THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Kamis, 03 Desember 2009

ANALISIS PP 74 TAHUN 2008 DAN PERMENDIKNAS NO 39 TAHUN 2009:

BEBAN KERJA GURU MINIMAL 24 JTM (Bagian 1)
AWAS ADA SANKSINYA!

Oleh : Nanang Rijono


GURU adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Sebagai pendidik profesional, guru dipersyaratkan memiliki Kualifikasi Akademik,
Kompetensi, Sertifikat Pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sebagai penghargaan kepada pendidik profesional, terutama guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik, Pemerintah memberikan tunjangan profesi.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, dan Tunjangan Kehormatan Profesor, Pasal 4 disebutkan: “Tunjangan profesi bagi guru dan dosen pegawai negeri sipil yang menduduki jabatan fungsional guru dan dosen diberikan sebesar 1 (satu) kali gaji pokok pegawai negeri sipil yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”. Sedangkan pasal 5 ayat (1) menyebutkan: “Tunjangan profesi bagi guru dan dosen bukan pegawai negeri sipil diberikan sesuai dengan kesetaraan tingkat, masa kerja, dan kualifikasi akademik yang berlaku bagi guru dan dosen pegawai negeri sipil.”
Berkenaan dengan Pemerintah menuntut guru PNS atau non-PNS pada umumnya atau guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik pada khususnya agar melaksanakan tugas pokok sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru. Dalam PP 74/2008 Pasal 52 ayat (1) disebutkan Beban kerja Guru mencakup kegiatan pokok: (a) merencanakan pembelajaran; (b) melaksanakan pembelajaran; (c) menilai hasil pembelajaran; (d) membimbing dan melatih peserta didik; dan (e) melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai dengan beban kerja Guru. Yang dimaksud dengan “tugas tambahan”, misalnya menjadi pembina pramuka, pembimbing kegiatan karya ilmiah remaja, dan guru piket.
Tugas pokok guru ini merupakan kewajiban utama guru dan merupakan kegiatan yang utuh. Artinya kegiatan merencanakan/menyusun silabus dan RPP, menilai hasil belajar, dan membimbing siswa dalam pembelajaran merupakan satu kesatuan dengan kegiatan melaksanakan pembelajaran. Dengan demikian, dapat dikatakan sebagai satu paket kegiatan pembelajaran yang paling sedikit sebanyak 24 jam tatap muka (JTM) per minggu. Hal ini sesuai dengan Pasal 52 ayat (2), bahwa Beban kerja Guru paling sedikit memenuhi 24 (dua puluh empat) JTM dan paling banyak 40 (empat puluh) JTM dalam 1 (satu) minggu pada satu atau lebih satuan pendidikan yang memiliki izin pendirian dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Dalam penjelasan pasal 52 ayat (2) Beban kerja guru untuk melaksanakan pembelajaran paling sedikit 24 (dua puluh empat) JTM dan paling banyak 40 (empat puluh) JTM dalam 1 (satu) minggu tersebut merupakan bagian jam kerja dari jam kerja sebagai pegawai yang secara keseluruhan paling sedikit 37,5 (tiga puluh tujuh koma lima) jam kerja dalam 1 (satu) minggu.
Dari uraian tersebut terdapat dua hal penting yang wajib dipenuhi oleh guru: (a) Guru wajib melaksanakan pembelajaran minimal 24 JTM dan maksimal 40 JTM. Perencanaan pembelajaran, penilaian pembelajaran dan pembimbingan siswa tidak termasuk ke dalam hitungan 24 JTM ini. (b) Jam wajib kerja guru – ada mengajar atau tidak, guru wajib hadir di sekolah – adalah minimal 37,5 jam per minggu. Inilah ketentuan baru yang wajib dipenuhi oleh para guru dengan segala konsekuensinya.

KEKURANGAN JTM
Ternyata untuk memenuhi beban kerja minimal 24 JTM ini tidak semudah yang diperkirakan. Apalagi setelah ada ketentuan baru, bahwa beban kerja minimal 24 JTM ini adalah hanya dari kegiatan pelaksanaan pembelajaran. Kegiatan perencanaan pembelajaran, penilaian hasil belajar dan pembimbingan siswa yang sebelumnya dapat dihitung sebagai beban kerja ekuivalen dengan 6 JTM, kini tidak diperhitungkan – karena dianggap sebagai tugas pokok guru “satu paket” dengan pelaksanaan pembelajaran. Dengan demikian guru minimal harus mengadakan tatap muka di kelas minimal 24 JTM! Ketentuan ini hanya berlaku bagi “guru biasa”, yaitu guru yang tidak diberi tugas tambahan tertentu di sekolahnya.
Beban kerja bagi guru yang mendapat tugas tambahan adalah sebagai berikut menurut PP 74/2008 tentang Guru adalah sebagai berikut:

TUGAS TAMBAHAN GURU YANG DIHITUNG
SEBAGAI JAM TATAP MUKA
NO TUGAS TAMBAHAN GURU JUMLAH JAM TATAP MUKA MINIMAL
1 Kepala Sekolah 6 atau
40 orang siswa
2 Wakil Kepala Sekolah 12 atau
80 orang siswa
3 Ketua Program Keahlian
12
4 Kepala Perpustakaan Sekolah
12
5 Kepala Laboratorium, Bengkel, Unit Produksi 12
6 Bimbingan Konseling/Konselor
150 orang siswa
7 Pembimbing Khusus pasa Sekolah Inklusi/ Sekolah Terpadu 6
8 Pengawas Sekolah
24
Sdumber : PP No. 74.2008 pasal 54 lihat Permendiknas no. 39/2009 Pasal 1
Tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Setuan
Pendidikan
Catatan : Kepsek wajib mengajar minimal 6 JTM
atau membimbing siswa 40 orang bagi kepsek berijazah BK
Wakil kepsek wajib mengajar minimal 12 JTM atau
membimbing siswa 40 orang bagi kepsek berijazah BK

SANKSI JIKA JTM KURANG
Guru yang tidak dapat memenuhi beban kerja paling sedikit 24 dalam 1 minggu di sekolah utama tempat dia mengajar (disebut sebagai sekolah pangkal administrasinya), dapat memenuhi beban kerjanya dengan mengajar di sekolah lain sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya, dengan ketentuan guru tersebut mengajar paling sedikit 6 (enam) JTM per minggu di sekolah pangkal-nya.
Apabila guru masih belum bisa memenuhi kewajiban mengajar minimal 24 JTM, apalagi tidak mau mengajar minimal 24 JTM, maka guru akan dikenai sanksi. Sanksi yang diberikan kepada guru yang tidak dapat memenuhi kewajiban mengajar minimal 24 JTM, telah diatur dalam PP No. 74/2008 pasal 63 ayat (2). “Guru yang tidak dapat memenuhi kewajiban melaksanakan pembelajaran 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan tidak mendapat pengecualian dari Menteri dihilangkan haknya untuk mendapat tunjangan profesi, tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional, dan maslahat tambahan.”
Dengan demikian, siapa pun guru, apakah guru PNS atau Non-PNS, guru honorer, guru bantu, guru PTTD, T3D, sudah disertifikasi atau belum, dll. apabila tidak bisa memenuhi beban mengajar minimal 24 JTM – tanpa perkecualian dari Mendiknas – akan kehilangan haknya mendapat tunjangan profesi, tunjangan fungsional, insentif dari daerah, dll. Maka berlomba-lombalah para guru, baik yang sudah disertifikasi atau yang belum, untuk mengajar minimal 24 JTM per minggu!
Namun, pemenuhan beban kerja minimal 24 JTM ini masih menimbulkan masalah, Apakah itu? (Bersambung).


ANALISIS PP 74 TAHUN 2008 DAN PERMENDIKNAS NO 39 TAHUN 2009:

BEBAN KERJA GURU MINIMAL 24 JTM (Bagian 2)
BAGAIMANA MEMENUHINYA?

Oleh : Nanang Rijono


UNTUK guru tertentu, di satuan pendidikan tertentu, di daerah tertentu mencari beban kerja minimal 24 JTM ternyata tidak mudah. Beban kerja yang minimal ini saja sulit dipenuhi, apalagi maksimal 40 JTM. Mencari beban mengajar bagi teman-teman guru yang mengajar di SMP dan SMA kecil (dengan hanya ada 3 rombel) di daerah pinggiran, atau di sekolah satu atap (misal SD dan SMP satu atap) sehingga mencapai minimal 24 JTM terasa mustahil apalagi harus sesuai dengan mata pelajaran yang disertifikasi atau bidang keahliannya.
Hampir semua guru yang mengajar di SMP atau SMA kecil dengan tiga rombongan belajar akan sulit memenuhi beban kerja 24 JTM kalau hanya mengajar pada satu mata pelajaran yang diampunya dan sesuai sertifikasinya. Guru PKN, SBK, Mulok mengajar di kelas VII, VIII dan IX hanya bisa mengumpulkan 6 JTM per minggu. Guru IPS 8 JTM Perminggu, Guru Agama 12 JTM perminggu. Guru IPA, Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris sekitar 15 – 18 JTM seminggu. Solusi gampangnya, mereka diminta mengajar di sekolah lain sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya. Dan ... lupakanlah seberapa jauh jarak sekolah pangkalnya dengan sekolah-sekolah lain; yang penting bagaimana bisa mengajar di sekolah lain tersebut. Lupakanlah seberapa jauhnya guru PPKN yang sekolah pangkalnya di Babulu Laut, yang harus mengajar di Waru, di Penajam atau di Sepaku. Lupakanlah bahwa guru tersebut hanya mengajar satu hari saja di sekolah pangkalnya, dan tiga hari harus mengajar di sekolah-sekolah lain yang jaraknya berjauhan tersebut demi memenuhi beban kerja minimal 24 JTM per minggu.
Ketentuan bahwa guru yang mengajar di sekolah (-sekolah) lain harus sesuai dengan sertifikat pendidiknya sudah diatur dalam Pasal 2 Permendiknas No. 39 Tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan ayat (1) “Guru yang tidak dapat memenuhi beban kerja sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 diberi tugas mengajar pada satuan pendidikan formal yang bukan satuan administrasi pangkalnya, baik negeri maupun swasta sebagai guru kelas atau guru mata pelajaran yang sesuai dengan sertifikat pendidik”. Guru tersebut pun dituntut untuk minimal mengajar 6 JTM perminggu di sekolah pangkalnya, sebagaimana yang ditetapkan dalam pasal 2 ayat (2) “Bagi guru yang akan memenuhi kekurangan JTM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan paling sedikit 6 (enam) JTM dalam 1 (satu) minggu pada satuan administrasi pangkalnya”.
Jadi, untuk guru mata pelajaran tertentu, yang mengajar di satuan pendidikan tertentu, di daerah tertentu akan mengalami kesulitan dalam mencari beban kerja minimal 24 JTM perminggu. Bahkan beban kerja minimal 24 JTM ini bisa saja dianggap “maksimal”, karena begitu sulitnya mencari beban kerja tambahan di sekolah lain.

PERAN DISDIK DAN KANDEPAG
Guru yang mengajar di sekolah lain dalam rangka memenuhi beban mengajar minimal 24 JTM diatur dan disepakati bersama oleh Dinas Pendidikan dan Kandep Agama serta pengelola pendidikan swasta yang terkait. Guru yang mengajar di sekolah lain tersebut adalah ditugaskan oleh Dinas Pendidikan atau Kendep Agama Kabupaten/Kota masing-masing. Artinya, ada pengaturan oleh Disdik atau Kandep Agama seorang akan ditugaskan ke sekolah mana saja dan mengajar apa. Dengan demikian, Disdik atau Depag sudah melakukan koordinasi dengan Dinas Pendidikan Kecamatan/UPTD dan sekolah-sekolah baik negeri atau swasta dalam mengatur penugasan guru mengajar di sekolah lain agar bisa memenuhi beban kerja minimal 24 JTM per minggu tersebut. Dengan kata lain, bukan guru yang bersangkutan yang kelabakan mencari sendiri sekolah-sekolah lain atau kepala sekolah yang mencarikan sekolah lain untuk bisa memenuhi beban kerja 24 JTM tersebut.
Peran Disdik atau Depag dalam penugasan guru ini diatur dalam Pasal 2 ayat (3) dan (4) Permendiknas No. 39 Tahun 2009 selengkapnya sebagai berikut:
(3) Pemberian tugas mengajar pada satuan pendidikan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh :
a. Kepala dinas yang membidangi pendidikan kabupaten/kota untuk sekolah negeri;
b. Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota untuk madrasah negeri;
c. Pejabat yang diberi tugas mengelola satuan pendidikan pada departemen/ lembaga pemerintah nondepartemen di luar Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama untuk sekolah di lingkungannya;
d. Kepala satuan pendidikan atau penyelenggara satuan pendidikan, sesuai dengan kewenangannya, setelah mendapat persetujuan dari kepala dinas pendidikan kabupaten/kota atau Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota untuk sekolah/madrasah yang diselenggarakan oleh masyarakat;
e. Kepala dinas pendidikan provinsi untuk satuan pendidikan khusus.
(4) Pemberian tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan atas kesepakatan bersama antara dinas pendidikan provinsi, dinas pendidikan kabupaten/kota, kantor departemen penyelenggara satuan pendidikan, dan penyelenggara pendidikan mengenai kebutuhan guru pada satuan pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat.

PEMENUHAN BEBAN KERJA
Di atas sudah disebutkan bahwa guru yang mengajar di sekolah tertentu dan di derah tertentu akan mengalami kesulitan dalam memenuhi beban kerja minimal 24 JTM tersebut. Kesulitan ini masih ditambah dengan kendala jarak dan waktu untuk mencari sekolah lain, kelebihan guru, tuntutan kurikulum, dan sebagainya.
Untunglah, Mendiknas menetapkan bahwa guru-guru bertugas pada satuan pendidikan layanan khusus, berkeahlian khusus, atau dibutuhkan atas dasar pertimbangan kepentingan nasional dapat melakukan berbagai kegiatan di sekolah atau di daerahnya yang diberi ekuivalensi sebagai beban kerja dengan jumlah jam tertentu.
Definisi satuan pendidikan layanan khusus adalah adalah satuan pendidikan pada daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi. Di Kaltim saya kira banyak daerah yang memenuhi kriteria daerah terpencil, perbatasan, pedalaman sebagai yang dimaksud di atas. Sehingga guru-guru di daerah ini yang kesulitan untuk memenuhi beban kerja 24 JTM dapat diusulkan oleh Disdik atau Depag kepada Mendiknas untuk mendapat ekuivalensi beban kerja. Hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Permendiknas No. 39 tahun 2009 yang berbunyi: “Guru yang bertugas pada satuan pendidikan layanan khusus, berkeahlian khusus, atau dibutuhkan atas dasar pertimbangan kepentingan nasional yang tidak dapat memenuhi beban kerja minimum 24 (dua puluh empat) JTM diusulkan oleh kepala dinas pendidikan provinsi, dinas pendidikan kabupaten/kota, kantor Departemen Agama kabupaten/kota, sesuai dengan kewenangannya kepada Menteri Pendidikan Nasional untuk memperoleh ekuivalensi”.
Ingat, ekuivalensi beban kerja tersebut hanya diberikan kepada :
(1) Guru yang bertugas pada satuan pendidikan layanan khusus merupakan guru yang ditugaskan pada daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
(2) Guru yang berkeahlian khusus merupakan guru yang diperlukan untuk mengajar mata pelajaran atau program keahlian sesuai dengan latar belakang keahlian langka yang terkait dengan budaya Indonesia.
(3) Guru yang dibutuhkan atas dasar pertimbangan kepentingan nasional merupakan :
a. Guru yang bertugas di sekolah Indonesia di luar negeri;
b. Guru yang tidak dapat diberi tugas pada satuan pendidikan lain untuk mengajar sesuai dengan kompetensinya dengan alasan kesulitan akses dibandingkan dengan jarak dan waktu;
c. Guru yang ditugaskan menjadi guru di negara lain atas dasar kerjasama antar negara.
Dengan demikian tidak semua guru akan mendapat “perkecualian” ini. Hanya guru-guru di daerah terpencil di Kaltim dan/atau guru yang dibutuhkan atas dasar kepentingan nasional dalam hal ini butir (b) di atas, karena kesulitan mencari sekolah lain dibandingkan jarak dan waktu sehingga guru tidak bisa mencari sekolah lain untuk memenuhi beban kerja minimal 24 JTM.
Ada 13 kegiatan yang bisa dipilih dan dilakukan oleh guru yang bertugas di daerah terpencil atau yang kesulitan mencari akses sekolah lain dibandingkan jarak dan waktu adalah sebagai berikut:

KEGIATAN YANG DAPAT DIPILIH GURU DI SEKOLAH LAYANAN KHUSUS
AYAU DAERAH KESULITAN AKSES JARAK DAN WAKTU
(Pasal 3 ayat (5) Permendiknas No. 39 Tahun 2009)
NO KEGIATAN YANG DAPAT DIBERI EKUIVALENSI BEBAN KERJA
a. mengajar mata pelajaran yang paling sesuai dengan rumpun mata pelajaran yang diampunya dan/atau mengajar berbagai mata pelajaran yang tidak ada guru mata pelajarannya pada satuan pendidikan lain
b. mengelola taman bacaan masyarakat (TBM)
c. menjadi tutor program Paket A, Paket B, Paket C, Paket C Kejuruan atau program pendidikan keaksaraan
d. menjadi guru bina atau guru pamong pada sekolah terbuka
e. menjadi pengelola kegiatan keagamaan
f. mengelola Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri
g. sebagai guru inti/instruktur/tutor pada kegiatan Kelompok Kerja Guru/ Musyawarah Guru Mata Pelajaran (KKG/MGMP)
h. membina kegiatan mandiri terstruktur dalam bentuk pemberian tugas kepada peserta didik
i. membina kegiatan ekstrakurikuler dalam bentuk kegiatan Praja Muda Karana (Pramuka), Olimpiade/Lomba Kompetensi Siswa, Olahraga, Kesenian, Karya Ilmiah Remaja (KIR), Kerohanian, Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra), Pencinta Alam (PA), Palang Merah Remaja (PMR), Jurnalistik/Fotografi, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), dan sebagainya
j. membina pengembangan diri peserta didik dalam bentuk kegiatan pelayanan sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, sikap, dan perilaku siswa dalam belajar serta kehidupan pribadi, sosial, dan pengembangan karir diri
k. kegiatan lain yang berkaitan dengan pendidikan masyarakat dan dilakukan secara rutin dan berkelanjutan
l. kegiatan pembelajaran bertim (team teaching) dan/atau
m. kegiatan pembelajaran perbaikan (remedial teaching)
Sumber : Permendiknas No. 39 Tahun 2009

Usulan dari Disdik atau Depag kepada Mendiknas untuk guru yang diberi ekuivalensi kegiatan beban kerja perlu dilampiri dengan bukti-bukti kegiatan yang diikuti atau dilaksanakan oleh guru tersebut. Bukti fisik yang dimaksud tentu saja berupa surat keputusan (SK) atau surat penugasan dari pihak yang berwenang atau sekolah.
Lalu bagaimana dengan guru-guru yang tidak bertugas di daerah terpencil atau daerah yang kesulitan akses karena jarak dan waktu? Bagaimana dengan nasib guru-guru di daerah perkotaan yang justru mengalami kesulitan memenuhi beban kerja minimal 24 JTM karena terdapat kelebihan guru di sekolahnya? Apakah pasal 3 ayat (1) s.d. (5) Permendiknas tersebut berlaku? (Bersambung)



ANALISIS PP 74 TAHUN 2008 DAN PERMENDIKNAS NO 39 TAHUN 2009:

BEBAN KERJA GURU MINIMAL 24 JTM (Bagian 3)
KESEMPATAN UNTUK REDISTRIBUSI GURU?

Oleh : Nanang Rijono

KALAU disimak pasal 3 ayat (1) s.d. (5) Permendiknas No. 39 Tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan, sepertinya “tidak ada ampun” bagi guru-guru yang mengajar di daerah perkotaan atau daerah yang memiliki akses relatif mudah terkait dengan jarak dan waktu. Artinya, beban kerja minimal 24 JTM tersebut tidak bisa ditawar-tawar lagi. Mau-tidak mau, dan suka-tidak suka harus dipenuhi oleh guru, entah bagaimana caranya. Pokoknya, guru harus mengajar minimal 24 JTM perminggu mata pelajaran yang diampu sesuai dengan sertifikat pendidik atau keahliannya.
Inilah salah satu persoalan yang dihadapi Dinas Pendidikan dan Depag, yakni terdapatnya persebaran guru yang tidak merata antardaerah dan antar- sekolah; menumpuknya guru mata pelajaran tertentu di suatu daerah atau sekolah; dan sulitnya memindahkan guru karena berbagai alasan dan pertimbangan.

UNTUK DUA TAHUN SAJA
Dalam Permendiknas No. 39 Tahun 2009, masih ada dispensasi bagi guru-guru di daerah perkotaan dan daerah yang tidak mengalami kesulitan akses karena jarak dan waktu. Guru-guru di daerah ini masih diberi kesempatan untuk mendapatkan ekuivalensi beban kerja untuk kegiatan-kegiatan tertentu – namun hanya dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun saja.
Pasal 5 ayat (1) Permendiknas No. 39 Tahun 2009 masih memberikan kemudahan bepada guru-guru di daerah perkotaan dan pinggiran yang tidak merngalami kesulitan akses sekolah, untuk melakukan kegiatan-kegiatan berikut ini yang bisa diberi ekuivalensi beban kerja. “Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional ini, guru dalam jabatan yang bertugas selain di satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 3, dalam keadaan kelebihan guru pada mata pelajaran tertentu di wilayah kabupaten/kota, dapat memenuhi beban mengajar minimal 24 (dua puluh empat) JTM dengan cara tertentu”
Ada 8 (delapan) kegiatan yang dapat dipilih dan dilakukan oleh guru ubtuk memenuhi beban kerja minimal 24 JTM tersebut.

KEGIATAN YANG DAPAT DIPILIH GURU YANG BERTUGAS DI SEKOLAH BUKAN SATUAN LAYANAN KHUSUS
(Pasal 5 ayat (1) Permendiknas No. 39 Tahun 2009)
NO KEGIATAN YANG DAPAT DIBERI EKUIVALENSI BEBAN KERJA
a. mengajar mata pelajaran yang paling sesuai dengan rumpun mata pelajaran yang diampunya dan/atau mengajar mata pelajaran lain yang tidak ada guru mata pelajarannya pada satuan administrasi pangkal atau satuan pendidikan lain
b. menjadi tutor program Paket A, Paket B, Paket C, Paket C Kejuruan atau program pendidikan keaksaraan
c. menjadi guru bina atau guru pamong pada sekolah terbuka
d. menjadi guru inti/instruktur/tutor pada kegiatan Kelompok Kerja Guru/ Musyawarah Guru Mata Pelajaran (KKG/MGMP)
e. membina kegiatan ekstrakurikuler dalam bentuk kegiatan Praja Muda Karana (Pramuka), Olimpiade/Lomba Kompetensi Siswa, Olahraga, Kesenian, Karya Ilmiah Remaja (KIR), Kerohanian, Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra), Pencinta Alam (PA), Palang Merah Remaja (PMR), Jurnalistik/Fotografi, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), dan sebagainya
f. membina pengembangan diri peserta didik dalam bentuk kegiatan pelayanan sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, sikap, dan perilaku siswa dalam belajar serta kehidupan pribadi, sosial, dan pengembangan karir diri
g. kegiatan pembelajaran bertim (team teaching) dan/atau
h. kegiatan pembelajaran perbaikan (remedial teaching)
Sumber : Permendiknas No. 39 Tahun 2009

Dengan demikian guru-guru di daerah perkotaan dapat memenuhi beban kerja menjadi minimal 24 JTM dengan memilih satu atau beberapa kegiatan di atas. Namun sekali lagi, patut diingat, kemudahan ini hanya berlaku dalam kurun waktu 2 (dua) tahun saja, Setelah dua tahun kemudian, semua guru di Indonesia harus mengajar minimal 24 JTM sesuai dengan sertifikat pendidiknya atau keahliannya.

KESEMPATAN MENATA GURU
Peraturan Mendiknas No. 39 Tahun 2009 ini juga menginstruksikan kepada Kabupaten/Kota atau Dinas Pendidikan dan Depag untuk melakukan penataan guru di wilayah kerjanya masing-masing, Pasal 5 ayat (2) Permendiknas No, 39 Tahun 2009 menegaskan bahwa. “Dalam jangka waktu paing lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional ini, Dinas Pendidikan provinsi/kabupaten/kota dan Kantor Wilayah Departemen Agama dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota harus selesai melakukan perencanaan kebutuhan dan redistribusi guru baik di tingkat satuan pendidikan maupun di tingkat kabupaten/kota”.
Persoalan yang dihadapi oleh pendidikan di Kaltim adalah tidak meratanya persebaran guru antarwilayah dan antardaerah, antarsekolah dan matapelajaran. Persoalan ini masih ditambah lagi dengan kebijakan daerah untuk mengangkat guru non-PNS atau guru tidak tetap daerah guna mengatasi kekurangan guru di daerah-daerah yang relatif terpencil atau guru mata pelajaran tertentu dengan merekrut siapa saja yang berminat menjadi guru, bahkan yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan sekalipun. Sekolahpun banyak yang mengangkat guru-guru honorer untuk mengatasi kekurangan guru mata pelajaran tertentu – yang honornya diambilkan dari dana BOS Pusat.
Contoh kasus di Kecamatan Muara Kaman, Kukar terdapat sebuah SD dengan 6 rombongan belajar dengan 18 orang guru – dimana guru PNSnya hanya 7 – 8 orang, dan sisanya adalah guru honorer dan T3D. Hal ini sebelumnya (sepertinya) tidak menimbulkan masalah baik bagi sekolah maupun guru, karena honor guru sudah disediakan oleh pemerintah daerah.
Ketika diberlakukannya beban kerja guru minimal 24 JTM, muncul gejolak ke pemukaan: sulitnya guru mendapatkan beban kerja minimal 24 JTM dari guru mata pelajaran, baik di SD, SMP atau SMA/SMK. Guru SD yang mengajar mapel olahraga hanya bisa mengajar 18 JTM. Guru SBK atau Mulok (kalau diajarkan sebagai bidang studi) hanya mengajar 12 JTM. Beban kerja ini semakin berkurang di tingkat SMP atau SMA yang hanya memiliki tiga rombel.
Maka, PP 74/2008 dan Permendiknas No. 39 Tahun 2009 ini bisa dijadikan titik awal penataan guru yang ada di daerah kabupaten/kota dan di sekolah. Penataan guru dimulai dengan menghimpun informasi dari sekolah-sekolah tentang kebutuhan guru di sekolah dikaitkan dengan pemenuhan beban kerja minimal guru. Data dari sekolah tersebut dijadikan bahan menganalisis kebutuhan guru di suatu kecamatan atau area terdekat. Selanjutnya data tersebut digunakan untuk menganalisis kebutuhan guru di daerah kabupaten/ kota, untuk mengatur penempatan/penugasan guru (redistribusi), dan penataan guru di setiap sekolah/madrasah.
Setiap sekolah perlu mengidentifikasi guru yang ada di sekolah menurut status PNS, Non-PNS, T3D, dll, menurut kepemilikan sertifikat pendidik, dan mata pelajaran yang diampu serta jumlah beban mengajarnya, jumlah rombel dan jumlah siswa. Data dari setiap sekolah ini bisa menunjukkan seberapa banyak guru yang benar-benar dibutuhkan oleh sekolah, dimana setiap guru telah mengampu mata pelajaran yang sesuai dengan beban kerja minimal 24 JTM. Data ini juga bisa menunjukkan berapa banyak guru di sekolah itu yang harus mengajar di sekolah lain untuk memenuhi beban kerja 24 JTM. Atau, tragisnya, berapa guru yang perlu diusulkan untuk dimutasikan karena menunjukkan kelebihan guru mata pelajaran tertentu, atau sekolah harus mengembalikan guru T3D ke Pemda, atau memberhentikan guru honor yang diangkat oleh sekolah.
Pada tingkat kecamatan, data setiap sekolah dalam suatu kecamatan dibahas untuk dilakukan penataan guru antarsekolah dalam kecamatan: guru-guru mana yang perlu dipindahkan ke sekolah lain pada satuan pendidikan yang sama, atau yang dipindahkan ke satuan pendidikan yang lain yang memungkinkan. Misalnya guru IPS di SMP dipindahkan ke SMA atau SMK yang kekurangan guru itu. Atau sebaliknya guru Bahasa Inggris di SMA dipindahkan ke SMP yang memerlukan. Perpindahan antarjenjang satuan pendidikan tidak akan mempengaruhi profesionalitas, sepanjang guru yang dipindahkan antar-jenjang satuan pendidikan ini tetap mengajar sesuai dengan sertifikat pendidik-nya.
Di tingkat kabupaten/kota, perlu dilakukan koordinasi dengan Disdik Cabang atau UPTD di kecamatan untuk membahas kemungkinan redistribusi guru yang mengajar di dua kecamatan yang berdekatan atau yang berbatasan, Dengan demikian penataan guru ini tidak terlalu memberatkan guru karena jarak dan waktu ke sekolah tempat kerja baru tidak terlalu berjauhan.
Penataan guru ini akan terkait dengan pengidentifikasian kebutuhan guru atau kekurangan guru di daerah atau sekolah dan mata pelajaran tertentu. Dengan demikian rekrutmen guru baru, baik PNS atau T3D sudah sesuai dengan kebutuhan riil sekolah; penempatan dan penugasan juga sudah sesuai dengan kebutuhan sekolah dan beban kerja minimal 24 JTM bisa terpenuhi.
Untuk ini perlu ada dukungan kebijakan baik dari pusat maupun dari daerah agar pemenuhan beban kerja dan penataan guru serta redistribusi guru ini bisa berjalan dengan baik. (Bersambung).

ANALISIS PP 74 TAHUN 2008 DAN PERMENDIKNAS NO 39 TAHUN 2009:

BEBAN KERJA GURU MINIMAL 24 JTM (Bagian 4-Habis)
MENUNGGU KEBIJAKAN LANJUTAN

Oleh : Nanang Rijono

PADA dasarnya Peraturan Mendiknas No. 39 tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan ini mengatur pertama cara pemenuhan beban kerja guru yang bertugas sekolah layanan khusus (daerah terpencil) dan sekolah yang kesulitan akses dibandingan jarak dan waktu, dan kedua cara pemenuhan beban kerja guru yang bekerja di daerah perkotaan atau pinggiran yang tidak kesulitan akses mencari sekolah lain. Yang pertama untuk jangka waktu “selamanya”, dan yang kedua untuk jangka waktu dua tahun saja.
Namun sesungguhnya Permendiknas ini masih memerlukan adanya kebijakan lanjutan. Kebijakan lanjutan itu berupa pedoman pelaksanaan yang akan ditetapkan oleh Dirjen PMPTK Depdiknas. Hal ini dinyatakan secara eksplisit dalam Pasal 6 Permendiknas tersebut.
Memang benar bahwa ketentuan-ketentuan dalam Pemendiknas ini masih perlu dioperasionalkan dalam sebuah pedoman pelaksanaan. Para guru di daerah perkotaaan dan pinggiran masih memerlukan kejelasan dan penjelasan tentang kegiatan-kegiatan yang dapat dipilih guru untuk memenuhi beban kerja minimal 24 JTM tersebut. Pertama, berapa besar nilai ekuivalensi JTM untuk kegiatan-kegiatan tersebut. Apakah ekuivalensi untuk kegiatan menjadi tutor Paket A, B, C atau keaksaraan; menjadi guru pamong SMP atau SMA Terbuka, menjadi guru inti/instruktur dalam KKG/MGMP; menjadi pembina kegiatan ekskul atau pengembangan diri setara dengan 2 JTM?
Kedua, mengajar bertim apakah untuk matapelajaran yang kurikulumnya terpadu seperti IPA dan IPS di SMP, atau pembelajaran bilingual di RSBI/SBI, atau untuk pembelajaran keterampilan yang memerlukan banyak praktik, pembelajaran tematik di TK dan SD kelas I s.d. III? Ataukah pada semua mata pelajaran di sekolah? Berapa banyak guru dalam suatu tim: dua orang atau lebih? Seberapa banyak JTM untuk pembelajaran bertim: sebanyak-banyaknya atau ada pembatasan jumlah jamnya?
Ketiga, pembelajaran remedial: berapa besar JTM ekuivalensinya? Bagaimana bentuknya: terjadwal setiap minggu, atau insidental manakala siswa memerlukan; atau dilaksanakan klasikal, kelompok, atau individual, dll?
Kejelasan dan penjelasan terhadap kegiatan-kegiatan lain seperti yang disebutkan dalam Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 5 ayat (1) sangat ditunggu-tunggu secepatnya oleh para guru. Mudah-mudahan Ditjen PMPTK dapat segera menetapkan sebelum akhir semester tahun pelajaran 2009/2010, sehingga sekolah dapat melakukan penghitungan beban kerja guru secara lebih pasti, dan sebelum akhir tahun anggaran 2009 ini sehingga pemerintah daerah atau dinas pendidikan sudah mulai melakukan persiapan untuk penataan dan redistribusi guru.
DAERAH TERPENCIL & SULIT AKSES
Pedoman pelaksanaan pemenuhan beban kerja dari Ditjen PMPTK memerlukan dukungan dari kebijakan pemerintah kabupaten tentang penetapan daerah terpencil di wilayah kabupatennya, penetapan sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil dan/atau sekolah yang termasuk kesulitan akses ke sekolah lain dibandingkan dengan jarak dan waktu. Hal ini mendukung pasal 3 ayat (1) s.d. (5) Permendiknas No. 39 tahun 2009. Pemerintah kabupaten perlu menetapkan dan mengusulkan sekolah-sekolah di daerahnya kepada Depdiknas yang berada di daerah terpencil untuk ditetapkan sebagai sekolah layanan khusus, atau sekolah di daerah kesulitan akses dibandingkan dengan jarak dan waktu, agar guru-guru di daerah tersebut dinyatakan sebagai guru yang memenuhi Pasal 3 ayat (1) s.d. (3) sehingga dapat melaksanakan kegiatan sebagaimana pasal 3 ayat (5) untuk memenuhi beban kerja minimal 24 JTM.
Penetapan daerah terpencil dan sekolah-sekolah yang ada di wilayah tersebut dan sekolah yang kesulitan akses dibandingkan dengan jarak dan waktu seyogyanya ditetapkan dalam sebuah Peraturan Bupati atau Peraturan Daerah – bukan sekedar Keputusan Kepala Dinas Pendidikan. Mudah-mudahan hal ini tidak berlebihan, karena akan berkaitan dengan beberapa konsekuensi yang lebih besar: pembayaran tunjangan khusus bagi guru yang bertugas di daerah terpencil oleh pemerintah pusat (sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen, dan PP No. 37 Tahun 2009), kewajiban pemerintah daerah menyediakan maslahat tambahan, program penuntasan wajib belajar 12 tahun di Kaltim, dan tentu saja pendanaan pendidikan di daerah tsb.
Program-program lain yang terkait dengan kegiatan tambahan bagi guru dapat dirancang secara terpadu. Misalnya pendirian taman bacaan masyarakat (TBM) atau PNPM Mandiri, atau Program Paket A, B atau C atau keaksaraan, atau kegiatan pendidikan masyarakat lainnya mungkin menjadi lebih mudah karena akan melibatkan guru sebagai pengelola atau tutornya. Kalau dahulu mungkin guru kurang mau terlibat dengan beberapa alasan, sekarang harus mau terlibat karena bisa untuk memenuhi kekurangan beban kerjanya. Bahkan, misalnya, tanpa dibayarpun para guru harus mau melaksanakan kegiatan ini, demi terpenuhinya beban kerja minimal 24 JTM. Persoalan dana yang diperlukan untuk program TBM, PNPM Mandiri, Program paket A, B, C dan keaksaraan, atau lainnya ini perlu disediakan oleh dinas/instansi terkait. Sementara itu tenaga pengelolaanya sudah “siap”, yaitu para guru di daerah terpencil atau kesulitan akses tersebut.

SEKOLAH KOTA & PINGGIRAN
Dalam rangka memenuhi beban kerja guru di daerah perkotaan atau pinggiran yang tidak mengalami kesulitan akses dibandingkan dengan jarak dan waktu, maka perlu ada penataan kembali dan redistribusi guru pada jenjang satuan pendidikan yang sama atau antarjenjang satuan pendidikan, pada satu wilayah atau antarwilayah kecamatan. Dengan demikian guru-guru dapat tersebar secara lebih proporsional, mengajar sesuai dengan bidang keahlian atau sertifikat pendidik, dan kelebihan atau kekurangan guru bisa terdeteksi. Oleh karena itu diperlukan dukungan kebijakan daerah berupa Keputusan Bupati atau Walikota tentang penataan atau redistribusi guru ini. Mengapa harus keputusan Bupati atau Walikota? Karena guru-guru adalah pegawai daerah, sehingga Bupati atau Walikota yang berhak memerintahkan untuk penataan pegawainya. Bagi guru madrasah di lingkungan Depag, tentu perlu ada keputusan dari Departemen Agama atau minimal dari Kanwil Depag di Provinsi. Dengan demikian akan terhindar dari penolakan atau konflik kepentingan.
Dinas Pendidikan atau Kandepag dapat melaksanakan penataan dan redistribusi secara lebih mudah, karena ada “payung hukum” yang jelas dan mengikat, dan konsekuensi dan pembiayaan yang terkait dengan penataan dan redistribusi tersebut dapat terlihat dengan jelas.
Kebijakan pendukung PP No. 74/2008 dan Permendiknas No. 39 Tahun 2009, baik yang akan ditetapkan oleh Ditjen PMPTK Depdiknas, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan atau Kandep Agama sangat ditunggu dengan segera. Mudah-mudahan sebelum akhir tahun anggaran 2009 ini semuanya sudah disiapkan.

TINDAK LANJUT
Sebagai tindak lanjut dari pemenuhan beban kerja minimal 24 JTM, dan sebagai konsekuensi dari pemberian tunjangan profesi, tunjangan fungsional, subsidi tunjangan fungsional, dan maslahat lain (insentif) pasca sertifikasi guru, perlu ada penilaian kinerja guru. Penilaian kinerja guru ini dilakukan untuk memantau apakah para guru telah melaksanakan kewajiban pokoknya: menyusun silabus dan RPP, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, dan membimbing siswa; apakah guru benar-benar melaksanakan tugasnya setara dengan 24 JTM (minimal) di sekolah pangkalnya atau disekolah lain, atau benar-benar melaksanakan kegiatan-kegiatan lain yang diberi ekuivalensi jam tatap muka; apakah kehadiran guru di sekolah atau di kegiatan lain sudah memenuhi minimal 37,5 jam per minggu, dst,
Penilaian kinerja guru menjadi salah satu tugas pembimbingan dan pelatihan profesional guru oleh pengawas satuan pendidikan, sebagaimana diatur dalam Permendiknas No, 39 Tahun 2009 Pasal 4 ayat (2) butir b. “(Pengawas Sekolah) menilai kinerja guru dalam melaksanakan tugas pokok untuk merencanakan, melaksanakan, dan membina tenaga kependidikan lainnya yaitu tenaga administrasi sekolah/madrasah, tenaga laboratorium, dan tenaga perpus-takaan pada satuan pendidikan.”
Pedoman penilaian kinerja guru sesuai dengan Permendiknas No. 39 Tahun 2009 ini, saya percaya, sedang disiapkan oleh Ditjen PMPTK Depdiknas, seperti halnya pedoman pelaksanaan pemenuhan beban kerja guru dan pengawas satuan pendidikan.
Konsekuensinya biaya operasional yang perlukan untuk pelaksanaan penilaian kinerja guru oleh para pengawas satuan pendidikan ini perlu disiapkan secara memadai. Setidak-tidaknya dirancang untuk diusulkan dalam APBD tahun 2010 yang akan datang, sehingga implementasi penilaian kinerja guru pada tahun 2010 dapat berjalan secara optimal.
Mudah-mudahan peningkatan mutu pendidikan di Kaltim dapat berjalan semakin cepat karena pemerintah daerah, dinas pendidikan dan Kandepag, pengawas, guru dan tenaga kependidikan lainnya bersikap responsif terhadap kebijakan pemerintah dan Depdiknas ini. Insya Allah. (Habis)

Samarinda 1 – 4 Ramadhan 1430H
nanang_rijono@yahoo.com