THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Kamis, 03 Desember 2009

PASCA PERMENDIKNAS NO 39 TAHUN 2009:

MISTERI DI BALIK 24 JTM

Oleh : Nanang Rijono

PERMENDIKNAS Nomor 39 Tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan telah ditetapkan ioleh Mendiknas Bambang Sudibyo pada akhir Juli 2009. Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, meskipun ada beberapa pasal yang penerapannya masih menunggu peraturan pelaksanaan lebih lajut dari PMPTK dan peraturan dari pemerintah kabupaten/ kota. Peraturan (petunjuk) pelaksanaan yang masih ditunggu-tunggu saat ini adalah pedoman penghitungan ekuivalensi beban kerja guru dalam melaksanakan 13 (tiga belas) atau 8 (delapan) macam kegiatan yang bisa diperhitungkan untuk memenuhi kekurangan beban kerja guru., sebagaimana diatur dalam pasal 3 dan 5 Permendiknas no. 39 Tahun 2009 tersebut.

Tanpa ada petunjuk pelaksanaan dari Dirjen PMPTK tersebut, maka para guru yang kekurangan beban mengajar pada semester 1 tahun pelajaran 2009/2010 akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajibannya melaksanakan tugas mengajar 24 JTM. Sebagai konsekuensinya, para guru ini akan kehilangan haknya untuk menerima tunjangan profesi, tunjangan fungsional, subsidi tunjangan fungsional dan maslahat khusus, termasuk insentif dari daerah, sebagaimana diatur dalam PP No. 74 Tahun 2008 pasal 63.

BEGITU SULITKAH?
Beberapa rekan guru dalam berbagai kesempatan mempertanyakian Permendiknas No. 39 Tahun 2009 ini kepada saya. Menurut mereka untuk memenuhi beban kerja minimal 24 JTM itu ternyata begitu sulit – meskipun sudah ada Peraturan Menterinya. Dikatakannya, bahwa di wilayah perkotaan secara umum terjadi kelebihan guru. Kalau menggunakan ketentuan dari PP no. 74 Tahun 2009, pasal 17, maka secara umum hampir semua sekolah di perkotaan mengalami kelebihan guru. Pada pasal 17 tersebut diatur rasio guru dan siswa 1: 20 orang untuk sekolah (umum) dan 1 : 15 untuk madrasah, agar guru bisa mendapatkan tunjangan profesinya. Berdasarkan pasal 17 tersebut, maka hampir semua sekolah di kota Samarinda atau Balikpapan akan kelebihan gturu. Sebuah sekolah dengan murid 720 orang hanya memerlukan 36 orang guru, padahal kenyataannya di sekolah tersebut terdapat 50 orang guru. Sekolah ini berpotensi kelebihan 14 orang guru. Bagaimana dengan sekolah kecil, yang misalnya hanya memiliki 120 orang siswa atau kurang? Maka paling banyak guru di sekolah tersebut hanya 5 – 6 orang. Dengan demikian, guru yang sudah disertifikasi di sekolah yang kelebihan guru tersebut akan berpotensi tidak diberi tunjangan profesi. Padahal jumlah sekolah yang seperti ini di Kaltim sangat banyak. Hal ini saya sebut sebagai misteri pertama dalam pemberian tunjangan profesi kepada guru-guru yang lulus sertifikaksi: “jika guru yang sudah lulus sertifikasi tidak bisa menunjukkan bahwa dirinya mengajar di sekolah yang memiliki rasio guru dan murid minimal 1 : 20 orang, maka tunjangan profesinya tidak bisa dibayarkan” (Pasal 17 PP 74 Tahun 2008). Apakah ini merupakan cara pemerintah untuk “menghindari” kewajibannya dalam membayar tunjangan profesi? Walahu’alam. Tapi saya percaya bahwa pemerintah tidak punya niat untuk melakukan hal itu. Pemerintah sudah memiliki niat baik (good will) untuk memberikan hak-hak guru sesuai dengan UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005. Akan tetapi, guru dituntut untuk membuktikan lebih dulu bahwa dirinya, bahwa ia mengajar di sekolah yang memiliki rasio 1 : 20 orang. Nah!

PENATAAN GURU
Sesuai dengan Pasal 5 Permendiknas No. 39 Tahun 2009, maka paling lama sejak ditetapkan peraturan tersebut, Pemerintah Kabupaten/Kota diwajibkan telah melakukan penataan guru, baik antar-wilayah maupun antar-satuan pendidikan. Dengan demikian, selambat-lambatnya pada 30 Juli 2011, semua guru sudah diredistribusi sedemikian rupa sehingga bisa melaksanakan tugas mengajar sesuai dengan sertifikat pendidiknya dengan beban kerja minimal 24 JTM. Namun setelah saya analisis, setelah dilakukan redistribusi guru pun, ternyata para guru mata pelajaran tertentu akan masih tetap mengalami kesulitan memenuhi beban kerja 24 JTM. Lho, kok bisa?
Mari kita simak ilustrasi berikut ini, untuk kasus pada SMP. Pada satuan pendidikan setingkat SMP, terdapat 10 mata pelajaran nasional, 1 mapel mulok dan perlu ada 1 tenaga BK. Jika dalam penataan guru Dinas Pendidikan mengatur agar setiap mapel di SMP tersebut diajar oleh guru yang telah memiliki sertifikat pendidik atau setidak-tidaknya guru yang memiliki latar belakang pendidikan dengan jurusan yang sama dengan mata pelajaran yang diasuhnya, maka diperlukan 12 orang guru.
Dengan jumlah guru 12 orang tersebut, maka jumlah siswa minimal yang ada di sekolah tersebut adalah 12 x 20 orang = 240 orang (ingat rasio guru-siswa adalah 1 : 20 orang). Rombongan belajar di sekolah tersebut minimal 6 (enam) buah @ 40 orang atau maksimal 9 buah @ 27 – 30 orang. Inilah kondisi ideal sebuah SMP dimana guru mengajar sesuai dengan sertifikasinya dengan rasio siswa guru = 1: 20 orang.
Apakah semua guru di sekolah yang sudah ditata ini otomatis memiliki beban kerja minimal 24 JTM? Ternyata tidak semuanya! Perhatikan tabel berikut:

TABEL : PERHITUNGAN BEBAN KERJA GURU DI SMP


MATA PELAJARAN DI SMP Jam Pelajaran
Dalam Kurikulum Beban Kerja Guru dgn
9 RB
(JTM) Beban Kerja Guru dgn
6 RB
(JTM)
Pend. Agama 2 18 12
PKN 2 18 12
Bahasa Indonesia 4 36 24
Bahasa Inggris 4 36 24
Matematika 4 36 24
IPA 4 36 24
IPS 4 36 24
Seni Budaya 2 18 12
Penjas Orkes 2 18 12
TIK 2 18 13
MULOK 2 18 12
BK/Konselor 150 > 240 > 240

Catatan : RB = Rombongan Belajar = Rombel

Berdasarkan Tabel di atas, ternyata hanya guru Mapel Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA dan IPS di SMP yang bisa memenuhi beban kerja minimal 24 JTM, baik pada sekolah dengan 6 rombel atau 9 riombel. Sedangkan guru BK bisa memenuhi beban kerja, karena jumlah siswa yang ada sudah > 150 orang. Namun guru Pendidikan Agama, PKN, Penjas, Seni Budaya, TIK dan Mulok “seumur-umur” hanya bisa mengajar 12 – 18 JTM jika rombel di sekolah tersebut hanya 12 atau 18 buah. Dan SMP yang hanya memiliki 6 atau 9 rombel di Kalimantan Timur masih sangat banyak, terlebih pada sekolah swasta dan di sekolah pinggiran. Inilah misteri kedua.
Sebagai konsekuensinya, para guru ini berpotensi tidak bisa memperoleh tunjangan profesi atau insentif dari daerah, karena beban mengajarnya tidak memenuhi ketentuan minimal 24 JTM. Padahal mereka sudah mengajar sesuai dengan sertifikat pendidiknya atau keahliannya. Padahal dinas pendidikan sudah menata. Apakah ketentuan semacam ini “disengaja” ? Saya tidak berprasangka semacam ini. Saya percaya Pemerintah tidak ada maksud tidak mau membayar tunjangan profesi bagi guru-guru. Yang penting, guru-guru bisa menunjukkan bukti bahwa dia mengajar di sekolah dengan rasio 1 : 20; mengajar sesuai dengan sertifikat pendidik atau bidang keahliannya; dan yang penting beban kerjanya minimal 24 JTM.

KEGIATAN LAIN-LAIN
Misteri ketiga adalah kegiatan lain-lain. Ada 13 macam kegiatan yang bisa dilakukan oleh guru di daerah khusus, guru berkeahlian khusus, atau guru yang diperlukan oleh pemerintah (Pasal 3 Permendiknas No. 39 Tahun 2009). Apakah semua kegiatan yang dimaksud dalam pasal 3 ini bisa dilaksanakan oleh guru di daerah pedalaman, perbatasan, terpencil, terisolir, atau daerah khusus dan mengalami kesulitan akses jarak dan waktu di wilayah Kaltim? Mudah-mudahan ada, sehingga guru-guru di daerah tersebut bisa memenuhi beban kerja dengan melaksanakan tugas-tugas atau kegiatan lain-lain tersebut.
Namun untuk mendapatkan “kemudahan” tersebut, ternyata harus ada dukungan peraturan daerah berupa penetapan daerah khusus dan daerah terisolir, agar sekolah-sekolah dan guru-guru di daerah tersebut dapat segera diusulkan kepada Mendiknas untuk mendapat “dispensasi”. Jika tidak, maka para guru di daerah tersebut akan disamakan dengan guru-guru di daerah lain, sehingga harus mengajar minimal 24 JTM. Wah!
Sementara itu, guru di daerah perkotaan dan pinggiran, boleh melaksanakan 8 (delapan) macam kegiatan untuk memenuhi kekurangan jumlah jam kerjanya. Namun dibatasi hanya paling lama 2 (dua) tahun. Setelah itu, semua guru di daerah tersebut, harus memenuhi 24 JTM hanya dan hanya dari kegiatan pembelajaran di sekolah. Kegiatan membimbing kegiatan ekskul, pengembangan diri, team teaching, remedial teaching atau mengajar di sekolah lain – yang sangat membantu guru dalam memenuhi kekurangan beban kerja – tidak bisa lagi dilakukan mulai Agustus 2011. Dengan demikian guru-guru tidak bisa bisa memenuhi kekurangan beban mengajar dari kegiatan lain-lain lagi. Sehingga mereka berpotensi tidak bisa menerima tunjangan profesi dan insentif. Apakah hal ini memang yang diinginkan pemerintah? Sungguh naif kalau ada pemikiran seperti ini! Pemerintah – sesuai dengan janjinya – akan menyejahterakan guru dengan memberikan berbagai tunjangan dan maslahat tambahan, sepanjang – yaitu tadi – guru bisa memenuhi beban mengajar minimal 24 JTM, mengajar sesuai dengan sertifikat pendidiknya, di sekolah dengan rasio minimal guru-murid = 1 : 20. Pemerintah sudah menyiapkan dana melalui APBN dan “siap” membayarkan sesuai penjadwalan, sepanjang guru dapat menunjukkan bukti-bukti telah melaksanakan tugas minimal 24 JTM.

PENUTUP MISTERI
Rasanya ada “kontradiksi di dalam” peraturan yang keritan dengan pemenuhan beban kerja guru minimal 24 JTM ini. Niatan pemerintah untuk menyejahterakan guru dengan memberikan berbagai tunjangan yang disertai dengan ketentuan yang sedemikian ketat itu, akan membuat guru-guru di daerah tertentu atau guru matapelajaran tertentu tidak bisa memperoleh tunjangan.
Para guru, organisasi profesi guru, Dewan Pendidikan perlu menyadari hal ini, agar sertifikasi guru yang sudah dilaksanakan dengan biaya ratusan milyar tidak berujung dengan kekecewaan. Para guru kecewa, karena tunjangan yang diharapkan tidak bisa diperoleh, hanya karena beban kerja guru minimal 24 JTM tidak bisa dipenuhi oleh guru akibat rombongan belajar di sekolahnya sedikit, jumlah murid di sekolahnya sedikit, ketentuan kurikulum, dan kegiatan lain-lain tidak bisa dilaksanakan lagi.
Kapan lagi masalah guru ini bisa teratasi? Masih misterius nee!

Samarinda, 17 Oktober 2009