka tidak perlu menunggu memiliki ijazah S1 lebih dulu agar bisa ikut sertifikasi dan menikmati tunjangan profesi pendidik sebesar satu kali gaji pokok. Diperkirakan ada 10.000 guru Kaltim yang belum S1 yang memiliki usia tua (50 tahun ke atas, dengan masa kerja lebih 20 tahun) dan/atau yang memiliki pangkat/golongan IV/a. Sehingga, peraturan ini memberikan harapan besar alias angin surga kepada guru-guru tua, terutama pada jenjang SD, karena tidak lama lagi mereka akan bisa menikmati tunjangan profesi pendidikan yang besarnya satu kali gaji pokok – sebagaimana yang dinikmati oleh sekitar 4000-an guru Kaltim yang sudah mengikuti sertifikasi. Duuh … senangnya!

ANGIN RIBUT ATAU ANGIN MATI?
Eit, jangan keburu senang dahulu wahai engkau para guru tua! Sebab dalam pasal 66 tersebut di atas ada dua pernyataan yang harus mendapat perhatian semua pihak, baik jajaran Disdik, Kepala Sekolah, dan guru itu sendiri. Pertama, hanya disediakan waktu 5 (lima) tahun sejak PP No. 74/2008 ini dikeluarkan, artinya sampai dengan 1 Desember 2013, para guru tua untuk mendapatkan sertifikat pendidik melalui uji kompetensi. Oleh karena itu Disdik Kabupaten/ Kota harus bergerak cepat dengan melakukan pendataan, sosialisasi, dan penyiapan guru tua untuk mengikuti uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat pendidikan ini. Dengan pendataan, maka guru-guru tua yang belum S1 yang akan pensiun lima tahun ke depan bisa diprioritaskan untuk mengikuti uji kompetensi guru, baru disusul guru tua lapis kedua, dan kemudian guru-guru yang sudah mempunyai golongan IV/a.
Kedua, dalam pasal 66 tersebut, disebutkan ada uji kompetensi bagi guru tua untuk memperoleh sertifikat pendidik. Uji kompetensi ini, kalau merujuk ke pasal 12 ayat (3) dan (4) PP No. 74/2008, adalah penilaian portofolio – sebagaimana yang diberlakukan pada guru yang sudah S1 atau D-IV dalam mengikuti sertifikasi guru salama 3 tahun terakhir ini.
(3) Uji kompetensi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk penilaian portofolio.
(4) Penilaian portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan pengakuan atas pengalaman profesional Guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mendeskripsikan:
a. Kualifikasi Akademik;
b. pendidikan dan pelatihan;
c. pengalaman mengajar;
d. perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran;
e. penilaian dari atasan dan pengawas;
f. prestasi akademik;
g. karya pengembangan profesi;
h. keikutsertaan dalam forum ilmiah;
i. pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial; dan
j. penghargaan yang relevan dengan bidang kependidikan.

Kalau benar – seperti yang saya asumsikan – bahwa guru tua yang belum S1 dan atau sudah IV/a ini harus mengikuti uji kompetensi dalam bentuk penilaian dokumen portofolio yang terdiri atas 10 (sepuluh) macam komponen, maka “celakalah” nasib guru tua tersebut. Mengapa saya katakan “celaka” dengan tanda petik, karena untuk mengumpulkan 10 macam komponen dokumen portofolio itu bukan persoalan yang mudah dan sederhana. Apalagi bagi guru SD yang tersebar di berbagai pelosok wilayah Kalimantan Timur.
Bila melihat pengalaman guru yang sudah S1 yang telah mengikuti sertifikasi angkatan 2006 – 2008, ternyata jumlah peserta yang lulus penilaian portofolio (murni) dengan miliki skor minimal 850 poin sekitar 10 – 20% saja. Artinya banyak guru yang harus mengikuti program Diklat PLPG agar bisa lulus sertifikasi. Padahal guru-guru ini selain sudah S1 tempat mengajarnya masih di tempat yang relatif ramai, sehingga mereka masih bisa mengikuti pelatihan-pelatihan atau pertemuan ilmiah. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana dengan nasib guru-guru SD yang mengajar di daerah terpencil dan sepi dari kegiatan diklat atau pertemuan ilmiah.
Jangan-jangan pasal 66 PP 74/2008 ini bukan angin surga, melainkan angin ribut yang menimbulkan keriuhan di kalangan guru tua karena berharap bisa menikmati tunjangan profesi secepatnya, namun ternyata mereka harus berusaha keras mengumpulkan dan mencari dokumen portofolio atau harus mengikuti berbagai kegiatan agar bisa mengumpulkan skor minimal 850 poin, skor batas minimal lulus penilaian portofolio atau uji kompetensi ini. Kalau para guru tua di SD daerah terpencil atau pedalaman ini disuruh mengumpulkan dokumen portofolio untuk uji kompetensi, mungkin sampai 5 tahun ke depan belum bisa mengikuti uji kompetensi.
Jangan-jangan, yang terjadi adalah sebaliknya, guru-guru tua menjadi pesimis, tidak tertarik untuk mengikuti uji kompetensi dengan mengumpulkan dokumen portofolio lagi. Lantaran selain dokumennya mungkin sudah berhamburan entah kemana, dan kalaupun bisa dikumpulkan paling-paling hanya bisa mencapai skor 500 – 600-an. Artinya, mereka tidak pernah bisa lulus murni penilaian portofolio. Mereka mungkin hanya bisa lulus sertifikasi melalui diklat PLPG. Guru bisa terkatung-katung laksana perahu layar di tengah lautan yang tidak mendapatkan angin alias mengalami situasi angin mati. Dari kejauhan melihat daratan hijau, yakni tunjangan profesi yang menjanjikan. Namun apa daya angin mati, tidak memiliki dokumen portofolio secara lengkap untuk bisa uji kompetensi.

SEKEDAR USUL SAJA
Menghadai dua situasi sulit yang kemungkinan (besar) akan dihadapi oleh para guru yang belum S1 namun sudah berusia tua, berpengalaman lama atau guru yang sudah IV/a, Sambil menunggu Peraturan Mendiknas tentang Uji Kompetensi untuk Guru Dalam jabatan yang Belum S1 dan/atau sudah IV/a, saya mengajukan solusi – atau sederhananya sekedar usul saja – yang mudah-mudahan dapat menjadi masukan bagi Depdiknas. Pertama, penetapan kuota guru tua yang belum S1 harus besar, sehingga dalam waktu 5 tahun semua guru tua tersebut sudah bisa mengikuti dan lulus uji kompetensi. Penetapan kuota ini terkait dengan kemampuan keuangan pemerintah untuk memberikan tunjangan profesi pendidik bagi guru tua tersebut pada tahun depan.
Kedua, tidak perlu ada uji kompetensi dengan mengumpulkan dokumen portofolio bagi guru tua atau IV/a tersebut. Kepada mereka cukup diwajibkan mengikuti diklat PLPG seperti yang diberlakukan bagi guru (S1) dalam jabatan yang tidak lulus penilaian portofolio selama ini. Mengapa saya mengusulkan tidak perlu ada uji kompetensi untuk penilaian portofolio bagi guru tua ini? Karena ada beberapa alasan : (1) untuk menghindari pemborosan dana, tenaga dan waktu. Seberapa banyak dana, tenaga dan waktu yang diperlukan oleh guru untuk menyusun dokumen portofolio? Seberapa banyak biaya yang harus disediakan pemerintah untuk penilaian portofolio khusus guru tua ini? Seberapa banyak biaya yang diperlukan untuk penyelenggaraan diklat PLPG bagi guru tua yang tidak lulus penilaian portofolio? Totalnya hingga Milyaran untuk wilayah Kaltim saja. Penilaian portofolio bagi guru-guru tua adalah pekerjaan yang “mubazir”, karena dapat dipastikan sangat sedikit guru tua yang bisa lulus. Sehingga mereka harus mengikuti diklat PLPG. Ada dua “paket” biaya yang harus dikeluarkan pemerintah : biaya penilaian portofolio, dan biaya diklat PLPG. Mengapa guru-guru tua didak disuruh langsung mengikuti diklat PLPG, sehingga tidak memboroskan dana? (2) Untuk menghindari beban yang berlebihan dan berpotensi menimbulkan stress bagi guru tua, staf disdik, dan pihak lain yang terkait. Bayangkan, setelah guru tua bersusah payah mengumpulkan dokumen portofolio dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, tokh pada akhirnya mereka harus ikut diklat PLPG – yang juga melelahkan, karena mereka tidak lulus penilaian portofolio. Mengapa guru ua tidak langsung diikutkan diklat PLPG saja? Mungkin lama waktu diklat ditambah, tidak 9 hari seperti durasi diklat PLPG untuk guru S1. Misalnya menjadi 15 hari, yang digunakan untuk pembinaan yang lebih intensif. Kalaupun pemerintah tidak punya dana, bisa saja para guru menyediakan anggaran secara mandiri untuk ikut diklat PLPG tersebut. Menurut pengalaman, guru yang mengikuti penilaian portofolio selama ini, harus mengeluarkan uang dari kantongnya 1 – 2 juta rupiah, yakni untuk fotokopi dan penjilidan dokumen-dokumen, untuk “urunan” pengurusan dan pengiriman dokumen ke LPTK, pengurusan dokumen persyaratan lain, dan macam-macam biaya tergantung “kreativitas” daerah. Ini bisa membuat stress guru.

GURU SUDAH S2 & S3 ATAU IV/C LANGSUNG DIBERI SERTIFIKAT
Angin surga ke dua diberikan kepada guru yang sudah berkualifikasi pendidikan S2 atau S3 dengan pangkat IV/b atau guru yang sudah memiliki pangkat IV/c. Pada pasal 65 butir b PP No. 74/2008 disebutkan, bahwa: b. Guru dalam jabatan diberi Sertifikat Pendidik secara langsung apabila:
1) sudah memiliki kualifikasi akademik magister (S-2) atau doktor (S-3) dari perguruan tinggi terakreditasi dalam bidang kependidikan atau bidang studi yang relevan dengan mata pelajaran atau rumpun mata pelajaran yang diampunya, atau guru kelas dan guru bimbingan dan konseling atau konselor, dengan golongan sekurang-kurangnya IV/b atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/b; atau
2) sudah mempunyai golongan serendah-rendahnya IV/c, atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/c.

Duuh, enaaaakk tenan….! Inilah penghargaan kepada guru professional sejati. Kepada guru-guru ini, pemerintah langsung memberikan sertifikat pendidik. Ini berarti tunjangan profesi sudah di depan mata. Mereka tinggal melengkapi dokumen yang diperlukan, dan langsung dapat menikmati tunjangan profesi satu kali gaji pokok selama menjadi guru sampai pensiun.
Tapi ngomong-ngomong, seberapa banyak guru di Kaltim yang akan “menikmati kemudahan” sebagaimana yang ditetapkan dalam pasal 65 butir b tersebut? Jangan-jangan guru Kaltim yang sudah S2 dan berpangkat IV/b sudah ikut sertiifikasi “reguler” tahun 2006, 2007 atau 2008 kemarin? Nah, rugi deh ! Angin surganya berubah menjadi angin mati. (Bersambung).








































ANALISIS TERHADAP PP NO. 74 TAHUN 2008 TENTANG GURU (BAGIAN 2-HABIS)

BEBAN KERJA GURU: SANKSI DAN MASALAHNYA

OLEH : NANANG RIJONO



BEBAN KERJA SEMUA GURU
Hal baru yang diatur dalam PP No. 74/2008 adalah mengenai Beban Kerja Guru. Cukup panjang peraturannya, apalagi jika dikaitkan dengan hak-hak guru berupa tunjangan profesi pendidik, tunjangan fungsional atau subsiidi tunjangan fungsional, dan maslahat tambahan lainnya.
Dalam BAB IV Pasal 52 ayat (2) disebutkan bahwa : “Beban kerja Guru … paling sedikit memenuhi 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan paling banyak 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu pada satu atau lebih satuan pendidikan yang memiliki izin pendirian dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah.” Istilah tatap muka berlaku untuk pelaksanaan beban kerja guru yang terkait dengan pelaksanaan pembelajaran. Jadi bukan hanya jam mengajar (berdiri di depan kelas) sesuai dengan jadwal mengajar.
Dalam penjelasan pasal 52 disebutkan, bahwa “Beban kerja guru untuk melaksanakan pembelajaran paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan paling banyak 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu tersebut merupakan bagian jam kerja dari jam kerja sebagai pegawai yang secara keseluruhan paling sedikit 37,5 (tiga puluh tujuh koma lima) jam kerja dalam 1 (satu) minggu.
Guru Tetap yang tidak dapat memenuhi beban kerja paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan paling banyak 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu pada satuan pendidikan di mana dia diangkat sebagai Guru Tetap, dapat memenuhi beban kerjanya dengan mengajar di sekolah atau madrasah sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya.
Dengan demikian, semua guru, baik guru PNS maupun guru Non-PNS, baik yang sudah ikut sertifikasi atau yang belum ikut sertifikasi, diwajibkan untuk memenuhi beban kerja minimal 24 jam tatap muka (JTM) perminggu. Kalau tidak bisa memenuhi beban kerja minimal 24 JTM per minggu – apalagi dengan sengaja tidak mau menerima beban kerja minimal 24 JTM per minggu – maka guru bisa dikenai sanksi.
Apa sanksinya? Berdasarkan Pasal 63 ayat (2) PP No. 74/2008 dinyatakan “Guru yang tidak dapat memenuhi kewajiban melaksanakan pembelajaran 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan tidak mendapat pengecualian dari Menteri dihilangkan haknya untuk mendapat tunjangan profesi, tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional, dan maslahat tambahan”. Woow! Dihilangkan haknya untuk mendapatkan tunjangan-tunjangan! Sungguh masuk akal jika Pemerintah mengancam dengan sanksi seperti ini. Pasalnya, Pemerintah tidak ingin mengeluarkan uang secara percuma tanpa ada “balas jasa” dari para guru yang mendapatkan berbagai tunjangan tersebut. Sehingga semua guru harus memiliki beban kerja minimal 24 JTM per minggu.
Demikian pula, guru diwajibkan hadir di sekolah selama 37,5 per minggu atau rata-rata 6,5 jam per hari, baik ada jam mengajar atau tidak. Ini adalah ketentuan normatif jam kerja guru sebagai PNS dan/atau sebagai guru yang sudah diberi tunjangan profesi (bagi guru yang sudah disertifikasi), tunjangan fungsional (bagi guru PNS) atau subsidi tunjangan fungsional (bagi guru Non-PNS), atau maslahat tambahan dari pemerintah pusat atau daerah (misalnya insentif dari Pemda, fasilitas perumahan atau kendaraan dinas, dll.).

ALOKASI BEBAN KERJA GURU
Sesuai dengan pasal 52 ayat (1), beban kerja “guru biasa” yang tidak mendapatkan tugas tambahan atau memiliki jabatan tertentu di sekolah, beban kerja 24 JTM per minggu ini dialokasikan untuk kegiatan pokok (catatan: dalam kurung, cetak miring dari penulis):
a. merencanakan pembelajaran (menyusun silabus dan RPP mata pelajaran yang diasuhnya);
b. melaksanakan pembelajaran (sesuai dengan jadwal pelajaran di sekolah tempat guru mengajar sebagai tetap atau di sekolah lain yang ditentukan) ;
c. menilai hasil pembelajaran (mulai dari menyusun soal dan instrumen penilaian, melaksanakan penilaian, memberikan skor dan mengolah dan menganalisis hasil penilaian);
d. membimbing dan melatih peserta didik (melaksanakan pembelajaran remedial atau ppengayaan bagi siswa yang memerlukan sesuai hasil penilaian guru); dan
e. melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai dengan beban kerja Guru. Dalam penjelasan pasal 52 ayat (1) butir e disebutkan bahwa, “Yang dimaksud dengan “tugas tambahan”, misalnya menjadi pembina pramuka, pembimbing kegiatan karya ilmiah remaja, dan guru piket”.
Dalam buku biru Pedoman Penghitungan Beban Kerja Guru – yang dikkeluarkan oleh Depdiknas sebelum keluarnya PP no. 74/2008 – disebutkan bahwa setiap kegiatan pembelajaran untuk merencanakan pembelajaran, menilai hasil belajar, membimbing dan melatih siswa dihargai setara (ekuivalen) dengan 2 JTM. Total kegiatan bukan mengajar adalah 6 jam per minggu. Dengan demikian jumlah jam mengajar tatap muka (berdiri di depan kelas) minimal 18 jam per minggu.

Alokasi beban kerja wajib bagi guru yang mendapat tugas tambahan sesuai dengan Pasal 54 ayat (1) s.d. ayat (8) dapat diringkas dalam tabel berikut:

NO TUGAS TAMBAHAN GURU BEBAN KERJA
(MINIMAL) KETERANGAN
1 Kepala Sekolah 6 JTM Membimbing 40 orang siswa (bagi berlatar BK)
2 Wakil Kepala Sekolah 12 JTM Membimbing 80 orang siswa (bagi berlatar BK)
3 Kepala Program Keahlian 12 JTM
4 Kepala Perpustakaan sekolah 12 JTM
5 Kepala laboratorium, bengkel, unit ptoduksi 12 JTM
6 Guru Bimbingan Konseling 150 org siswa
7 Pembimbing khusus(PLB) 12 JTM
Sumber : PP No. 74/2008 Pasal 54


Ada pengaturan yang semakin jelas tentang beban kerja guru yang menjadi kepala sekolah. Selama ini beban kerja 6 JTM bagi kepala sekolah digunakan untuk melaksanakan tugas BK, bukan mengajar sesuai dengan ijazah/keahliannya. Padahal kepala sekolah tersebut bukan berlatar belakang pendidikan BK. Sekarang, sesuai dengan PP No. 74/2008, Kepala sekolah wajib mengajar (minimal 6 JTM) sesuai dengan keahliannya dan harus melaksanakan kegiatan non-mengajar: merencanakan pembelajaran, menilai hasil belajar, membimbing dan melatih siswa – sebagaimana yang dilaksanakan oleh guru mata pelajaran lain. Akan tetapi, manakala kepala sekolah tersebut berlatar belakang BK, maka dia boleh tidak mengajar, melainkan melaksanakan tugas membimbing minimal 40 orang siswa. Sebagai konsekuensinya, guru harus membuat rencana program bimbingan, membuat laporan pelaksanaan BK dll.
Dalam penjelasan pasal 56 tentang tugas guru BK disebutkan, bahwa “Yang dimaksud dengan “mengampu layanan bimbingan dan konseling” adalah pemberian perhatian, pengarahan, pengendalian, dan pengawasan kepada sekurang-kurangnya 150 (seratus lima puluh) peserta didik, yang dapat dilaksanakan dalam bentuk pelayanan tatap muka terjadwal di kelas dan layanan perseorangan atau kelompok bagi yang dianggap perlu dan yang memerlukan.” Sehingga kepala sekolah atau wakil kepala sekolah yang berlatar belakang BK harus melaksanakan tugas yang sama dengan guru BK.

KEKURANGAN BEBAN KERJA
Ada kemungkinan guru mata pelajaran tertentu tidak bisa memenuhi tuntutan beban kerja minimal 24 JTM per minggu walaupun sudah setengah mati berusaha mencari beban kerja di sekolahnya. Hal ini terjadi karena beberapa penyebab : (1) sekolah tsb. adalah sekolah kecil dan berada di daerah pinggiran, terpencil atau pedalaman, sehingga guru hanya mengajar pada sedikit rombel. (2) jumlah guru mapel tertentu di sekolah tsb. banyak atau berlebih, sehingga jam mengajar harus dibagi ke beberapa orang guru. (3) jumlah jam pelajaran dalam kurikulum untuk mapel tertentu memang sedikit, dan (4) tugas tambahan sudah “habis” diberikan kepada guru yang memenuhi syarat tertentu.
Menyadari hal tersebut, Depdiknas sudah menawarkan beberapa solusi yang mungkin bisa ditempuh sekolah dan/atau guru, yaitu: (1) guru yang jumlah beban kerjanya sedikit ditugaskan mengajar pada mapel yang sama di sekolah lain – dengan mengikuti prosedur tertentu, sehingga jumlah kekurangan beban kerja dapat terpenuhi. (2) guru diberi tugas tambahan menjadi pamong belajar di SMP Terbuka atau tutor kelompok belajar Paket A, B atau C – yang masing-masing dihargai setara dengan 2 JTM. (3) Melaksanakan program remedial dan pengayaan khusus bagi siswa yang memerlukan, sesuai dengan rancangan program yang disusun sekolah. (4) Melaksanakan pembelajaran tim (team teaching) sesuai dengan karakteristik kurikulum sekolah.
Bagaimana jika setelah dicoba mencari beberapa solusi ternyata tidak memungkinkan lagi menambah beban kerja bagi guru-guru tertentu? Barangkali hanya dispensasi dari Mendiknas saja yang bisa menyelamatkan guru tersebut.

HAK GURU TERKAIT BEBAN KERJA
Tunjangan profesi, tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional, dan maslahat tambahan merupakan sebagian dari hak guru yang diatur dalam PP No. 74/2008. Namun ternyata pemberian tunjjangan dan maslahat tersebut dikaitkan dengan terpenuhinya beban kerja guru minimal 24 JTM per minggu. Jika guru ternyata tidak memenuhi kewajiban melaksanakan beban kerja minimal 24 JTM, maka dapat dikenakan sansksi sesuai Pasal 63 ayat (2) di atas.
Secara umum pemberian tunjangan-tunjangan dan maslahat tambahan kepada guru diatur pada pasal 15 (tunjangan profesi), pasal 19 (tunjangan fungsional dan subsiidi tunjangan fungsional) dan pasal 24 ayat (6) (maslahat tambahan). Tunjangan-tunjangan tersebut diberikan kepada Guru yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki satu atau lebih Sertifikat Pendidik yang telah diberi satu nomor registrasi Guru oleh Departemen;
b. memenuhi beban kerja sebagai Guru;
c. mengajar sebagai Guru mata pelajaran dan/atau Guru kelas pada satuan pendidikan yang sesuai dengan peruntukan Sertifikat Pendidik yang dimilikinya;
d. terdaftar pada Departemen sebagai Guru Tetap;
e. berusia paling tinggi 60 (enam puluh) tahun; dan
f. tidak terikat sebagai tenaga tetap pada instansi selain satuan pendidikan tempat bertugas.

Khusus untuk pemberian tunjangan profesi pendidik, Pasal 17 ayat (1) PP No. 74/2008 menetapkan rasio minimal guru dan murid di sekolah. Disebutkan bahwa “Guru Tetap pemegang Sertifikat Pendidik berhak mendapatkan tunjangan profesi apabila mengajar di satuan pendidikan yang rasio minimal jumlah peserta didik terhadap Gurunya sebagai berikut:
a. untuk TK, RA, atau yang sederajat 15:1;
b. untuk SD atau yang sederajat 20:1;
c. untuk MI atau yang sederajat 15:1;
d. untuk SMP atau yang sederajat 20:1;
e. untuk MTs atau yang sederajat 15:1;
f. untuk SMA atau yang sederajat 20:1;
g. untuk MA atau yang sederajat 15:1;
h. untuk SMK atau yang sederajat 15:1; dan
i. untuk MAK atau yang sederajat 12:1.

Di sini terlihat bahwa paradigma yang dianut Pemerintah dalam pemberian tunjangan-tunjangan atau maslahat tambahan adalah profesionalisme atau prestasi kerja, bukan kesejahteraan. Artinya, manakala guru telah menunjukkan profesionalismenya, atau telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan kewajibannya, maka dia diberi hak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemberian tunjangan-tunjangan ini dengan sendirinya akan dapat meningkatkan kesejahteraan guru.
Dengan menggunakan paradigma kinerja, prestasi kerja atau profesionalitas ini menyiratkan pemerintah akan melakukan penilaian kinerja secara lebih ketat kepada para guru. Guru akan dinilai kinerjanya dengan pertama-melihat apakan beban kerjanya sudah memenuhi ketentuan minimal 24 JTM atau belum. Selanjutnya akan dinilai, apakah guru setiap semester membuat (atau minimal merevisi) silabus dan RPP dari mata pelajaran yang diasuhnya? apakah guru memiliki kumpulan soal dan instrumen penilaian, memiliki rekaman hasil pembelajaran, menganalisis hasil pembelajaran? Apakah guru menyusun program remedial bagi siswa yang belum tuntas KKM-nya atau membuat program pengayaan bagi siswa pintar? Pada kesempatan berikutnya, saya prediksikan guru akan dinilai aktivitas pengembangan profesi dan prestasi akademiknya, serta aktivitas dalam organisiasi dan di sekolah. Jadi, dengan diberikan tunjangan yang besar, maka guru dituntut untuk bekerja lebih keras dengan menunjukkan prestasi dan kinerja yang lebih baik. Bahkan tunjangan atau maslahat tambahan tersebut dapat “dipaksakan" agar dialokasikan untuk kepentingan peningkatan karir dan kualitas diri secara mandiri.Misalnya sebagian digunakan untuk membeli buku teks atau referensi, untuk mengikuti kegiatan ilmiah, pelatihan, atau melaksanakan penelitian (PTK), dsb.
Tuntutan akan kinerja lebih tinggi dan prestasi lebih baik dari guru ini, tidak akan bisa diminta jika pemerintah menggunakan paradigm kesejahteraan. Guru pun bisa menjadi lembek dan selalu berdalih, bahwa tunjangan atau maslahat yang diterima hanya cukup untuk hidup sederhana, pas-pasan. “Jangankan untuk meningkatkan karir atau kualitas diri, untuk makan dan kebutuhan sehari-hari saja masih pas-pasan”, dalih guru. Bahkan kalau perlu, pemerintah memberikan tunjangan atau insentif yang lebih besar lagi agar hidup guru menjadi lebih mewah, di samping tetap menyediakan buku, pelatihan, pertemuan ilmiah secara gratis, atau bantuan penelitian. Kalau sudah demikian, repot pot… pot… pot…! (HABIS)










ANALISIS TERHADAP PP NO. 74 TAHUN 2008 TENTANG GURU (BAGIAN 3-HABIS)

SERTIFIKASI MELALUI PENDIDIKAN PROFESI

OLEH : NANANG RIJONO



GURU wajib memiliki Kualifikasi Akademik, kompetensi, Sertifikat Pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi yang dimaksud merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh Guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Kompetensi Guru tersebut meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Di samping itu, guru juga harus memiliki sertifikat pendidik. Sertifikat Pendidik bagi Guru diperoleh melalui program pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi, baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun Masyarakat, dan ditetapkan oleh Pemerintah. Program pendidikan profesi tersebut hanya diikuti oleh peserta didik yang telah memiliki Kualifikasi Akademik S-1 atau D-IV sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Kualifikasi Akademik Guru tersebut ditunjukkan dengan ijazah yang merefleksikan kemampuan yang dipersyaratkan bagi Guru untuk melaksanakan tugas sebagai pendidik pada jenjang, jenis, dan satuan pendidikan atau mata pelajaran yang diampunya sesuai dengan standar nasional pendidikan. Kualifikasi Akademik ini diperoleh melalui pendidikan tinggi program S-1 atau program D-IV pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan tenaga kependidikan dan/atau program pendidikan nonkependidikan.


Kualifikasi Akademik Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bagi calon Guru dipenuhi sebelum yang bersangkutan diangkat menjadi Guru.

Kualifikasi Akademik Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bagi Guru Dalam Jabatan yang belum memenuhinya, dapat dipenuhi melalui:
(5) pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2); atau
(6) pengakuan hasil belajar mandiri yang diukur melalui uji kesetaraan yang dilaksanakan melalui ujian komprehensif oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.
Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a memperhatikan:
a. pelatihan Guru dengan memperhitungkan ekuivalensi satuan kredit semesternya;
b. prestasi akademik yang diakui dan diperhitungkan ekuivalensi satuan kredit semesternya; dan/atau
c. pengalaman mengajar dengan masa bakti dan prestasi tertentu.
Guru Dalam Jabatan yang mengikuti pendidikan dan uji kesetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), baik yang dibiayai Pemerintah, Pemerintah Daerah, maupun biaya sendiri, dilaksanakan dengan tetap melaksanakan tugasnya sebagai Guru.
(1) Menteri dapat menetapkan aturan khusus bagi Guru Dalam Jabatan dalam memenuhi Kualifikasi Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas dasar pertimbangan:
a. kondisi Daerah Khusus; dan/atau
b. ketidakseimbangan yang mencolok antara kebutuhan dan ketersediaan Guru menurut bidang tugas.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Kualifikasi Akademik, pendidikan, dan uji kesetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri.




Pasal 6
(1) Program pendidikan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 memiliki beban belajar yang diatur berdasarkan persyaratan latar belakang bidang keilmuan dan satuan pendidikan tempat penugasan.
(2) Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menjadi Guru pada satuan pendidikan TK atau RA atau TKLB atau bentuk lain yang sederajat yang berlatar belakang S-1 atau D-IV kependidikan untuk TK atau RA atau TKLB atau bentuk lain yang sederajat adalah 18 (delapan belas) sampai dengan 20 (dua puluh) satuan kredit semester.
(3) Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menjadi Guru pada satuan pendidikan SD atau MI atau SDLB atau bentuk lain yang sederajat yang berlatar belakang S-1 atau D-IV kependidikan untuk SD atau MI atau SDLB atau bentuk lain yang sederajat adalah 18 (delapan belas) sampai dengan 20 (dua puluh) satuan kredit semester.
(4) Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menjadi Guru pada satuan pendidikan TK atau RA atau TKLB atau bentuk lain yang sederajat yang berlatar belakang S-1 atau D-IV kependidikan selain untuk TK atau RA atau TKLB atau bentuk lain yang sederajat adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan kredit semester.
(5) Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menjadi Guru pada satuan pendidikan SD atau MI atau SDLB atau bentuk lain yang sederajat yang berlatar belakang S-1 atau D-IV kependidikan selain untuk SD atau MI atau SDLB atau bentuk lain yang sederajat adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan kredit semester.
(6) Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menjadi Guru pada satuan pendidikan TK atau RA atau TKLB atau bentuk lain yang sederajat dan pada satuan pendidikan SD atau MI atau SDLB atau bentuk lain yang sederajat yang berlatar belakang sarjana psikologi adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan kredit semester.
(7) Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menjadi Guru pada satuan pendidikan SMP atau MTs atau SMPLB atau bentuk lain yang sederajat dan satuan pendidikan SMA atau MA atau SMALB atau SMK atau MAK atau bentuk lain yang sederajat, baik yang berlatar belakang S-1 atau diploma empat D-IV kependidikan maupun S-1 atau D-IV nonkependidikan adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan kredit semester.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur dalam kerangka dasar dan struktur kurikulum oleh perguruan tinggi penyelenggara pendidikan profesi yang mengacu pada standar nasional pendidikan.

Pasal 7
(1) Muatan belajar pendidikan profesi meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
(2) Bobot muatan belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan latar belakang pendidikan sebagai berikut:
a. untuk lulusan program S-1 atau D-IV kependidikan dititikberatkan pada penguatan kompetensi profesional; dan
b. untuk lulusan program S-1 atau D-IV nonkependidikan dititikberatkan pada pengembangan kompetensi pedagogik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam kerangka dasar dan struktur kurikulum oleh perguruan tinggi penyelenggara pendidikan profesi yang mengacu pada standar nasional pendidikan.

Pasal 8
Sertifikasi Pendidik bagi calon Guru harus dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel.

Pasal 9
(2) Jumlah peserta didik program pendidikan profesi setiap tahun ditetapkan oleh Menteri.
(3) Program pendidikan profesi diakhiri dengan uji kompetensi pendidik.
(4) Uji kompetensi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melalui ujian tertulis dan ujian kinerja sesuai dengan standar kompetensi.
(5) Ujian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan secara komprehensif yang mencakup penguasaan:
a. wawasan atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik, pengembangan kurikulum atau silabus, perancangan pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar;
b. materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi mata pelajaran, kelompok mata pelajaran, dan/atau program yang diampunya; dan
c. konsep-konsep disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang secara konseptual menaungi materi pelajaran, kelompok mata pelajaran, dan/atau program yang diampunya.
(6) Ujian kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan secara holistik dalam bentuk ujian praktik pembelajaran yang mencerminkan penguasaan kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional pada satuan pendidikan yang relevan.

Pasal 10
(1) Sertifikat Pendidik bagi calon Guru dipenuhi sebelum yang bersangkutan diangkat menjadi Guru.
(2) Calon Guru yang tidak memiliki Sertifikat Pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat diangkat menjadi pendidik setelah lulus uji kelayakan.
(3) Calon Guru yang tidak memiliki Sertifikat Pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi diperlukan oleh Daerah Khusus yang membutuhkan Guru dapat diangkat menjadi pendidik setelah lulus uji kelayakan.
(4) Sertifikat Pendidik sah berlaku untuk melaksanakan tugas sebagai Guru setelah mendapat nomor registrasi Guru dari Departemen.
(5) Calon Guru dapat memperoleh lebih dari satu Sertifikat Pendidik, tetapi hanya dengan satu nomor registrasi Guru dari Departemen.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan uji kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 11
Sertifikat Pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diperoleh Guru berlaku selama yang bersangkutan melaksanakan tugas sebagai Guru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 13
(1) Perguruan tinggi penyelenggara pendidikan profesi ditetapkan oleh Menteri dengan kriteria:
i. memiliki program studi yang relevan dan terakreditasi;
ii. memiliki pendidik dan tenaga kependidikan yang sesuai dengan standar nasional pendidikan; dan
(7) memiliki sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai sesuai dengan standar nasional pendidikan.
(2) Selain kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menetapkan kriteria tambahan yang diperlukan untuk penetapan perguruan tinggi penyelenggara pendidikan profesi atas dasar pertimbangan:
i. tercapainya pemerataan cakupan pelayanan penyelenggaraan pendidikan profesi;
ii. letak dan kondisi geografis; dan/atau
iii. kondisi sosial-ekonomi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.














BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
2. Kualifikasi Akademik adalah ijazah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh Guru sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan.
3. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk Guru.
4. Sertifikat Pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada Guru sebagai tenaga profesional.
5. Gaji adalah hak yang diterima oleh Guru atas pekerjaannya dari penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan dalam bentuk finansial secara berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
6. Organisasi Profesi Guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh Guru untuk mengembangkan profesionalitas Guru.
7. Perjanjian Kerja atau Kesepakatan Kerja Bersama adalah perjanjian tertulis antara Guru dan penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang memuat syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban para pihak dengan prinsip kesetaraan dan kesejawatan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
8. Guru Tetap adalah Guru yang diangkat oleh emerintah, Pemerintah Daerah, penyelenggara pendidikan, atau satuan pendidikan untuk jangka waktu paling singkat 2 (dua) tahun secara terusmenerus, dan tercatat pada satuan administrasi pangkal di satuan pendidikan yang memiliki izin pendirian dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah serta melaksanakan tugas pokok sebagai Guru.
9. Guru Dalam Jabatan adalah Guru pegawai negeri sipil dan Guru bukan pegawai negeri sipil yang sudah mengajar pada satuan pendidikan, baik yang diselenggarakan Pemerintah, Pemerintah Daerah, maupun penyelenggara pendidikan yang sudah mempunyai Perjanjian Kerja atau Kesepakatan Kerja Bersama.
10. Pemutusan Hubungan Kerja atau Pemberhentian Kerja adalah pengakhiran Perjanjian Kerja atau Kesepakatan Kerja Bersama Guru karena suatu hal yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara Guru dan penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
11. Taman Kanak-kanak yang selanjutnya disingkat TK adalah salah satu bentuk satuan Pendidikan Anak Usia Dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun.
12. Raudhatul Athfal yang selanjutnya disingkat RA dan Bustanul Athfal yang selanjutnya disebut BA adalah salah satu bentuk satuan Pendidikan Anak Usia Dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan dengan kekhasan agama Islam bagi anak berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun.
13. Pendidikan Dasar adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan formal yang melandasi jenjang pendidikan menengah yang diselenggarakan pada satuan pendidikan yang berbentuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang sederajat serta menjadi satu kesatuan kelanjutan pendidikan pada satuan pendidikan yang berbentuk Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah, atau bentuk lain yang sederajat.
14. Sekolah Dasar yang selanjutnya disingkat SD adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang Pendidikan Dasar.
15. Madrasah Ibtidaiyah yang selanjutnya disingkat MI adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang Pendidikan Dasar.
16. Sekolah Menengah Pertama yang selanjutnya disingkat SMP adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang Pendidikan Dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SD atau MI.
17. Madrasah Tsanawiyah yang selanjutnya disingkat MTs adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang Pendidikan Dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SD atau MI.
18. Pendidikan Menengah adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan formal yang merupakan lanjutan Pendidikan Dasar, berbentuk Sekolah Menengah Atas, Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan, dan Madrasah Aliyah Kejuruan atau bentuk lain yang sederajat.
19. Sekolah Menengah Atas yang selanjutnya disingkat SMA adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang Pendidikan Menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.
20. Madrasah Aliyah yang selanjutnya disingkat MA adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang Pendidikan Menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.
21. Sekolah Menengah Kejuruan yang selanjutnya disingkat SMK adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada jenjang Pendidikan Menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.
22. Madrasah Aliyah Kejuruan yang selanjutnya disebut MAK adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan dengan kekhasan agama Islam pada jenjang Pendidikan Menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.
23. Sarjana yang selanjutnya disingkat S-1.
24. Diploma Empat yang selanjutnya disingkat D-IV
25. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
26. Pemerintah Daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota.
27. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia non Pemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
28. Daerah Khusus adalah daerah yang terpencil atau terbelakang, daerah dengan kondisi masyarakat adapt yang terpencil, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah yang mengalami bencana alam, bencana sosial, atau daerah yang berada dalam keadaan darurat lain.
29. Departemen adalah departemen yang menangani urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan nasional.
30. Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan nasional.

Pasal 12
b. Guru Dalam Jabatan yang telah memiliki Kualifikasi Akademik S-1 atau D-IV dapat langsung mengikuti uji kompetensi untuk memperoleh Sertifikat Pendidik.
c. Jumlah peserta uji kompetensi pendidik setiap tahun ditetapkan oleh Menteri.
d. Uji kompetensi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk penilaian portofolio.
e. Penilaian portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan pengakuan atas pengalaman professional Guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mendeskripsikan:
a. Kualifikasi Akademik;
b. pendidikan dan pelatihan;
c. pengalaman mengajar;
d. perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran;
e. penilaian dari atasan dan pengawas;
f. prestasi akademik;
g. karya pengembangan profesi;
h. keikutsertaan dalam forum ilmiah;
i. pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial; dan
j. penghargaan yang relevan dengan bidang kependidikan.
f. Dalam penilaian portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Guru Dalam Jabatan yang belum mencapai persyaratan uji kompetensi untuk memperoleh Sertifikat Pendidik diberi kesempatan untuk:
b. melengkapi persyaratan portofolio; atau
c. mengikuti pendidikan dan pelatihan di perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah.
g. Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kompetensi dan penilaian portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga
Anggaran Peningkatan Kualifikasi Akademik
dan Sertifikasi Pendidik bagi Guru Dalam Jabatan

Pasal 14
(1) Pemerintah menyediakan anggaran untuk peningkatan Kualifikasi Akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) bagi Guru Dalam Jabatan yang diangkat pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah.
(2) Pemerintah provinsi menyediakan anggaran untuk peningkatan Kualifikasi Akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) bagi Guru Dalam Jabatan yang diangkat pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah provinsi.
(3) Pemerintah kabupaten atau pemerintah kota menyediakan anggaran untuk peningkatan Kualifikasi Akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) bagi Guru Dalam Jabatan yang diangkat pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten atau pemerintah kota.
(4) Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten atau pemerintah kota menyediakan anggaran peningkatan Kualifikasi Akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) bagi Guru Dalam Jabatan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Masyarakat.
(5) Guru Dalam Jabatan yang mendapatkan kesempatan peningkatan Kualifikasi Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tetap memperoleh tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional.
(6) Besarnya anggaran dan beban yang ditanggung Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten atau pemerintah kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(7) Pemerintah menyediakan anggaran uji kompetensi untuk memperoleh Sertifikat Pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) bagi Guru Dalam Jabatan yang diangkat pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah.
(8) Pemerintah Daerah, sesuai dengan kewenangan masing-masing, menyediakan anggaran uji kompetensi untuk memperoleh Sertifikat Pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) bagi Guru Dalam Jabatan yang diangkat pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
(9) Pemerintah dan Pemerintah Daerah, sesuai dengan kewenangan masing-masing, menyediakan anggaran uji kompetensi untuk memperoleh Sertifikat Pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) bagi Guru Dalam Jabatan yang diangkat pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Masyarakat.

BAB III
HAK

Bagian Ketigabelas
Pengembangan dan Peningkatan Kualifikasi Akademik,
Kompetensi, dan Keprofesian Guru

Pasal 46
Guru memiliki kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan Kualifikasi Akademik dan kompetensinya, serta untuk memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.

Pasal 47
(1) Pengembangan dan peningkatan Kualifikasi Akademik bagi Guru yang belum memenuhi kualifikasi S-1 atau D-IV dilakukan dalam rangka memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
(2) Guru yang sudah memenuhi kualifikasi S-1 atau D-IV dapat melakukan pengembangan dan peningkatan Kualifikasi Akademik lebih tinggi dari yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
(3) Pengembangan dan peningkatan kompetensi bagi Guru yang belum memiliki Sertifikat Pendidik dilakukan dalam rangka memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(4) Pengembangan dan peningkatan kompetensi bagi Guru yang sudah memiliki Sertifikat Pendidik dilakukan dalam rangka menjaga agar kompetensi keprofesiannya tetap sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya dan/atau olah raga.
(5) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyediakan anggaran untuk pengembangan dan peningkatan Kualifikasi Akademik dan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4).


Pasal 48
(1) Pengembangan dan peningkatan kompetensi Guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (4) dilakukan melalui sistem pembinaan dan pengembangan keprofesian Guru berkelanjutan yang dikaitkan dengan perolehan angka kredit jabatan fungsional.
(2) Kegiatan untuk memperoleh angka kredit jabatan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh Guru sekurang-kurangnya melalui:
a. kegiatan kolektif Guru yang meningkatkan kompetensi dan/atau keprofesian Guru;
b. pendidikan dan pelatihan;
c. pemagangan;
b. publikasi ilmiah atas hasil penelitian atau gagasan inovatif;
c. karya inovatif;
d. presentasi pada forum ilmiah;
e. publikasi buku teks pelajaran yang lolos penilaian oleh Badan Standar Nasional Pendidikan;
f. publikasi buku pengayaan;
g. publikasi buku pedoman Guru;
h. publikasi pengalaman lapangan pada pendidikan khusus dan/atau pendidikan layanan khusus; dan/atau
i. penghargaan atas prestasi atau dedikasi sebagai Guru yang diberikan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem pembinaan dan pengembangan keprofesian Guru berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 49
Pengembangan dan peningkatan Kualifikasi Akademik, kompetensi, dan keprofesian Guru oleh Guru Dalam Jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 48 dilakukan dengan tetap melaksanakan tugasnya.

Bagian Keempatbelas
Cuti

Pasal 50
(1) Guru yang diangkat Pemerintah atau Pemerintah Daerah berhak memperoleh cuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Guru yang diangkat satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Masyarakat berhak memperoleh cuti sesuai dengan Perjanjian Kerja atau Kesepakatan Kerja Bersama.

Pasal 51
(1) Selain cuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Guru dapat memperoleh cuti studi yang bertujuan untuk pengembangan keprofesian, paling lama 6 (enam) bulan dengan tetap memperoleh hak gaji penuh.
(2) Cuti studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Guru yang telah memenuhi Kualifikasi Akademik dan telah memiliki Sertifikat Pendidik.
(3) Cuti studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara periodik kepada Guru setiap 6 (enam) tahun dihitung sejak yang bersangkutan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Cuti studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh Guru untuk:
a. penelitian;
b. penulisan buku;
c. praktik kerja di dunia industri atau usaha yang relevan dengan tugasnya;
d. pelatihan yang relevan dengan tugasnya;
e. pengabdian kepada masyarakat; dan/atau
f. magang pada satuan pendidikan lain atas inisiatif sendiri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai cuti studi untuk pengembangan keprofesian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB IV
BEBAN KERJA



BAB VII
SANKSI

Pasal 63
(1) Guru yang tidak dapat memenuhi Kualifikasi Akademik, kompetensi, dan Sertifikat Pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk memenuhinya, kehilangan hak untuk mendapat tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional, dan maslahat tambahan.
(2)
(3) Guru dan/atau warga negara Indonesia selain Guru yang memenuhi Kualifikasi Akademik dan kompetensi untuk melaksanakan tugas sebagai Guru yang menolak wajib kerja di Daerah Khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 55 dapat dikenai sanksi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berupa:
a. penundaan kenaikan pangkat dan jabatan selama 1 (satu) tahun bagi Guru;
b. pencabutan tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional selama 2 (dua) tahun bagi Guru; atau
c. pencabutan hak untuk menjadi Guru selama 4 (empat) tahun bagi warga negara Indonesia selain Guru.
(4) Guru yang telah melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) tetapi mengingkari pernyataan tertulisnya dikenai sanksi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berupa:
a. penundaan kenaikan pangkat atau jabatan selama 4 (empat) tahun;
b. penghentian pemberian tunjangan profesi selama 4 (empat) tahun;
c. penghentian pemberian tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional selama 4 (empat) tahun; atau
d. penghentian pemberian maslahat tambahan selama 4 (empat) tahun.
(5) Guru yang terbukti memperoleh Kualifikasi Akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) sampai dengan ayat (7) dan/atau Sertifikat Pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan cara melawan hukum diberhentikan sebagai Guru dan wajib mengembalikan seluruh tunjangan profesi, tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional, dan penghargaan sebagai Guru yang pernah diterima.

Pasal 64
Perguruan tinggi yang sudah ditetapkan sebagai penyelenggara pendidikan profesi tetapi berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh Departemen tidak memenuhi lagi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dapat dicabut kewenangannya untuk menyelenggarakan pendidikan profesi oleh Menteri.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 65
Dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen:
a. Guru Dalam Jabatan yang belum memiliki Sertifikat Pendidik memperoleh tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional dan maslahat tambahan;
b. Guru dalam jabatan diberi Sertifikat Pendidik secara langsung apabila:

3) sudah memiliki kualifikasi akademik magister (S-2) atau doktor (S-3) dari perguruan tinggi terakreditasi dalam bidang kependidikan atau bidang studi yang relevan dengan mata pelajaran atau rumpun mata pelajaran yang diampunya, atau guru kelas dan guru bimbingan dan konseling atau konselor, dengan golongan sekurang-kurangnya IV/b atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/b; atau
4) sudah mempunyai golongan serendah-rendahnya IV/c, atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/c.
5) Guru dalam jabatan yang telah memiliki Kualifikasi Akademik S-1 atau D-IV yang tidak sesuai dengan mata pelajaran, rumpun mata pelajaran, atau satuan pendidikan yang diampunya, keikutsertaannya dalam pendidikan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 atau uji kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 yang diikutinya dilakukan berdasarkan mata pelajaran, rumpun mata pelajaran, dan/atau satuan pendidikan yang diampunya;
6) Guru yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (3) pada satuan pendidikan yang belum memenuhi ketentuan rasio peserta didik terhadap Guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 tetap menerima tunjangan profesi.

Pasal 66

Pasal 67
Pengawas satuan pendidikan selain Guru yang diangkat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini diberi kesempatan dalam waktu 5 (lima) tahun untuk memperoleh Sertifikat Pendidik.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 68
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Desember 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO